tirto.id - Sebuah mayat dan batu mulia merah menyala ditutup rapat dengan penutup sarkofagus. Orang-orang berpakaian prajurit Eropa mengelilingi peti mati batu. Prosesi pemakaman masa Perang Salib abad ke-12 ini menjadi pembuka adegan film The Mummy terbaru.
The Mummy bukan judul film baru. Pada 1999 silam, Generasi Y dan generasi lainnya yang suka berkunjung ke bioskop mungkin masih ingat aksi petualangan Brendan Fraser (dikenal sebagai “Tarzan” George) yang seru dan kocak. Lebih jauh lagi, pada 1932, judul yang sama digunakan Universal Studios untuk memperkenalkan mumi sebagai salah satu monster dalam rangkaian film horor mereka bertajuk Universal Monsters.
Di dalam jagat raya para monster itu, mumi disandingkan dengan sejumlah dongeng seram lainnya, seperti Frankenstein, Dracula, Phantom of the Opera, The Wolf Man, The Creature From the Black Lagoon, The Hunchback of Notre Dame, Invisible Man, Paula The Ape Woman, Creeper, Abbott and Costello, dan lainnya. Judul-judul itu terus berkembang sejak era 1920-an sampai 1950-an.
Misalnya, Frankenstein yang berkembang jadi Bride of Frankenstein (1935) dan Son of Frankenstein (1939). Atau ditambahnya karakter-karakter baru seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde, sesosok dokter yang berkepribadian ganda dan punya tenaga super.
Dalam rentang beberapa dekade tersebut, film-film monster dari Universal Studios terus dieksplorasi. Kadang berdiri tunggal, kadang dikombinasikan dengan monster lain. Tapi tak pernah semuanya terangkum dalam satu alur cerita panjang yang berkesinambungan.
Ide menggabungkannya kemudian muncul pada 2014 silam. Meniru kesuksesan Marvel dalam menciptakan Marvel Cinematic Universe (sebuah jagat raya di mana Captain America, Iron Man, dan Thor beradegan dalam layar yang sama), Universal Studios kemudian menyebut rangkaian film monster mereka sebagai Dark Universe. Alex Kurtzman ditunjuk sebagai sutradara The Mummy, film pertama yang akan dijadikan gerbang menuju jagat raya penuh monster itu.
Kurtzman juga jadi salah satu dalang di dek penulis naskah untuk mengembangkan Dark Universe. Sejauh ini, monster-monster yang akan masuk ke dalam alur panjang tersebut adalah: Frankenstein yang akan diperankan Javier Bardem, The Invisible Man yang akan diperankan Johnny Depp, Creature from the Black Lagoon, The Wolf Man, Van Helsing, Dracula, Phantom of the Opera, dan The Hunchback of Notre Dame.
Film Frankenstein yang nanti akan bertajuk Bride of Frankenstein bahkan sudah punya jadwal rilis: Februari 2019. Sekaligus menandakan ia sebagai film kedua dalam rangkaian Dark Universe, setelah The Mummy.
Rencana ini memang digodok serius Universal Studios. Sejumlah aktor besar macam Bardem dan Depp bahkan sudah dicomot. Jauh sebelum itu, Tom Cruise dan Russel Crowe, nama besar lain di Hollywood juga telah direkrut sebagai pemeran utama dalam The Mummy. Kabarnya Kurtzman juga masih memburu nama besar lainnya, seperti Jennifer Lawrence, Michael Fassbander, Angelina Jolie, Dwayne Johnson, dan Chalie Thezron supaya membuat Dark Universe jadi lebih menarik.
Tapi jauh sebelum sampai ke sana, apakah The Mummy yang jadi umpan perdananya untuk menghidupkan Dark Universe sudah berhasil? Jawabannya bisa iya atau tidak.
The Mummy yang dirilis serentak 9 Juni 2017, telah lebih dulu ditayangkan di sejumlah negara dua hari lebih awal termasuk di Indonesia. Selebihnya di Korea Selatan (Korsel), antusias penonton di Korsel mengejutkan. Film ini menjadi film pertama dengan pendapatan tertinggi di hari pertamanya dirilis. The Mummy mencetak US$6,6 juta, mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang Train to Busan.
Sayangnya, di hari pertama rilis, The Mummy dibanjiri resensi negatif dari para kritikus film. Scott Mendelson dari Forbes menyebutnya film ini “oke-oke saja” sekaligus “kendaraan (film) terburuk yang dibintangi Tom Cruise”.
David Erhlich dari Indiewire bahkan lebih kejam menilai film ini hanya dengan D minus. Ia juga sepakat dengan Mendelson, bahwa film ini adalah karier terburuk Tom Cruise sebagai aktor. Kebanyakan kritik memang menyasar kualitas akting Cruise, kalau tidak menghina-dina alur cerita yang dirasa kurang kuat.
Cruise memerankan Nick Morton, seorang prajurit militer Amerika Serikat yang juga punya insting pencuri barang antik. Saat memburu sebuah “harta karun” yang diketahuinya dari sebuah peta yang dicuri dari seorang arkeolog Jennifer ‘Jenny’ Halsey (Annabelle Wallis), ia tak sengaja membebaskan Ahmanet (Sofia Boutella), seorang putri Mesir yang dimumikan hidup-hidup karena membunuh ayahnya, seorang Firaun.
Fondasi cerita ini tak terlalu berbeda dengan kisah The Mummy (1932) yang diperankan Boriss Karloff, atau The Mummy (1999) yang diperankan Branden Frasser, atau The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor (2008) yang dimainkan oleh Jet Li. Ada unsur reinkarnasi, dan pesugihan dengan iblis, yang jadi batang utama mengapa si mumi adalah monster jahat. Namun, porsi horor lebih dipertebal di versi kali ini, dengan musik-musik mengagetkan dan suasana gelap yang jadi tema utama sinematografinya. Namun, unsur humor tetap diselipkan dalam sejumlah adegan meski sangat minim, Cruise tak mungkin tampil lebih kocak daripada Frasser.
Salah satu perbedaan lainnya adalah sang mumi untuk kali pertama diperankan oleh aktor perempuan, bernama Sofia Boutella yang memerankan Putri Ahmanet. Sepanjang film, memang tak ada karakter lain yang latar belakang hidupnya digali kecuali sosok Ahmanet, bahkan karakter Morton sebagai tokoh utama. Hal ini dinilai baik oleh sejumlah kritikus, karena ruang untuk Boutella memamerkan kualitas sandiwaranya lebih luas. Sementara yang lain menilai poin ini juga memperburuk kualitas Cruise, yang membuat karakter Morton persis belaka dengan karakter-karakter lain yang pernah dimainkannya.
“Nick, Chris, dan Jenny adalah karakter yang lemah dan bikin frustrasi,” tulis Tasha Robinson dari The Verge. “Dan naskah Kurtzman tampaknya sama sekali tak peduli dengan detail di sekitar karakter-karakter itu.”
Karakter lain yang juga diberi porsi besar tapi dengan latar belakang sempit adalah Dokter Henry Jekyll yang diperankan aktor kawakan Russell Crowe. Penonton memang akan diberikan beberapa menit untuk melihat Jekyll berubah jadi monster yang bersemayam sebagai kepribadian kedua di tubuhnya, yaitu Tuan Edi Hyde. Namun, sayangnya, tak ada penjelasan tentang siapa sebenarnya Jekyll, sejak kapan ia memelihara Hyde, dan terutama bagaimana ia bisa mendirikan Prodigium—sebuah organisasi rahasia pemburu para monster, termasuk Ahmanet.
Bisa jadi hal di atas adalah trik Kurtzman untuk menangguk penonton agar lebih penasaran pada Dark Universe yang sedang dibangunnya. Untuk sebuah film pembuka, cerita The Mummy memang cukup jelas. Dengan taburan-taburan jebakan plot yang sengaja dibikin menggantung sekaligus diberi ruang supaya kelak bisa dikembangkan dalam film-film lanjutannya.
Hal ini membuktikan bahwa, tak peduli kritik-kritik pedas pada kualitas The Mummy, tampaknya petualangan para monster ini di Dark Universe akan terus berlanjut.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra