tirto.id - Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina tidak bisa dihindari. Bermula dari keinginan Presiden Donald Trump, yang berambisi menurunkan defisit perdagangan dari berbagai negara di dunia, Amerika kemudian menaikkan tarif impor untuk produk-produk Cina, dan negara lainnya.
Cina merupakan saingan berat Amerika. Kedua negara tersebut merupakan negara besar yang memiliki peranan maupun kebijakan penting yang dapat memengaruhi perdagangan dunia. Dari situ, perang dagang antara China dan Amerika dapat berimbas buruk terhadap negara-negara lainnya, tak terkecuali bagi negara-negara di ASEAN.
Dalam World Economic Forum on the Association of South East Asian Nation yang berlangsung di Vietnam 11-13 September 2018, dilansir dari DW, bagaimana cara negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi “revolusi industri keempat” menjadi bahasan utamanya. Revolusi itu membidik digitalisasi juga otomasi industri. Namun, perang dagang yang terjadi bisa berdampak buruk terhadap model manufaktur yang berbasis pada pertumbuhan dan biaya murah dalam revolusi tersebut.
Presiden Jokowi, yang menjadi salah satu pembicara dalam forum tersebut, tentu sadar dengan bahayanya perang dagang kedua "raksasa" dunia. Dalam pidatonya, mantan Walikota Solo tersebut kemudian menyebut keadaan yang terjadi dalam perekonomian dunia tersebut sedang menuju ke arah “Infinity War”. Sebuah penggambaran perang dahsyat yang terjadi di dunia film Marvel.
Jokowi kemudian mengibaratkan dirinya sebagai anggota Avengers, “Tapi yakinlah, saya dan rekan Avengers yang lain akan bangkit dan mencegah Thanos melumat separuh populasi dunia.” Menyoal Thanos, tokoh antagonis utama dalam film Avengers: Infinity War, Presiden Jokowi lagi-lagi bermain-main dengan analogi, situasi perang dagang dalam dunia nyata dengan fiksi pada film.
“Saudara-saudara, Thanos bukan sosok individu. Maaf [saya] mengecewakan Anda sekalian. Thanos berada di dalam diri kita semua. Thanos adalah keyakinan sesat bahwa, untuk meraih kesuksesan, yang lain harus kalah. Dia mewakili persepsi keliru bahwa kebangkitan suatu kaum berarti merupakan kehancuran kaum lainnya.”
Yang menarik, pidato Presiden Jokowi ternyata kemudian mendapatkan sambutan positif dalam forum tersebut.
Thanos dan Globalisasi
Gamora, salah satu karakter utama dalam film Guardian of The Galaxy, adalah anak angkat Thanos. Gamora berasal dari ras Zehoberei yang tinggal di Planet Zen-Whoberi. Karena populasi di planet tersebut melebihi batas dan kemiskinan menjadi kawan sehari-hari, Thanos kemudian memutuskan untuk menghancurkan Zen-Whoberi. Thanos lalu membantai seluruh penduduk Zen-Whoberi, kecuali Gamora. Alasannya: Thanos ternyata menganggap Gamora berbeda dengan penduduk Zen-Whoberi lainnya.
Di bawah asuhan Thanos, Gamora lalu berkembang menjadi seorang pembunuh bayaran hebat. Selain itu, ia juga menjadi satu-satunya tempat bagi Thanos untuk melimpahkan rasa kasih sayangnya. Namun, demi mendapatkan soul gem, salah satu dari enam infinity stones yang dapat memberikan kekuatan dahsyat, Gamora akhirnya dikorbankan oleh Thanos [dalam film Avengers: Infinity War Part 1]. Perasaan Thanos terhadap Gamora ternyata kalah kuat dibandingkan keinginannya untuk menghancurkan separuh penduduk alam semesta. Dari situ, dapat diambil kesimpulan bahwa Thanos merupakan sosok yang amat kejam.
Thanos berasal dari Planet Titan. Dalam hidupnya [setidaknya berdasarkan film Avengers: Infinity War], Thanos hanya mempunyai satu misi: menghancurkan separuh penduduk alam semesta yang tak berguna. Menurutnya, penduduk alam semesta yang tak berguna hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial dan menguras sumber daya alam. Pola pikirinya itu kemudian menjadi salah satu alasan mengapa mendapatkan julukan “mad titan”.
Untuk mempermudah misinya itu, Thanos menggunakan infinity stones. Jumlah infinity stones ada enam: the mind gem, the soul gem, the reality gem, the space gem, the time gem, dan the power gem. Masing-masing batu tersebut mempunyai kekuatan dahsyat. Jika Thanos memiliki keenam batu itu, niscaya kekuatannya tak akan dapat dibendung. Selain kejam, Thanos, yang semula muncul dalam komik The Invincibe Iron Man #55 pada tahun 1973 lalu, juga menjadi tokoh antagonis paling kuat dalam dunia Marvel.
Yang menarik, dengan latar cerita seperti itu, Jokowi lalu mengibaratkan karakter Thanos dengan keyakinan sesat pada seseorang, bahwa untuk meraih kesuksesan, yang lain harus kalah; bahwa kebangkitan suatu kaum merupakan berarti kekalahan kaum lainnya. Ia mengatakan hal tersebut dalam konteks perang dagang yang terjadi sekarang, antara Cina dan AS. Dan jika merujuk pada tulisan Subcomandante Marcos, mantan simbol Zapatista, yang berjudul Perang Dunia Keempat pada 23 Oktober 2013 lalu, analogi Jokowi tersebut ada benarnya.
Perang dagang adalah dampak dari globalisasi. Dalam globalisasi, terutama globalisasi neoliberalisme, ekonomi diputuskan di tingkat global. Menurut Marcos, Kebijakan-kebijakan ekonomi Negara-Bangsa yang mencoba melindungi modalnya jadi musuh yang harus ditundukkan.
“Yang ditawarkan oleh globalisasi neoberalisme adalah jaringan yang dibangun oleh modal finansial, atau, bila Anda suka, oleh kuasa finansial. Bila terjadi kemakmuran pada sebuah negara, ia tidak menghasilkan kemakmuran bagi negara-negara lainnya... ,“ tulis Marcos.
Lalu, siapa yang dianggap paling benar dalam globalisasi? Tentu saja, penguasa pasar. Siapa musuhnya? Semuanya yang tidak bisa mengikuti pasar.
Membayangkan Jokowi di Karakter Avengers
Dalam film Avengers: Infinty Warpart 2, Bruce Banner memang menjadi pembawa pesan bahwa Thanos akan menghancurkan Bumi. Saat itu, saat Thor dibuat babak belur oleh Thanos, ia berhasil dikirimkan Heimdall, mantan penjaga gerbang Asgard, ke Bumi. Namun, setelah itu peran Bruce Banner ternyata tak begitu menonjol di sepanjang film. Ia ketakutan, bahkan tidak bisa berubah menjadi Hulk.
Daripada menjadi Bruce Banner, Presiden Jokowi tentu saja lebih cocok menjadi Doctor Strange, orang Bumi pertama yang menerima pesan tentang kedatangan Thanos. Di sepanjang film, perannya begitu kentara, dari meyakinkan Iron Man [Tony Stark] tentang betapa berbahayanya Thanos sampai ikut berjibaku melawan Thanos di Planet Titan.
Selain itu, dan ini yang lebih penting, Dr Strange justru rela menukarkan time gem yang dimilikinya dengan nyawa Iron Man. Alasannya: setelah melakukan perjalanan waktu, dari 14 juta kemungkinan pada masa depan, ada satu kemungkinan bahwa Avengers dapat mengalahkan Thanos.
Sayangnya, Doctor Strange kemudian menjadi salah satu dari separuh penduduk alam semesta yang dihilangkan Thanos. Besar kemungkinan, ia tak akan lagi terlibat dalam fim Avengers: Invity War Part 2 yang akan rilis tahun depan.
Iron Man, Captain America, hingga Thor, beberapa karakter utama yang masih tersisa saat Thanos berhasil menuntaskan misinya dalam Avengers: Infinity War Part 1, juga layak masuk untuk dipertimbangkan sebagai "sosok" Jokowi. Iron Man gandrung teknologi, pun demikian dengan Jokowi.
Sementara Captain America mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat, Thor sangat flamboyan. Namun, ketiganya juga mempunyai karakter yang barangkali tidak sesuai dengan Jokowi. Iron Man mempunyai tingkat kesombongan yang tak kalah luas daripada Samudera Hindia; Captain America adalah mantan veteran perang yang kaku; dan tingkat kecerobohan Thor kadang sulit untuk dimengerti.
Bagaimana dengan Captain Marvel? Captain Marvel adalah anggota paling kuat di antara Avengers lainnya. Namun, ia adalah sosok perempuan. Captain Marvel juga mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Namun, ia adalah sosok perempuan. Captain Marvel barangkali menjadi karakter kunci dalam Avengers: Infinity War Part 2. Namun, sekali lagi, ia adalah sosok perempuan.
Dengan pendekatan seperti itu, Jokowi mungkin tak cocok untuk menjadi salah satu karakter utama dalam Avengers: Infinity War. Namun, Jokowi barangkali bisa menjadi Stan Lee, bapak Marvel. Di dalam Avengers: Infinty Wars – juga film-film karya Marvel lainnya, Stan Lee memang hanya berperan sebagai cameo. Namun, ia selalu muncul untuk menjadi siapa saja. Dan Sebagai pendiri Marvel Comics, Stan Lee adalah “penggerak utama” dalam roda kehidupan Marvel Cinematic Universe. Setujukah Anda?
Editor: Suhendra