tirto.id - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menilai capres nomor urut 01 Jokowi dan capres nomor urut 02 Prabowo, tidak serius dalam menanggapi isu kepemilikan lahan yang mencuat saat debat Pilpres kedua.
“[kedua kandidat] Tidak secara serius untuk bicara bagaimana ketimpangan atas penguasaan lahan oleh segelintir orang ini bisa diatasi,” ungkap Pengkampanye JATAM, Melky Nahar melalui keterangan tertulis, Rabu (27/02/19).
Menurut dia, salah satu faktor yang menyebabkan kedua kandidat itu enggan menanggapi secara serius kasus kepemilikan lahan adalah karena ada aktor penting yang menguasai lahan di Indonesia dalam lingkaran kedua kubu.
Melky kemudian memberikan data soal elit-elit di dua kubu yang memiliki banyak lahan:
Kubu Jokowi:
1. Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menguasai lahan seluas 21.106 hektar di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
2. Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Oedang sebesar 94.748 hektar yang tersebar di Pulau Karimun – Riau, Kayong Utara - Kalimantan Barat, Barito Utara - Kalimantan Timur, dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
3. Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo sebesar 151,434 hektar yang tersebar di Musi Banyuasin – Sumatera Selatan
4. Wakil Presiden Jusuf Kalla sebesar lebih dari 13,791 hektar di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah
5. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sebesar 16.124 16,124 hektar di Aceh
6. Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie sebesar 294,017 hektar di Jawa timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur.
Kubu Prabowo:
1. Maher al Gadrie sebesar 53,128 hektar di Sumatera Selatan dan Jambi
2. Ferry Mursyidan Baldan bersama istrinya Hanifa Husein menguasai 5,368 hektar di Kalimantan Timur
3. Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto sebesar 5,7 hektar di Cepu, Blora, Jawa Tengah.
Selain itu, Prabowo dan Sandiaga sendiri juga memiliki atas lahan yang besar. Prabowo Subianto menguasai lahan seluas 102,770 hektar di Kalimantan Timur. Sementara Sandiaga Uno sebesar 541,022 hektar di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur.
Menurut Melky, penguasaan lahan yang besar beserta aktivitasnya ini berdampak buruk bagi rakyat dan lingkungannya. Beberapa contoh, kata dia, dapat ditemukan dalam kasus PT. Adimitra Baratama Nusantara, milik Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut dia, perusahaan tersebut sudah menyebabkan rumah-rumah warga amblas, ruas jalan putus total akibat pengerukan batu bara yang dekat dengan pemukiman warga di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur pada akhir 2018 lalu.
Selain itu, ia juga mencontohkan kasus PT. Lapindo Brantas milik Aburizal Bakrie di Kecamatan Porong, Tanggulangin dan pada Mei 2006 lalu. Menurut dia, pengeboran migas yang dilakukan perusahaan itu telah mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar. Itu disebabkan oleh semburan lumpur Lapindo.
“Dari kasus tersebut telah menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa, serta lebih dari 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya,” kata Melky.
Dari fakta-fakta tersebut, kata dia, membuktikan bahwa persoalan atas lahan dan aktivitas-aktivitas di atas lahan merupakan persoalan yang serius, karena akan mengancam rakyat dan juga ruang hidupnya.
Namun, kata Melky, kasus-kasus di atas sama sekali tidak disinggung oleh Jokowi dan Prabowo. “Sehingga persoalan ini tidak lebih hanya sebagai komoditas politik. Keduanya justru menutup jejak masing-masing, Sebab salah satu sumber keuangan yang penting adalah dari industri pertambangan,” ungkap Melky.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH