tirto.id - Perang dagang antara AS dengan Cina hingga saat ini terus meruncing. Belum lama ini, Presiden AS, Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif impor baru sebesar 10 persen atau senilai 200 miliar dolar AS terhadap komoditas Cina yang akan mulai berlaku 24 September 2018.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan Muhr mengatakan bahwa, perang dagang AS-Cina berangkat dari janji kampanye politik Trump. Menyusul lahirnya berbagai kebijakan Trump yang kontroversi secara global.
"Bukan semata kok tiba-tiba. Itu bisa kita lihat di janji kampanye pertama dan kedua, termasuk melakukan tindakan restruktif dan protektif, serta menekan defisit neraca perdagangan. Kalau dilihat ya semuanya itu sebagai upaya dia memenuhi janji kampanye dengan melakukan berbagai kebijakan yang sekarang berjalan," ujar Kasan di Kementerian Perdagangan Jakarta, pada Selasa (18/9/2018).
Namun, Kasan mengatakan bahwa sebenarnya atas janji kampanye itu kondisi perdagangan AS mengalami defisit yang terus meningkat. Semester I/2018, neraca perdagangan AS defisit sampai 438 miliar dolar AS, naik dari Semester I/2017 yang sebesar 410 miliar dolar AS.
"Cina yang merespons kebijakan AS di Semester I/2018, mengalami pengurangan surplus banyak. Kalau yang Agustus memang karena impact trade war, tapi sebelumnya karena kebijakan dia sendiri yang mengurangi manufakturnya," ujar Kasan.
Lebih lanjut, Kasan menyebutkan bahwa AS dan Cina adalah negara terbesar dalam perdagangan dunia. Kontribusi Cina dan AS dalam perdagangan dunia termasuk, masing-masing 11,7 persen dan 11,3 persen.
Tidak heran, restriksi perdagangan AS terhadap Cina berdampak tidak langsung terhadap negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.
"Berdasarkan kinerja perdagangan AS dan Cina, yang selama ini terjadi bahwa kalaupun ada perang dagang, pasti negara ketiga termasuk Indonesia bisa mengambil posisi memanfaatkan peluang adanya barang yang terhambat masuk antar kedua negara yang berselisih," ujar Kasan.
Hambatan masuknya barang kebutuhan impor dari kedua negara itu, bisa dimanfaatkan negara ketiga, seperti Indonesia untuk masuk memenuhi kebutuhan impornya. Hanya saja, ada catatan bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan peluang dagang yang ada.
Barang Indonesia harus berdaya saing dengan berbagai negara lainnya, yang sama-sama sebagai negara ketiga yang memanfaatkan situasi perang dagang.
"Catatannya adalah kalau produk-produk yang ada itu tentu saingan kita adalah negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina. Karena di Cina, negara tujuan importir misalnya Malaysia ada di urutan ke-8, Vietnam 9, Thailand 10 sementara kita ke-15," ujar Kasan.
Kasan menekankan untuk memanfaatkan peluang dagang itu semua tergantung kesiapan Indonesia dalam bersaing dengan negara-negara di ASEAN.
Selanjutnya kalau melihat fakta yang ada sampai Agustus 2018, kinerja perdagangan ekspor Indonesia naik 5 persen ke AS, sedangkan ke Cina naik 32 persen.
"Impor kita dari AS dan Cina sama-sama turun," ujar Kasan.
Secara umum, Kasan mengatakan perang dagang AS-Cina bisa membuat harga barang di kedua negara tinggi. "Saya yakin rakyat AS belum tentu happy semua, walaupun secara makro ekonomi di 2018 mereka (AS) sangat baik pertumbuhannya sebesar 2,9 persen jadi capaian yang besar," ujar Kasan.
Mengacu hal-hal itu, Kasan mengatakan Indonesia tidak perlu larut dalam situasi adanya perang tarif antara AS dan Cina. Justru, pemerintah Indonesia harus bersahabat dengan keduanya.
"Karena dia (AS dan Cina) gede buat kita (Indonesia), di mata dia kita kecil karena peranannya relatif kecil, kalau dilihat dari posisi mereka berdua," ujar Kasan.
Pemerintah Indonesia menilai pendekatan bilateral intensif perlu dilakukan untuk mendukung peluang pemanfaatan perang dagang.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yandri Daniel Damaledo