tirto.id - Bagaimanakah kecantikan yang ideal itu? Begitu banyak meteran yang bisa digunakan, sehingga pertanyaan macam ini mustahil punya satu jawaban.
Tapi Diana, perempuan berumur 36 asal Bandung, tahu jawaban pertanyaan itu—setidaknya untuk dirinya. Menurut Diana, ia merasa sempurna ketika wajahnya bisa tampak 'fresh' dan pipinya lebih tirus. Maka, ia rajin merawat wajahnya: masker, peeling, facial termasuk dermabrasi, dan seterusnya.
Jika dirinya sedang ada uang berlebih, ia kerap ke Singapura untuk “merawat” wajahnya secara lebih ekstra. Salah satu tujuannya: melakukan tanam benang supaya pipinya lebih tirus. Ia juga menambahkan filler di beberapa bagian wajah agar lebih kencang dan kulitnya tak tampak dimakan usia.
Tapi untuk perawatan ekstra yang lebih rutin, ia cukup melakukan suntik vitamin C dan kolagen di satu layanan klinik kecantikan di dalam kota minimal sebulan sekali.
“Supaya wajah lebih cerah,” katanya.
Biaya? “Ya, sekitar 500 ribuan.”
Bukan kebetulan jika dua tahun lalu Esther Honig, wartawan freelance melakukan eksperimen sosial yang kemudian dimuat di Buzzfeed. Lewat jejaring pekerja paruh waktu Fiverr, Honig meminta lebih dari 50 editor foto dari berbagai negara untuk mengedit wajahnya secara digital dan membuatnya “menjadi cantik.”
Honig sudah memperkirakan permintaannya akan diinterpretasikan dengan berbeda, terkait dengan budaya para foto editor yang memang berbeda-beda.
Tapi hasilnya tetap mengejutkan bagi sang wartawan. “Wajahku dibuat lebih terang atau dibuat gelap, alisnya dibuat setipis garis pena atau dibuat lebih tebal, dipakaikan hijab, dan dalam beberapa gambar, wajahku benar-benar diubah,” katanya dalam ceramah TEDx.
Jika di negara lain kulit muka Honig dibuat lebih terang atau lebih tebal, oleh editor foto asal Indonesia, kulit wajah dan badannya tak hanya dibikin lebih putih, tetapi juga berkilauan. Wajahnya flawless alias tak bernila. Kira-kira seperti yang diinginkan Diana van Bandung dengan ampul-ampul vitamin C dan kolagennya. Plus, ekspresi yang kurang-lebih tampak innocent.
Ini bukanlah kebetulan.
Eric P. H. Li, dkk menunjukkan pencerah wajah adalah salah satu produk perawatan paling penting di empat negara Asia, yakni India, Korea, Jepang, dan Hongkong, sebab standar kecantikan di tempat-tempat itu mendorongnya.
“Di India, kata yang berarti cerah dan cantik bersinonim,” tulis mereka dalam “Skin Lightening and Beauty in Four Asian Cultures”, berdasar penelitian Franklin dan Hall. Bahkan lebih jauh dari sekadar standar kecantikan, putih juga mewakili moral yang baik.
Pada kebudayaan India, “hitam” diasosiasikan dengan tak berpunya dan simbol dari 'gelap', 'kotor', 'keliru', 'neraka', dan 'ketakadilan', dan berlawanan dengan 'baik', 'cerah', dan kesejahteraan.
Sebaliknya, kulit putih diasosiasikan dengan pesan-pesan baik dalam budaya India. Putih berarti tanda 'keindahan', 'kemurnian', kebersihan', dan 'kebahagiaan', selain menjadi simbol kuasa dan privilese.
Di Indonesia juga sama. Aquarini Priyatna menunjukkan obsesi atas kulit putih itu dalam bukunya Becoming White. Obsesi itu salah satunya dibentuk oleh industri yang menghadirkan pesohor-pesohor blasteran Eropa yakni Sophia Latjuba dan Tamara Bleszynski pada iklan sabun Giv dan Lux.
Giv dan Lux juga tentu bukan satu-satunya. Tengoklah banyak iklan yang mengidealkan kulit putih dan “berkilau.” Memakai model iklan blasteran atau tidak, yang muncul adalah kata-kata 'putih', 'berkilau', dan 'cerah'.
Penetrasi pasar untuk produk pemutih juga cukup tinggi. Berdasar riset MARS pada 2014, masyarakat Indonesia yang menggunakan krim/lotion pemutih wajah sebesar 9,3 persen, meski angkanya berkurang menjadi 6,9 persen pada 2015.
Tak heran jika yang menjadi jawara di pasar perawatan muka adalah produk yang jor-joran menjual target kulit putih, yakni Ponds. Produk krim/lotion pemutih wajah merek Pond’s memiliki pangsa pasar yang paling besar tiap tahunnya. Pangsa pasar Pond’s pada 2013 sebesar 50,4 persen, meski turun menjadi 39,7 dan 41,5 persen pada 2014 dan 2015.
Fenomena ini bisa dibaca dengan kerangka standar ideal Barat dan kolonialisme. Li dan kawan-kawan menulis bahwa makna dari kulit putih memadukan ideologi massa Barat dengan nilai-nilai kultural Asia tradisional.
Misalnya budaya India tadi yang memang sudah mengasosiasikan putih dengan nilai-nilai kebaikan dan kesejahteraan, berpadu dengan standar cantik ala Kaukasian yang dibawa sejak zaman kolonialisme.
Pasca-kolonialisme, ideologi kulit putih dibawa oleh iklan-iklan produk kecantikan global. “Model-model Kaukasian sering digunakan dalam iklan-iklan untuk merek global macam Estee Lauder dan L’Oreal. Empat puluh empat persen iklan Korea dan lima puluh empat persen iklan Jepang memakai mode-model Kaukasian,” tulis Li, dkk.
Sejak penelitian macam ini muncul, kritik pun menyusul. Brand-brand itu disebut mempromosikan rasisme dan agisme yang tak sehat. Menggunakan produk pencerah bisa dibilang wajar bagi mereka yang terpapar banyak sinar matahari di negara macam India dan Indonesia. Ada efek sinar matahari yang menyebabkan noda hitam dan tak ratanya warna kulit.
Tapi obsesi itu menjadi tak sehat ketika warna kulit terang milik orang Eropa dijadikan sebagai tujuan. Itu sebabnya banyak merek perawatan kecantikan, langsung atau tak langsung, dianggap mempromosikan rasisme. Juga ageisme. Kita tahu tak hanya kulit putih yang menjadi ideal, tetapi juga kulit yang segar dan muda, dan iklan perawatan kecantikan kerap juga menjual keawetmudaan.
Obsesi semacam ini juga yang membuat banyak orang mencoba banyak terapi, mulai dari sekadar mengoleskan krim dan masker, sampai tanam benang dan botox.
Tapi agaknya mulai ada belokan tajam dalam industri kecantikan. Baru-baru ini, iklan Olay di Indonesia menampilkan pesohor berkulit coklat Tara Basro sebagai wakil mereknya.
Di dunia Barat sana, industri pun mulai sadar dengan kerewelan orang-orang soal ageisme. Helen Mirren, aktris Inggris memukau berumur 71 tahun itu, kini menjadi duta bagi L'Oreal Paris.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti