tirto.id - Tim Advokasi untuk Demokrasi menyorot soal persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut menjadi saksi pelapor dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Kamis, 8 Juni 2023. Tim advokasi melihat persidangan semakin jelas menunjukkan jaksa bukan mewakili kepentingan negara, melainkan berperilaku seperti kuasa hukum Luhut.
"Hal yang paling mencolok adalah penuntut bertanya yang tidak ada dalam berita acara pemeriksaan dan dakwaan yaitu tentang hubungan dan percakapan antara Luhut dengan Haris Azhar. Artinya, pertanyaan ini terindikasi sudah disiapkan untuk menimbulkan kesan bahwa Haris adalah pemain dalam hal ini meminta saham," kata Muhamad Isnur, salah satu perwakilan tim advokasi pada keterangannya, Kamis (9/6/2023).
Lebih jauh lagi jaksa mencoba mengarahkan jika siniar atau podcast Haris Azhar yang mengangkat isu Papua sebagai balasan tidak diberikan saham oleh Luhut. Hal ini jelas tidak relevan dan bersesuaian dengan proses hukum yang telah berjalan sebelumnya.
Sebelum sidang berakhir, akun-akun yang teridentifikasi memiliki afiliasi dengan Luhut mengangkat isu ini tanpa mendengarkan hingga akhir. Padahal pada akhir persidangan, Luhut sendiri menyatakan bahwa saat Haris meminta saham, hal itu untuk masyarakat adat Papua dan dalam kapasitas sebagai kuasa hukum mereka.
"Tindakan-tindakan ini menunjukkan adanya skenario untuk mengalihkan isu utama di sidang yaitu dugaan keterlibatan perusahaan Luhut di Papua. Fatalnya, upaya penyebarluasan isu ini dilakukan tanpa mengkonfirmasi bahkan tidak mendengarkan hingga akhir, di mana setiap terdakwa diberi kesempatan untuk memberikan respons atas keterangan saksi," ucap Isnur.
Ketika melaporkan Fatia dan Haris, Luhut mengaku sebagai individu atau rakyat biasa. Namun kenyataannya dalam persidangan menunjukkan hal itu merupakan kebohongan besar. Persidangan dijaga ketat oleh aparat keamanan dengan jumlah yang cukup banyak, bahkan terdapat prajurit TNI yang ikut mengamankan acara itu.
Kemudian, kuasa hukum Fatia dan Haris sempat tidak dapat masuk ke dalam ruang sidang karena penghalangan di depan pengadilan, pun saat masuk dalam pengadilan jumlahnya dibatasi hanya untuk 12 orang.
Penghalang tersebut, tidak hanya dialami kuasa hukum, tetapi juga dialami sejumlah jurnalis dan pengunjung yang ingin memantau jalannya proses persidangan.
Hal ini menyusul perlakuan pengadilan di sidang sebelumnya yang mengubah kesepakatan hari sidang dari Senin menjadi Kamis, hanya karena permintaan kuasa hukum Luhut, yang bahkan diajukan tanpa bukti. Jurnalis dan media yang ingin meliput proses persidangan pun dihalangi berkali-kali di gerbang dan pintu masuk ruang persidangan. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers sebagaimana mandat dari UU Nomor 40 Tahun 1999.
Seharusnya Luhut diperiksa sebagai saksi pada 29 Mei 2023, namun ia tidak hadir karena alasan tugas negara.
Pada persidangan Kamis, 8 Juni 2023 kemarin, Luhut mengaku siap memberikan dan dihukum bila terbukti salah.
"Saya siap menjawab pertanyaan Yang Mulia atau penanya-penanya yang lain dan saya akan berikan kesaksian saya yang benar sebagai seorang perwira TNI, perwira Kopassus, saya tidak akan pernah mengingkari apa yang saya lakukan," ucap dia.
"Saya akan berikan kesaksian itu, saya siap dikonfrontasi, dan saya siap dihukum kalau saya memang salah," lanjut Luhut.
Dalam perkara ini, Haris Azhar didakwa Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 15 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 310 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Fatia didakwa pasal yang sama dengan Haris Azhar. Kecuali Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto