tirto.id - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut ada 1,6 juta hektare lahan tambang di Indonesia menyebabkan konflik dengan masyarakat.
"Ini catatan sepanjang 2014-2020, operasi pertambangan menyebabkan luasan konflik semakin banyak karena berkaitan dengan kapasitas dan kerentanan warga," katanya dalam peluncuran data laporan bencana akibat investasi ekstraksi energi fosil yang dipantau di Jakarta, Selasa (27/3/2021).
Konflik antara warga penolak tambang terjadi dengan perusahaan maupun aparat. Merah menambahkan konflik warga dengan pertambangan dibarengi dengan kriminalisasi dan penangkapan secara sewenang-wenang. Konflik terbaru terjadi saat warga Wadas, Purworejo, Jawa Tengah menolak proyek tambang batu andesit untuk kebutuhan tanggul bendungan setempat.
Warga yang menolak kemudian ditangkap. Padahal, penolakan warga karena tanah yang akan ditambang telah menjadi mata pencaharian utama warga setempat lantas ditambang demi sebuah bendungan.
"Tak hanya di Wadas, konflik juga terjadi di daerah lain. Kami mencatat sepanjang 2014-2020 terdapat 269 korban kriminalisasi dan penyerangan," ujar Merah.
Kriminalisasi dan penyerangan terhadap warga menggunakan beberapa instrumen regulasi tak hanya Undang-Undang Pertambangan, tetapi ada 20 pasal dan tujuh undang-undang lainnya.
Seperti kasus yang dialami nelayan-nelayan di Kodingareng, Sulawesi Selatan yang menolak pertambangan pasir laut untuk reklamasi Makasar New Port.
Mereka dikriminalisasi dengan Undang-Undang tentang Mata Uang, karena salah satu nelayan menolak upaya suap dari perusahaan dengan merobek amplop yang berisi uang.
"Ekstravisme pertambangan, smelter, dan PLTU batubara akan mengundang bencana terus menerus dan berlanjut yang mengancam keselamatan rakyat dan menjadikan mereka sebagai pengungsi sosial ekologis permanen," imbuh Merah.
Editor: Zakki Amali