Menuju konten utama
Konflik Lahan di DIY

Jeritan Hati Warga Lempuyangan: Rumah Bukan Sekadar Bangunan

PT KAI tetap memaksakan kompensasi terhadap warga yang menolak untuk angkat kaki dari tanah sengketa yang berstatus Sultan Ground (SG).

Jeritan Hati Warga Lempuyangan: Rumah Bukan Sekadar Bangunan
Warga Tegal Lempuyangan membentangkan persetujuan penggusuran. Tirto.id/Siti Fatimah

tirto.id - Matahari terik di atas ubun-ubun, saat musyawarah ongkos bongkar oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada warga Tegal Lempuyangan usai. Kompak mengenakan pakaian berwarna hitam, sebagian warga yang datang adalah lansia.

Raut pada wajah-wajah renta itu memancarkan amarah, sedih, dan kecewa usai mengikuti musyawarah yang digelar tertutup di Balai Kelurahan Bausasran, Kemantren Danurejo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Kamis (15/5/2025).

Seorang warga kemudian mengajak warga lainnya turut membentangkan spanduk berwarna hitam bertulis, “WARGA MENOLAK PENGGUSURAN JOGJA KOTA YANG MULIA”.

Ketua RW01 Bausasran, Antonius Yosef Handriutomo, membuka omongan bahwa PT KAI tetap memaksakan kompensasi terhadap warga yang menolak untuk angkat kaki dari tanah sengketa yang berstatus Sultan Ground (SG).

“Mewakili dari warga, di sini ada Ibu Anik Soenarjo dan juga Ibu Atiek Kusumawati yang akan menyampaikan unek-uneknya, kenapa kami ini menolak sosialisasi untuk pesangon,” lontar Anton mendelegasikan penjelasan.

Anik telah siap dengan beberapa lembar kertas dalam genggamannya. Rupanya kertas-kertas itu berisi salinan foto.

“Selamat siang teman-teman. Kami, saya ya khususnya, unek-unek bagaimanapun juga, rumah tinggal itu pastilah, kalau kita punya rumah itu menyatu, hati kita ada di situ,” ujar Anik memulai kata-kata.

News Plus Pengusiran PT KAI

Anik Soenarjo saat menunjukkan foto rumah warga Tegal Lempuyangan yang rusak terhantam puting beliung. Tirto.id/Siti Fatimah

Anik lantas menunjukkan sebuah potret yang memuat gambar rumah dengan cerobong asap di atas atapnya. Dia kemudian mengungkap bahwa itu adalah rumah yang dia tinggali pada sekitar 2006.

Anik masih ingat betul bagaimana keluarganya didemo oleh warga yang tinggal di belakang rumah. Peristiwa itu terjadi setelah gempa yang mengguncang DIY pada Mei 2006. Saat itu, warga dihantui ketakutan akan bangunan roboh, apalagi 14 rumah yang kini menjadi objek sengketa tersebut telah berdiri sejak era Kolonial Belanda.

“Rumah tinggal kami itu diguncang gempa yang cukup kuat dan itu bangunan yang sudah berumur, pasti secara fisik ada kekurangannya entah di sudut mana,” sebutnya.

Jadilah, keberadaan cerobong asap di rumah Anik sebagai sasaran murka warga. Kondisi cerobong pun sudah condong dan rawan roboh akibat terguncang gempa susulan.

“Karena yang namanya dimakan umur, rumah itu pasti ada kelemahannya. Diguncang gempa, waktu itu miring, miringnya ke belakang. Orang-orang di belakang rumah ini demo,” imbuhnya.

Suara Anik mulai bergetar karena marah sambil menahan tangis. Dia terkenang, bagaimana saat itu keluarganya yang ibaratnya sudah jatuh justru tertimpa tangga. Warga di belakang rumahnya mengancam agar cerobong asap segera dibongkar. Padahal mereka sedang tidak memiliki dana, lantaran ayahnya yang tadinya bekerja di PT KAI sudah pensiun.

“Kalau waktu itu dihaki oleh KAI, mari lihat waktu gempa itu ada kerusakan apa. Tidak ada dari sana yang mengklaim, oh ini nggonku nak rusak berarti aku yo melu duweni (punyaku kalau rusak berarti aku ikut memperbaiki), kan gitu. Ini satu rupiah pun tidak ada,” cecarnya.

Warga Lempuyangan Menolak Penggusuran PT KAI

Spanduk penolakan warga jalan Lempuyangan RT 02 RW 01 Kelurahan Bausasran, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta, DIY atas rencana penggusuran oleh PT KAI, pada Rabu (9/4/2025). Tirto.id/Siti Fatimah.

Usai diguncang gempa, belum selang setahun, 14 rumah di Tegal Lempuyangan diterpa puting beliung. Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2007 sore sekitar pukul 17.00 WIB saat puting beliung merusak 155 rumah di Kota Yogyakarta, termasuk 14 rumah di Tegal Lempuyangan.

Mengganti lembaran kertas lainnya, Anik menunjukkan betapa puting beliung meluruhkan atap rumah warga. Dia lantas menjelaskan, pusaran puting beliung melewati rumahnya. Angin itu bukan angin sembarang, melainkan bawa lumpur, tanah, dan barang yang dilaluinya. Termasuk pula, mengangkut kursi plastik sampai masuk ke dalam rumah. Selain itu, melemparkan mobil sampai ke atas jalan layang.

“Adakah yang datang? Ada? Tidak ada. Lalu tidak dibayar satu rupiah pun, tidak diganti,” pekiknya.

Sikap PT KAI yang demikian, sebut Anik, membuat warga bersikeras mempertahankan rumah bangunan Nederlandsch-Indische Spoorweg (NIS) yang ditinggalinya.

“Itu perasaan hati kami ada di situ. Kenapa kami mempertahankan tempat tinggal kami. Hati kami ada di situ,” tukasnya.

“Orang tua kami meninggal di situ, ada yang lahir di situ. Merasakan suka duka di situ. Kenapa tidak saat hancur begini [PT KAI] datang, ini [mengatakan] barangku,” imbuhnya.

Anik pun membeberkan, bagaimana toilet rumahnya dulu hanya berupa kaleng. Setelah keluarganya tinggal di rumah yang beralamat di jalan Lempuyangan Nomor 18, Kelurahan Bausasran, perlahan rumah pun benahi. Lantas kini, PT KAI mengklaim 14 rumah yang ditinggali warga dan telah diperbaiki. Bahkan, KAI tidak mengganti kerugian warga terhadap rumah yang diklaim itu adalah asetnya.

“Ya, tanyakan langsung ke PT KAI. Rumah induk itu tidak diganti. Karena ini aset KAI. Perbaiki pakai duit tidak? Apa ada yang perbaiki rumah gratis sampai sebagus ini? Kalau sampai ini diklaim KAI, luar biasa. Hatinya di mana? Hati,” ketusnya.

“Sekali lagi, hati. Tidak punya hati sama sekali [PT KAI]. Arogan,” teriak Anik.

Kisah dari Warga Lainnya

Perih akan bayang-bayang harus angkat kaki dari rumah di jalan Lempuyangan juga menggelayuti Saidar Sutarjo. Beberapa kali dia menyeka air mata ketika putrinya bercerita tentang kepergian mendiang suaminya tercinta.

Suami Saidar adalah Sutarjo. Sutarjo dulunya bekerja sebagai manajer aset PT KAI. Sebagai pensiunan, Sutarjo memilih untuk tetap tinggal di rumah dinas Tegal Lempuyangan. Meskipun Sutarjo asli Madiun, Jawa Timur.

Kepergian Sutarjo secara mendadak, berawal dari guncangan hebat saat mendapat surat pemberitahuan untuk mengosongkan rumah pada tanggal 24 September 2013.

Kala itu, petugas memaksanya untuk berfoto sebagai tanda telah menerima surat. Namun, enggan menunggu dan memaksa mengambil foto Saidar yang tidak menggunakan hijab. Sempat terjadi perdebatan antara Saidar dan petugas. Bahkan, itu terdengar oleh Sutarjo yang terbaring lemas di kamar.

“Mengetahui itu [Saidar dipaksa berfoto tanpa hijab dan kabar harus mengosongkan rumah], bapak pecah pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan otak belakang. Jadi hanya selang berapa hari setelah petugas menyerahkan surat, bapak saya meninggal,” beber Atiek Kusumawati, putri Saidar dan Sutarjo, sementara sang ibu sudah berurai air mata.

Atiek kemudian menjajarkan, surat ‘pengusiran’ terhadap orang tuanya yang dilayangkan oleh PT KAI dan foto makam bapaknya. Surat tertanggal 24 September 2013, sementara nisan Sutarjo bertuliskan tanggal wafat 3 Oktober 2013.

“Jadi disitu bisa dilihat bagaimana ketidakmanusiaan PT KAI terhadap yang notabene seniornya dia, yang juga ikut andil membesarkan PT KAI,” sebut Atiek.

News Plus Pengusiran PT KAI

Atiek Kusumawati (kanan) saat menunjukkan foto makam mendiang bapaknya. Sementara sang ibu, Saidar tak kuasa menahan tangis. Tirto.id/Siti Fatimah

Sebelas tahun berselang, kini Atiek dan Saidar kembali dihadapkan dengan ancaman’pengusiran’. Surat ‘pengusiran’ dilayangkan pada Maret lalu, dan mereka diminta untuk angkat kaki pada Mei ini.

Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih, turut dalam musyawarah ongkos bongkar di Kelurahan Bausasran. Bersama dengan seorang rekan, mereka berjalan bergegas mencoba untuk segera meninggalkan lokasi usai rampungnya acara.

“Kami melakukan pertemuan dengan warga yang merupakan lanjutan dari sosialisasi yang sudah kami lakukan sebelumnya. Intinya, hari ini kami sudah menerima aspirasi dan masukan dari warga, akan menjadi pembahasan kami di internal untuk langkah selanjutnya,” lontar Feni ketika dicegat wartawan.

Feni enggan menyinggung terkait ganti rugi. Sebab dia mengaku masih harus melakukan pembahasan secara internal dengan korporasinya. “Itu dulu yang bisa kami sampaikan. Hasil pembicaraan hari ini akan kami tindak lanjuti di internal untuk bagaimana langkah selanjutnya,” ucapnya.

Feni menyebut, pihaknya telah menawarkan ongkos bongkar. Namun, warga menolak tawaran tersebut. “Karena bahasa warga menolak, ya sudah kami bahas dulu ini di internal untuk langkah selanjutnya yang akan kami ambil,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait SENGKETA TANAH atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - News Plus
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Anggun P Situmorang