tirto.id - Film ini adalah film Hollywood pertama Taika Waititi, seorang sutradara, komedian, aktor, dan penulis naskah asal Selandia Baru.
Sebagai sineas, Waititi lebih dikenal sebagai aktor ketimbang sutradara atau penulis naskah. Sejak 1999, ia memainkan sejumlah peran kecil—beberapa kali peran utama—untuk film pendek dan film panjang, baik dalam filmnya sendiri sebagai sutradara atau film yang ia tulis naskahnya. Misal, dalam Hunt for the Wilderpeople (2016) atau What We Do in the Shadows (2013). Bahkan, di Thor: Ragnarok,ia memerankan Korn, teman Thor (Chris Hemsworth) dalam penjara planet Sakaar.
Meski wajahnya lebih sering tampil di depan layar, bukan berarti karier Waititi sebagai sutradara adalah hal baru dan boleh luput dari perhatian. Justru, ia adalah satu dari sedikit sineas Selandia Baru yang sepak terjangnya dipantau Hollywood. Pada 2005, film pendek Waititi—berdurasi 11 menit—berjudul Two Cars, One Night (2004) masuk nominasi Oscar. Ia juga menang dalam sejumlah festival film Eropa dan Selandia Baru karena film itu. Dalam kariernya sebagai penulis naskah, Moana adalah karya Waititi yang paling sukses dan dikenal. Ia adalah orang yang bertanggung jawab atas draf pertama naskah film salah satu Putri Disney itu.
Namun, di atas namanya yang melambung karena kerja keras di dunia film, citra yang paling lekat pada Waititi adalah identitasnya sebagai komedian. Sebelum terjun ke film, Waititi memang memulai kariernya sebagai pelawak. Ia bahkan, bersama rekannya Jemaine Clement, adalah penerima Billy T Award, penghargaan tertinggi dalam dunia komedi di Selandia Baru pada 1999.
Lalu, ketika Marvel megabarkan kalau proyek film ketiga Thor ini diberikan pada Waititi, kira-kira apa yang akan penonton dapatkan?
Humor. Siapa pun tahu jawabannya adalah humor. Marvel dan Walt Disney Pictures terlalu kentara dalam hal ini. Seolah-olah berteriak dari jauh-jauh hari untuk mengabarkan keputusan mereka membuat Thor, si dewa petir asal mitologi Nordik bersama seluruh semestanya, menjadi panggung jenaka.
Sejak rol film diputar, humor itu langsung disebar Waititi dengan prolog dari Thor—yang terasa seperti sedang bicara langsung pada penonton, padahal dialog searahnya pada sebongkah tengkorak. Jika sudah melihat trailer-nya, maka akan tahu kalau bagian ini bukan spoiler.
Humor-humor itu nyaris tak putus. Ada dalam hampir setiap adegan. Bukan cuma datang dari tokoh-tokoh protagonis, tapi juga mereka yang antagonis, termasuk Hela (Cate Blanchett), villain utama dalam film ini. Sehingga, wajar jika kita—sebagai penonton—akan merasakan perubahan besar dalam semesta Thor yang cukup drama dan agak serius pada dua film sebelumnya: Thor dan Thor: The Dark World.
Meski sebenarnya, petualangan Thor yang jenaka ini terasa sekali menguntit dua film Guardian of the Galaxy yang sukses didapuk jadi film Marvel paling lucu. Perkakas-perkakas yang digunakan, nyatanya, terkesan serupa: petualangan luar angkasa, alien-alien dengan kelakar khas manusia, isu domestik keluarga, dan ramuan paling mirip tentu saja: ranjau kelakar dalam tiap dialog.
Baca:Guardian of the Galaxy yang Masih Jenaka
Satu-satunya alasan paling masuk akal dari perubahan itu adalah uang. Dalam rentetan 15 film Marvel Cinematic Universe (MCU) yang sudah tayang, sejak 2008-2017, nyatanya Thor memang salah satu yang paling rendah pendapatannya. Ia menempati posisi keempat dan lima terbawah. Padahal sang Dewa Petir dipilih sebagai salah satu Avengers yang ceritanya ditonjolkan dari yang lain—istilahnya karakter utama.
Guardian of the Galaxy sendiri, yang dipilih ketika MCU sudah berjalan untuk menggantikan kekosongan X-Men dalam semesta ini, malah masuk 10 besar pendapatan tersukses. Salah satu daya tariknya memang kejenakaan yang sengaja ditebar. Masalahnya, humor-humor itu memang cocok untuk semesta Star Lord, karakter yang diperankan Chris Pratt dalam Guardian of the Galaxy, yang memang berasal dari Amerika. Kelakar-kelakar khas negeri Paman Sam yang tersebar dalam dialognya kemudian terpilin wajar—membuat film itu justru semakin kuat.
Berbeda dengan yang terjadi dalam Thor: Ragnarok. Asal Thor sendiri adalah Asgardia, dunia tempat para dewa tinggal, yang konon melindungi sembilan dunia lainnya termasuk Bumi. Thor juga belum lama jadi penduduk Bumi dan terkenal sebagai salah satu Avengers—bahkan dia tak ada saat Iron Man pecah kongsi dengan Captain America. Tapi entah kenapa, dialog-dialog yang keluar di antara mereka—sesama Asgardian—terutama Thor, Loki (adiknya diperankan Tom Hiddleston), Valkyrie (Tessa Thompson), Hela, dan Skurge (Karl Urban)—terasa sangat Amerika, sangat Hollywood.
Entah bagaimana, semua alien dalam semesta Thor punya satu bahasa, bahasa Inggris. Hal remeh ini setidaknya lumayan diperhatikan dalam semesta Guardian of the Galaxy. Sehingga, ketika para karakter menertawakan lelucon yang sama, hal itu masih masuk akal. Misalnya, Drax dalam geng Guardian of the Galaxy punya selera humor yang bertolak belakang dengan Mantis. Kontras itu yang justru menyajikan unsur humor yang mengundang tawa penonton.
Sementara dalam Thor: Ragnarok, kelakar-kelakar yang dimasukkan terlalu Hollywood, dan terlalu dipaksa untuk hadir. Para penonton yang terbiasa dengan film-film Hollywood, dan akrab dengan lelucon mereka tentu saja akan tertawa. Misalnya, karakter Valkyrie yang jalannya terhuyung-huyung karena setengah mabuk saat menangkap Thor. Tapi, apakah di Asgardia sana, alkohol juga jadi pelarian penduduknya dari stres? Bahkan di Bumi saja, tak semua negaranya punya budaya dekat dengan alkohol, sebagaimana yang dimiliki Hollywood dan Amerika. Jika dilihat lebih detail lagi, adiksi Valkyrie pada alkohol juga tak punya dampak apa-apa pada cerita, kecuali karakternya tak akan jadi selucu ketika dia mabuk.
Humor selalu subjektif. Pengaruh budaya dan teritorial memengaruhi seseorang dalam menangkap humor. Semesta Thor yang lucu ini terasa canggung karena dimensi Asgardia dan Bumi yang harusnya berbeda. Dampaknya, Thor: Ragnarok yang selalu dipromosikan jadi tahap penting dalam rentetan MCU sama sekali tak terasa. Ia lebih terasa hadir seperti hiburan belaka.
Plot cerita yang ditampilkan tak semenarik yang dijanjikan. Absennya Thor dan Hulk (Mark Ruffalo) dari perang saudara antar-superhero dalam Captain America: Civil War, rupanya bukan untuk misi apa-apa, kecuali membawa penduduk Asgardia ke Bumi. Dua tahun misterius menghilangnya Hulk juga dijawab dengan alasan yang cenderung kocak dalam film ini. Belum lagi penggambaran Ragnarok yang terkesan jadi sepele dan tak semenyeramkan semestinya, akibat banjir humor yang sengaja dipacak di setiap sela film ini.
Akhirnya, usaha melucu dalam Thor: Ragnarok menghilangkan konteks-konteks penting yang harusnya bisa dibawa Thor sebagai pengikat alur panjang MCU. Penonton bisa suka-bisa tidak. Tinggal pilih saja: menikmati humor paksaan dalam film ini dan ikut tertawa, atau berharap film MCU lainnya tak berubah genre jadi komedi juga. Toh, Waititi memang lucu. Chris Hemsworth dan Cate Balnchett juga persona yang humoris dalam kehidupan nyata. Kalau bukan penggemar komiknya—melihat mereka melawak dalam film—memang apa salahnya?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti