tirto.id - Industri kesehatan global saat ini sedang berkembang pesat dengan jumlah permintaan layanan kesehatan berkualitas yang masif. Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan pada tahun 2021, total dana yang dikucurkan untuk keperluan berobat Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri mencapai Rp164 triliun per tahun. Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura menjadi destinasi utama karena pertimbangan harga dan kualitas.
Kebocoran devisa negara dari sisi wisata kesehatan (health tourism) menegaskan perlunya antisipasi dengan penyediaan layanan kesehatan yang mumpuni. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabinet Indonesia Maju, Sandiaga Salahuddin Uno menyinggung bahwa kesehatan dan kebugaran telah menjadi tren dan esensi penting bagi wisatawan, sehingga wisata kesehatan menjadi daya tarik potensial.
Pemerintah Bali mulai melirik upaya bisnis wisata kesehatan. Hal ini tidak terlepas dari situasi daerah yang sudah menjadi destinasi wisata itu mampu meningkatkan masa durasi tinggal wisatawan di Pulau Dewata. Potensi pengembangan bisnis wisata kesehatan pun mendukung lantaran daerah dengan sekitar 4,3 juta jiwa ini diikuti dengan pengembangan akses, fasilitas, dan teknologi kesehatan di Pulau Dewata.
Penasehat Senior World Council for Preventive, Regenerative, and Anti-aging Medicine (WOCPM), Jusuf Kalla, mengakui potensi Bali sebagai destinasi wisata kesehatan. Potensi yang dimiliki Bali ini diharapkan mampu menarik atensi warga negara Indonesia yang selama ini berobat ke luar negeri untuk beralih dan berobat di dalam negeri.
“Jadi orang sambil menikmati keindahan Bali, datang untuk konsultasi atau berobat. Sambil orang datang karena ingin sehat, bukan hanya memandang keindahan alam tapi bagaimana juga kesehatan,” ungkap Jusuf Kalla di sela Kongres Internasional WOCPM 2024 di Kuta, Bali, Minggu (10/11/2024).
Narasi tentang potensi Bali di bidang wisata kesehatan juga datang dari Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin. Dalam acara peresmian Gedung Ngoerah Sun Wellness and Aesthetic Center di Denpasar, Kamis (03/10/2024), Budi menyebutkan Bali memiliki kemampuan melayani wisatawan di sektor kesehatan dan adaptif untuk wisatawan mancanegara.
“Bali is a destination for people to live, to enjoy life, to heal. (Bali adalah tujuan bagi orang untuk tinggal, untuk menikmati hidup, dan untuk menyembuhkan diri),” katanya.
Sementara itu, Ketua Bali Medical Tourism Association (BMTA), dr. Gede Wiryana Patra Jaya, M.Kes., menjelaskan bahwa wisata kesehatan sejatinya berfokus pada empat hal, yakni wisata medis (medical tourism), wisata kebugaran (wellness tourism), wisata olahraga (sport tourism), dan wisata ilmiah kesehatan (scientific health tourism).
Wisata medis dan wisata kebugaran sendiri akan digarap lebih serius di bawah payung BMTA yang merupakan asosiasi rumah sakit atau klinik di Provinsi Bali untuk spektrum pariwisata. Saat ini, asosiasi tersebut sudah beranggotakan 14 rumah sakit (6 rumah sakit milik pemerintah dan 8 rumah sakit swasta) yang berkomitmen untuk mempromosikan dan melayani wisata kesehatan.
“Ini karena mereka punya layanan unggulan. Kedua, mereka punya pengalaman menangani wisatawan. Bukan hanya orang lokal, tetapi termasuk orang asing,” ungkap Patra kepada kontributor Tirto, Kamis (14/11/2024).
Perkembangan Wisata Kesehatan di Bali
Potensi wisata kesehatan mulai ditilik pemerintah pusat dengan menetapkan Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan (KEKK) Sanur. Dilansir dari laman resmi Indonesia Special Economic Zone (SEZ), KEKK Sanur yang memiliki lahan seluas 41,26 hektar akan menghadirkan fasilitas-fasilitas kesehatan bertaraf internasional. Berstatus sebagai kawasan ekonomi khusus, berbagai kemudahan ditawarkan KEKK Sanur seperti izin praktik tenaga kerja asing, bea cukai peralatan medis, penggunaan obat tersertifikasi, serta kemudahan imigrasi.
Baru-baru ini, PT Hotel Indonesia Natour (InJourney Hospitality) selaku pihak pengembang KEKK Sanur telah menambah fasilitas wisata di kawasan tersebut dengan meresmikan gedung Centre of Excellence Aesthetic and Plastic Surgery milik PT Bluecross Medika International (BMI).
Direktur Utama PT Hotel Indonesia Natour, Christine Hutabarat, dalam keterangannya menyatakan kerja sama penyediaan layanan bedah plastik dan kecantikan dengan BMI tersebut sesuai dengan visi KEKK Sanur untuk menghadirkan destinasi wisata kesehatan yang berkelanjutan dan inklusif.
“Kami optimis kolaborasi ini dapat menjadi katalis dalam ekosistem pariwisata kesehatan dan memperkuat daya tarik wisata medis Indonesia yang berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia, khususnya Bali,” ungkapnya, Senin (11/11/2024).
Selain itu, berdasarkan data InJourney, terdapat 16 layanan kesehatan dan klinik standar internasional yang beroperasi di KEKK Sanur, seperti Mayo Clinic dari Amerika Serikat, Alster Lake Clinic dari Jerman, dan Bali International Hospital. Jumlah layanan di KEKK Sanur dipastikan terus bertambah hingga beroperasi penuh di Maret 2025.
Provinsi Bali juga disebut sedang mengembangkan terapi sel punca (stem cell) dan terapi gen. Transplantasi sel punca merupakan salah satu metode pengobatan untuk berbagai penyakit, khususnya kanker dan penyakit degeneratif lainnya, sementara terapi gen dikembangkan agar gen penyakit tertentu yang berpotensi diidap manusia ketika lahir dapat diubah.
“Bali menjadi role model (untuk terapi sel punca). Jadi Bali harus giat dan nanti bisa menjadi role model bagi daerah lain di Indonesia maupun di seluruh dunia,” ungkap Presiden WOCPM, Prof. dr. Deby Vinski, MSc., PhD, di Kongres Internasional ke-2 WOCPM di Discovery Kartika Plaza Hotel, Minggu (10/11/2024).
Di bidang wellness tourism, Provinsi Bali telah memiliki pusat kecantikan dan kebugaran di Gedung Ngoerah Sun Wellness and Aesthetic Center, Denpasar. Keberadaan pusat ini merupakan arahan dari Presiden ke-7, Joko Widodo, untuk diversifikasi ekonomi usai terpuruk pandemi. Sewaktu meresmikan gedung ini, Menteri Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa tempat ini akan menjadi bagian dari deretan wisata kesehatan yang Bali miliki.
“Bali jangan ambil industri kesehatan yang kuratif, tetapi harus industri kesehatan yang sifatnya wellness, kombinasi beauty and aesthetic,” bebernya.
Di luar pengembangan infrastruktur dan fasilitas, Bali telah merancang paket wisata kesehatan dengan format mirip wisata rekreasi pada umumnya. Ketua Bali Medical Tourism Association (BMTA), dr. I Gede Wiryana Patra Jaya, M.Kes. menerangkan, setiap paketnya terdiri dari unsur pemeriksaan kesehatan dan konseling, serta healing program dengan aktivitas fisik ringan atau meditasi.
“Baru tahun kemarin kita selesai membuat paketnya untuk Bali. Kita mengadopsi modelnya Pharmed International. Pharmed International ini pemain untuk medical wellness tingkat dunia. Jadi dia bisa memberikan modelnya, ini silakan dicoba,” tuturnya.
Kegiatan wisata kesehatan yang dicanangkan tidak semuanya dipusatkan di rumah sakit, melainkan dipadukan dengan wisata alam dan budaya. Patra menyebut kawasan KEKK Sanur yang memiliki fasilitas akomodasi seperti The Meru Sanur dan Bali Beach Hotel. Dua hotel tersebut, menurutnya, dapat dikembangkan untuk menyokong pemulihan setelah tindakan medis dilakukan.
“Misalnya orang habis operasi, tapi mereka setelah itu pemulihannya di kawasan pariwisata sebelum pulang ke negaranya masing-masing. Jadi, kegiatan setelah operasi itu bisa kegiatan meditasi, healing, atau medical spa,” jelasnya.
Direktur Utama Bali Royal Hospital tersebut juga mengakui bahwa produk kesehatan di Bali sudah mulai diminati oleh wisatawan asing, terutama di bidang-bidang unggulan seperti kecantikan, bedah plastik, perawatan gigi, dan bayi tabung (in-vitro fertilization).
“Produk kesehatan kita sudah diminati oleh orang luar, misalnya kecantikan dan dental. Contohnya Rumah Sakit BIMC Nusa Dua, itu bedah plastiknya sekarang sudah antre sampai Mei tahun depan. Bayi tabung juga (sudah diminati),” ujarnya.
Tenarnya produk kesehatan Pulau Dewata juga terdengar sampai Belanda. Patra menyebut BMTA sempat diundang oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda untuk membuat expo wisata kesehatan dari 25 hingga 26 Oktober 2024. Melihat program-program yang ada, Negeri Kincir Angin meminta Bali untuk segera mengembangkan senior wellness (kebugaran lansia).
“Di sana (Belanda), mereka mintanya tentang senior wellness. Bukan panti jompo, jadi fasilitas kesehatan untuk orang tua. Senior wellness berarti mengajak orang tua untuk mengikuti program, supaya kemunduran (kesehatan) ini tidak drastis,” sambung Patra.
Sejumlah “PR” Wisata Kesehatan
Meskipun berbagai terobosan wisata kesehatan sudah muncul di Pulau Dewata, perjalanan yang harus ditempuh agar bisa setara dengan Malaysia dan Singapura masih panjang. Menurut Patra, pelaku wisata kesehatan di Bali harus mampu menarik rasa percaya konsumen, serta aktif memperkenalkan layanan atau produk selain peningkatan penggunaan dan penguasaan teknologi.
“Wisata kesehatan itu gimana kita merayu konsumen untuk percaya dengan kita, untuk bisa deal berangkat ke Bali. Yang dari dulu terjadi, dokter itu duduk, terus pasien datang. Sekarang kalau wisata kesehatan harus lebih aktif mengundang orang datang, memperkenalkan produk kita,” terangnya.
Patra juga menyarankan Bali untuk menilik Malaysia dan Singapura. Dua negara tersebut sudah memiliki suatu pola yang teratur dalam implementasi wisata kesehatan. Menurutnya, rincian program wisata kesehatan yang negara tetangga buat sudah mumpuni untuk memberikan kepastian bagi pasien.
“Mereka sudah punya suatu pola, mulai dari orang sebelum berangkat, persiapan berangkat, sampai di sana diatur seperti apa, keluarganya juga ditawarkan apa dan sebagainya, jadi ini suatu rangkaian journey yang mereka sudah buat dengan baik dan ada kejelasan, kepastian juga,” ucap Patra.
Menurutnya, mayoritas konsumen wisata kesehatan di Bali masih skeptis dengan cara tenaga medis menangani pasien. Padahal, di negara-negara tetangga, pihak konsumen langsung menyerahkan kepercayaan terhadap layanan medis yang ditawarkan.
Selain itu, berbeda dengan wisata rekreasi yang dapat memakai pemandu, wisata kesehatan belum memiliki pemandu profesional. Dituturkan oleh Patra, belum ada pendidikan atau pelatihan yang secara spesifik melatih pemandu-pemandu yang akan terjun ke wisata kesehatan.
“Pemandu wisata kesehatan belum ada spesifikasinya, pendidikannya apa. Itu (spesifikasi pemandu wisata kesehatan) perlu dikulik lebih lanjut,” pungkasnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Andrian Pratama Taher