tirto.id - Media massa, organisasi, dan ahli yang getol mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani pagebluk COVID-19 dibungkam dengan pelbagai cara: diretas, dibajak, hingga di-doxing.
Pada Jumat (21/08/2020) pukul 00:00 WIB, situs berita Tempo.cotidak bisa diakses. Sekitar 30 menit kemudian, tampilan situs berubah. Terdapat tulisan "Deface By @xdigeeembok" berkelir merah dengan latar belakang hitam dan diiringi lagu Gugur Bunga selama 15 menit. Lantas ada juga pernyataan: "Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar, patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok."
Pemimpin Redaksi Tempo.co Setri Yasra menduga peretasan tersebut terkait pemberitaan mereka soal influencer dibayar untuk mengampanyekan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
“Peretasan itu terjadi mendadak dan berkali-kali,” kata Setri Yasra dalam diskusi di Smart FM, Sabtu (22/8/2020).
Peretasan juga dialami situs Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), organisasi yang fokus di bidang kesehatan. CISDI juga lantang mengkritik pemerintah dalam menangani COVID-19.
“Serangan yang bertubi-tubi ini mengakibatkan situs CISDI tidak dapat diakses mulai hari ini pada pukul 13.00 WIB hingga pernyataan ini dikeluarkan,” tulis CISDI lewat Twitter, Jumat (21/08/2020).
Akun media sosial milik Pandu Riono juga tak luput dari peretasan. Tak hanya itu, dosen Universitas Indonesia sekaligus epidemiolog ini juga diserang secara pribadi lewat pesan Whatsapp. Peretasan diduga karena Pandu kerap mengkritik kebijakan pemerintah ihwal penanganan pandemi virus Corona atau COVID-19.
Pelanggaran HAM dan Tindak Pidana
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai serangan terhadap media massa, organisasi, dan ahli yang getol mengkritik kebijakan pemerintah merupakan pelanggaran HAM. Usman menegaskan hak untuk mengungkapkan pendapat dilindungi konstitusi dan hukum HAM internasional.
“Semua pelaku peretasan wajib ditangkap, diproses dengan adil, dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Bila terbukti pelaku adalah bagian dari otoritas negara, maka tidak boleh ada impunitas hukum,” tutur Usman pada Jumat (21/8/2020).
Sementara Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpendapat kasus peretasan media massa semestinya langsung ditangani polisi. Ia menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dipakai. “Karena UU ITE dibentuk untuk kasus-kasus seperti ini, yang tidak ada dalam KUHP,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (23/8/2020).
Erasmus mengatakan semestinya polisi tak hanya bergegas saat mengusut perkara dugaan penghinaan atau ujaran kebencian atau pencemaran nama baik yang juga terdapat dalam UU ITE. “Ini menyangkut kerja rekan jurnalis yang kerjanya sangat penting. [Pengusutan peretasan] ini dua kali lebih urgen. Tidak perlu ada pelaporan, karena ini delik umum,” Erasmus menjelaskan.
Menurut Erasmus, hal ini perlu diusut polisi untuk menjaga semangat negara hukum dan demokrasi lantaran pers menjadi salah satu elemen penting. “UUD 1945 juga menjamin kemerdekaan setiap orang, termasuk pers, untuk mengolah dan menyampaikan informasi, sehingga segala macam bentuk gangguan dan pembungkaman haruslah ditindak tegas.”
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin. Kepada reporter Tirto, ia menegaskan peretasan terhadap situs berita merupakan bentuk penghambatan dan penghalangan kemerdekaan pers.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Ade juga meminta kepolisian menuntaskan perkara peretasan Tempo.co, serta merampungkan kasus-kasus serangan digital terhadap korban-korban lainnya.
Selain itu, ia juga “mengimbau masyarakat atau pun para pihak lain yang merasa dirugikan dengan pemberitaan tersebut agar menggunakan mekanisme hak jawab atau pengaduan langsung ke Dewan Pers.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan