tirto.id - Saya—seperti kebanyakan dari Anda—adalah bocah yang selama satu dekade terakhir terpapar budaya pop yang dikapitalisasi Marvel, lewat film-film mereka dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). MCU ini adalah sebuah jagat raya yang melahirkan film-film superhero adaptasi dari komik Marvel—yang juga sudah menginvasi saya dan (mungkin) sebagian besar dari Anda sejak kecil.
Iron Man, Captain America, Hulk, Thor, Spiderman, dan Captain Marvel adalah sedikit dari budaya pop yang tenar dibikin Marvel.
Karakter-karakter yang semula hanya ada dalam jagat raya komik, mulai dibikinkan semestanya sendiri lewat media film pada 2008 silam. Iron Man jadi film pertama yang memulai petualangan ini. Kala itu, saya masih bocah kelas tiga SMP yang baru selesai Ujian Nasional. Hanya comic geek yang senang dengan dongeng tentang pahlawan super.
Tapi, jangan remehkan para comic geeks. Mereka adalah salah satu modal besar Marvel untuk bikin Iron Man dan kawan-kawan jadi sumber pendapatan terbesar Marvel hari ini, sepuluh tahun kemudian.
Merayakan satu dekade MCU, mereka merilis Avengers: Infinity War—film ke-19 MCU—serentak di seluruh dunia, pada bulan yang sama dengan Iron Man, sepuluh tahun lalu. Film ini (selanjutnya disebut Infinity War) digadang-gadang jadi penutup fase tiga MCU sekaligus diklaim sebagai crossover paling ambisius yang pernah dibuat. Teknik pemasaran crossover ini yang juga akhirnya diikuti banyak studio film, termasuk saingan Marvel, DC.
Paling ambisius? Sebab ia satu-satunya film yang berani merekrut lebih dari 20 superhero Marvel dengan 30 aktor utama dari 18 film sebelumnya yang diputar selama 10 tahun terakhir. Dengan jumlah karakter sebegitu banyak, siapa pun sineas yang berani mewujudkan proyek ambisius ini harus rela memutar otak.
Terutama agar dapat naskah yang masuk akal, adil pada tiap karakter, menyediakan adegan tarung super-canggih dan super-keren, serta mampu lebih baik dari film-film sebelumnya. Tentu saja, modalnya bukan cuma sokongan dolar yang kencang, tapi juga nyali dan kreativitas yang nyalang.
Adalah dua bersaudara Anthony dan Joe Russo, sineas gila yang ditunjuk Marvel untuk duduk di kursi sutradara Infinity War. Ada juga Christopher Markus dan Stephen McFeely yang didapuk di kursi penulis naskah. Empat orang ini jadi yang paling bertanggung jawab atas kegagalan atau keberhasilan yang akan diraih proyek ambisius tersebut.
Pekerjaan mereka tak mudah. Bukan cuma mesti mengatur porsi para superhero di layar perak, Russo bersaudara, Markus, dan McFeely juga mesti merangkum 18 film sebelumnya—yang ditulis dan disutradarai individu berbeda—menjadi satu film utuh, tanpa harus mencederai karakter-karakter yang sudah dibangun dalam satu dekade terakhir. Tak perlu jadi penggemar Marvel atau penggila komik untuk sepakat betapa ambisiusnya Infinity War.
Taruhannya tak sedikit.
Para penggila komik (comic geeks) memang modal besar bagi Marvel dalam merawat kapitalisasi MCU. Dalam satu dekade terakhir, mereka dirawat Marvel dengan baik, sehingga film-film MCU selalu tembus Box Office. Tapi jangan sangka para comic geeks ini adalah penonton yang pasif. Mereka bisa jadi sandungan besar jika batinnya tak dipuaskan dengan film-film berkualitas. Intinya, jangan pernah meragukan ketajaman cibiran para comic geeks.
Tengok saja film-film DC Extended Universe (DCEU)—sebutan untuk jagat raya film superhero DC yang diangkat dari komik-komik mereka. Secara pendapatan, kecuali Wonder Woman (2017), Superman dan kawan-kawan selalu dapat keuntungan yang tak sebombastis film-film Marvel, berbanding lurus dengan reviewnya yang juga selalu jelek.
Di jagat raya MCU sendiri, tak selamanya film-film Marvel dirayakan para kritikus. Thor: The Dark World (2013), Spider-Man: Homecoming (2017), dan Thor: Ragnarok (2017) adalah tiga di antaranya yang dikritik paling keras.
Namun, itu pun tak terlalu mengganggu debit pundi keuntungan yang mereka peroleh. Mungkin, karena kebanyakan film waralaba MCU selalu dikritik baik dan berhasil memuaskan dahaga para penggemar. Setidaknya mereka selalu menang ketika dibanding-bandingkan dengan film-film DCEU, baik dari segi pendapatan dan jalan cerita.
Tak bisa dimungkiri, film-film MCU yang dikritik baik macam Guardian of the Galaxy (2014), Guardian of the Galaxy Vol.2 (2017), Captain America: Civil War (2016), atau Black Panther (2018) mendapat penghasilan 3–5 kali lebih besar dari bujetnya. Film terakhir—MCU ke-18 yang diputar sebelum Infinity War—bahkan untung sampai nyaris 7 kali lipat dari bujetnya. Black Panther juga dirayakan banyak kritikus sebagai film MCU paling baik dari segi teknis hingga alur cerita.
Namun, kualitas baik yang mereka hasilkan tak semata-mata jadi keuntungan buat Marvel. Ia bisa jadi buah simalakama, jika para sineas—yang sebagian besar juga terdiri dari para comic geeks—tak bisa bikin film MCU selanjutnya dengan kualitas lebih atau setidaknya serupa. Spider-Man: Homecoming dan beberapa film Thor sudah pernah kena amuk masa di internet.
Hal ini yang akhirnya bikin sejumlah orang makin sangsi dengan Infinity War yang memang kelewat ambisius. Akankah film ini berhasil membayar penantian penggemar?
Nyatanya, duet Russo bersaudara di kursi sutradara dan duet Markus serta McFeely di posisi penulis naskah bukan keputusan buruk.
Infinity War dirakit nyaris tanpa cela dan dibuat seadil-adilnya. Pertama adil buat para aktor utama, yang sebagian dari mereka adalah deretan aktor dengan upah termahal di Hollywood. Menyambung 18 film yang dirakit oleh sutradara dan penulis berbeda jadi sebuah film baru yang utuh, jelas bukan pekerjaan gampang.
Mereka harus memilih karakter mana saja yang diputuskan tetap terlibat, sekaligus memilah karakter yang harus disimpan. Belum lagi, karakter yang sudah diracik sutradara-sutradara orisinalnya tentu tak bisa hilang begitu saja, demi menjaga nilai kontinuitas. Di saat yang sama, Infinity War tetap harus menyediakan ruang untuk karakter-karakter tersebut berkembang.
Salah-salah racik, alur cerita bisa tak masuk akal. Bahkan akan memberi kesan too much, yang bikin mulut penonton tak tahan mencibir.
Hasilnya? Semuasuperheropunya momennya sendiri. Bucky si Winter Soldier (Sebastian Stan) dan Spider-Man (Tom Holland), misalnya. Meski bukan muncul sebagai pahlawan super alfa, setidaknya apa yang terjadi pada mereka di ujung film akan jadi kejutan menguras air mata karena kedekatan keduanya dengan karakter alfa macam Iron Man (Robert Downey Jr) dan Captain America (Chris Evans). Mantis (Pom Klementieff) saja punya momen badass saat sebagian Avengers dan Guardian bergabung melawan Thanos (Josh Broslin). Falcon (Anthony Mackie) pun dibikinkan dialog satu kata yang cukup memorable ketika Captain America dan geng, pertama kali muncul di gedung Avengers lagi.
Tantangan lain Infinity War adalah mengukuhkan diri sebagai momentum perayaan satu dekade MCU. Nilai emosional para penggemar yang sudah terikat sedekade terakhir adalah salah satu poin penting yang perlu diperhatikan. Film yang diniatkan sebagai ‘gong’ dalam jagat raya MCU ini memang harus dirajut benang merah dari film-film sebelumnya.
Untung, Russo bersaudara paham hal ini. Mereka berhasil membangun situasi intim tersebut sejak adegan pertama—sayangnya, dengan membunuh beberapa karakter inti.
Setidaknya, para penonton mesti menonton dua dari 18 film MCU—Guardian of the Galaxy (2013) dan Thor: Ragnarok (2017)—untuk bisa merasakan tendangan kuat yang langsung dihadirkan Russo bersaudara sejak awal film.
Atmosfer gelap dan depresi ini rupanya bukan cuma hadir di awal saja. Di ujung film, Russo bersaudara punya kejutan yang lebih dahsyat.
Dalam berbagai bentuk promosi Marvel, kita memang sudah sering diperingatkan bahwa akan ada beberapa superhero yang mati dalam Infinity War. Namun, cara Russo mempresentasikan kematian-kematian tersebut sangat kreatif, kalau tak bisa dibilang kejam. Ia memilih beberapa karakter mati satu per satu sepanjang jalan film—lumayan banyak, hingga kita pikir sudah cukup. Lalu saat menyuguhkan adegan tarung dengan koreografi superkeren dan situasi yang bikin penonton berpikir Avengers akan menang lagi, Russo bersaudara langsung memotong harapan itu dengan adegan yang bikin penonton akan berhenti bernapas sejenak dan bertanya: Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Adegan itu adalah jenis adegan yang akan dibicarakan para penonton sepulang dari bioskop sampai sepekan selanjutnya. Saya tak akan membeberkan spoilernya. You will know when you see it!
Putaran plot di ujung sebenarnya tak sepenuhnya tak tertebak, tapi tetap jadi adegan jitu. Alasannya tentu saja bukan cuma karena naskah yang disiapkan rapi. Aktor-aktor dalam Infinity War punya upah mahal bukan tanpa alasan. Lakon mereka punya andil besar membuat semua kejutan yang disiapkan Russo bersaudara berhasil.
Tampang Loki (Tom Hiddleston) saat dicekik Thanos, bibir bergetar Scarlett Witch (Elizabeth Olsen) saat mendengar permintaan kekasihnya, tangis depresi Okoye (Danai Gurira) mencari-cari rajanya, hingga rengekan Spider-Man saat memeluk Iron Man di ujung film, adalah beberapa momentum yang bikin kita sadar kalau isi Infinity War memang bintang-bintang kelas atas.
Satu hal lagi yang tak mungkin terlewatkan adalah koreografi tarung superkeren sejak awal film. Keseruan filmsuperherotak akan sampai klimaks jika tak ada aksi laganya. Dan Infinity War dibuat Russo bersaudara jadi film superhero yang banjir adegan tarung superkompleks, superseru. Membuat penantian sepuluh tahun para bocah penggemar terbayarkan.
Tak ada istilah “sederhana adalah segalanya” dalam kamus Russo bersaudara.
Sayangnya, begitu pula moto mereka dalam menyajikan humor dalam film ini. Russo bersaudara memang punya latar belakang komedi terutama karena dua serial Arrested Development dan Community, tapi eksekusi lelucon mereka masih tak sejitu James Gunn, sutradara Guardian of the Galaxy Volume I dan II. Dalam Infinity War, kita akan dengar banyak sekali lelucon yang tak mendarat sempurna. Beberapa di antaranya bahkan terlalu eksklusif, karena menyebut merek-merek yang pasti tak akrab di kuping orang Indonesia. Tak jarang pula kita mendengar tawa penonton yang tak kompak dalam bioskop.
Namun, cacat kecil itu tak ada artinya dibanding keberanian Marvel mewujudkan film ambisius ini. Russo bersaudara berhasil menyajikan Infinity War dalam bentuk pengalaman menonton yang paling mungkin bisa disajikan. Bukan yang terbaik, tapi tak bisa dimungkiri, mereka memang berhasil.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf