Menuju konten utama

Black Panther: Bagus, Cerdas, Penting, dan Politis

Black Panther terang-terangan tampil politis, membawa pesan penting buat seluruh negeri yang punya sejarah merepresi orang-orang berkulit gelap.

Black Panther. Facebook/ BlackPantherMovie

tirto.id - Belakangan, kalimat: “Tak seperti film Marvel yang biasanya” sering kali terdengar sebagai embel-embel kritik atas Black Panther, film superhero terbaru dari Marvel. Peter Travers dari Rolling Stones menulis, “Black Panther adalah film epos yang (caranya) berjalan, bicara, atau jadi jagoan tak seperti film Marvel biasanya.”

Kyle Buchanan dari Vultures juga menulis kalimat mirip-mirip: “Black Panther tak seperti film Marvel lainnya, dan harusnya memang begitu, jika ia memang ingin membayar tribut yang pantas untuk superhero kulit hitam pertama dalam sejarah komik arus utama Amerika.”

Terakhir, komentar serupa datang dari Moyang Kasih Dewi Merdeka, jurnalis seni-budaya yang biasa mengisi rubrik Resensi Film majalah Tempo. Ia yang lebih dulu menonton Black Panther, mengirimi saya pesan tanpa spoiler sebaris pun: “Ntap kali! Not your usual Marvel movie.”

Semua kagum dan punya kritik bagus buat Black Panther—film superhero pertama Marvel yang sutradara, penulis naskah, dan pemain utamanya adalah orang kulit hitam. Di bawah Marvel Cinematic Universe (MCU)—tempat semua pahlawan super Marvel tinggal di jagat raya yang sama—Black Panther juga jadi karakter kulit hitam pertama yang dibikinkan film tunggalnya. Ini membuat Marvel tak bisa tak tampil politis.

Apalagi, ia baru muncul setelah 17 film MCU lain yang semua tokoh utamanya adalah pria kulit putih. Mulai dari Iron Man, The Hulk, Thor, Captain America, Star Lord, Ant-Man, Doctor Strange, dan Spiderman.

Black Panther sendiri adalah salah satu superhero pentolan yang punya peran besar dalam dunia komik Marvel. Ia tampil pertama kali pada 1966, jadi tokoh antagonis dalam komik Fantastic Four #52. Diciptakan Stan Lee dan Jack Kirby sebagai representasi pahlawan super kulit hitam yang sama sekali tak ada waktu itu. Ya, sekalian untuk menarik pangsa pasar tersebut.

Sebelumnya, karakter Afrika-Amerika hanya hadir sebagai penjahat. Atau, paling beruntung ya cuma jadi sidekick—pembantu superhero utama. Maka, difilmkannya Black Panther—setelah lebih dari setengah abad berjaya di komik—adalah sebuah momentum politis yang tak sedikit pun disia-siakan sutradara Ryan Coogler (Fruitval Station, Creed), yang menulis naskah film ini.

Sutradara muda ini benar-benar menjejali bobot-bobot tak sederhana dalam jagat raya Black Panther rekaannya—hal-hal yang kemudian membuat film superhero Marvel kali ini memang tak seperti film-film sebelumnya.

Pertama, ia menggali budaya Afrika lewat Wakanda—sebuah negara fiktif rekaan Kirby yang mencomot sebagian Kenya, Etiopia, Sudan Selatan, Uganda, dan perbatasan Danau Turkana dalam dunia nyata. Negara ini dikisahkan sebagai yang paling pesat teknologinya sekaligus paling sejahtera di dunia.

Namun, fakta itu dirahasiakan dari dunia luar, sebab Wakanda punya vibranium—metal paling kuat sekaligus sumber mineral yang punya banyak khasiat. Warisan alam ini yang ingin dijaga Wakanda, takut jadi rebutan yang diributkan negara lain.

Sebagai orang pertama yang mengangkat Wakanda ke layar lebar, Coogler punya visi yang kuat: gedung-gedung pencakar langit, kereta api ekspres dengan desain futuristik, tambang vibranium yang eksotis dengan cahaya biru keungu-unguan adalah sebagian detail yang tampil kokoh.

Kerja tim produksi yang paling menonjol di sini adalah kostum dan pakaian. Bekerja sama dengan nominator Oscar, Ruth Carter, Coogler berhasil menonjolkan salah satu kultur terbaik orang Afrika, yaitu fashion.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/18/black-panther--mild--quita-01.jpg" width="860" alt="Infografik Pantera Negra" /

Saat T’Challa—sang Black Panther—dan Nakia jalan-jalan di salah satu jalanan Wakanda yang ramai lalu-lalang, saya tak bisa tak teringat pada Maboneng Street, di Johannesburg, Afrika Selatan. Arsitektur jalanannya sama sekali berbeda, tapi gaya busana orang-orang di sana yang sama. Mereka semua berpakaian modis dan mengubah jalanan itu jadi panggung mode. Warna dan ornamen etnis jadi kuncinya.

T’Challa diperankan Chadwick Boseman, sementara Nakia, seorang intelijen Wakanda, diperankan salah satu perempuan tercantik di dunia, Lupita Nyong’o. Nama-nama besar yang dipilih Coogler jadi aktornya juga kunci kesuksesan Black Panther. Ada Angella Basset, Forest Whitaker, dan Michael B. Jordan yang juga memberikan performa kelas A. Hebatnya Coogler, semua aktor itu punya karakter kokoh yang tak cuma tempelan dalam naskah.

Tak seperti film superhero Marvel lain yang bertaburan aktor kelas A, tapi cenderung hanya sekadar lewat, macam Jeff Goldblum dan Idris Elba dalam Thor Ragnarok, atau Marisa Tomei dan Jennifer Connelly dalam Spiderman Homecoming. Daftar ini bisa makin panjang jika merunut film-film Marvel lain.

Alur cerita yang disajikan Coogler juga tak sesederhana putih lawan hitam, macam film-film superhero lain.

Michael B. Jordan, yang memerankan Killmonger, musuh utama Black Panther, jelas tak sama dengan Vulture-nya Michael Keaton dalam Spiderman Homecoming. Ia hadir dengan perspektif yang mengguncang keyakinan penonton pada T’Challa, sang protagonis. Killmonger ingin Wakanda, negara asli Afrika yang tak pernah tersentuh kolonisasi kulit putih dan punya sumber daya melimpah, untuk membantu perjuangan orang-orang kulit hitam di negara-negara lain.

Sementara T’Challa berusaha mempertahankan tradisi Wakanda untuk menyembunyikan diri—seperti para Black Panther sebelum dirinya.

Penonton yang mendukung hak politik pencari suaka bisa jadi geram pada T’Challa karena perspektif tersebut. Sementara mereka yang cenderung nasionalis mungkin bisa paham, dan berhasil benci pada Killmonger.

Sampai di sini jelas bahwa diskusi yang dilempar Coogler dalam filmnya tidak sederhana. Ia membuat Black Panther bukan cuma tampil bagus secara teknis, tapi juga hadir sebagai film yang penting.

Coogler juga dipuji karena berhasil menebalkan konsep gerakan artistic afrofuturism—yang mendorong gagasan bahwa orang-orang kulit hitam juga bisa berhasil di masa depan lewat teknologi dan sains. Gerakan itu muncul karena imaji yang muncul tentang orang-orang kulit hitam dalam film adalah melulu tentang kekerasan, kemiskinan, dan kriminalitas.

Carvell Wallace, jurnalis lepas keturunan Afrika, sempat menulis esai bagus di New York Times, tentang bagaimana Black Panther berperan penting bagi orang kulit hitam Amerika, yang biasa ditindas dan punya sejarah segregasi. Wakanda yang diciptakan Coogler jadi simbol harapan itu, kata Wallace.

Kehadiran Black Panther memang penting. Terutama bagi orang-orang berkulit gelap, yang akhirnya terwakili dalam film-film sukses milik raksasa sebesar Marvel.

Tak cuma mereka yang ada di Amerika, kolonisasi orang kulit putih juga terjadi di mana-mana. Indonesia pernah juga jadi lahan basah yang jadi langganan jajahan bangsa Kaukasia.

Bekasnya bukan koreng yang bisa hilang dalam hitungan minggu atau bulan. Cacat pikir orang kulit putih tentang segregasi berdasarkan warna kulit itu tertinggal di setiap tanah yang pernah mereka jejaki. Itu sebabnya, politik representasi yang dibawa Black Panther jadi penting. Terutama buat seluruh negeri yang punya sejarah merepresi orang-orang berkulit gelap.

Ihwal tentang representasi ini juga pernah ditulis Roy Thaniago dari Remotivi, tentang orang-orang Papua yang sering disalahpahami oleh orang di luar Papua. Hukum Indonesia memang tak menyokong tindakan diskriminatif, hingga sampai bisa disebut segregasi. Namun, diskriminasi dan previlese itu nyata adanya.

Wallace mungkin benar. Black Panther, meski lewat Wakanda yang fiktif, bisa membawa harapan baru bagi mereka keturunan kulit gelap; bahwa masa depan tak melulu buruk seperti yang digambarkan media dan film. Sederhananya, gagasan ini ingin merayakan bahwa para pahlawan super dunia tak melulu cuma pria Kaukasia berkulit putih. Dan tentu saja itu benar.

Baca juga artikel terkait BLACK PANTHER atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf