tirto.id - Keputusan Marvel mengangkat kisah Guardians of the Galaxy ke dalam jajaran film-film Marvel Universe sangatlah kontradiksi kala itu. Dibandingkan Iron Man, Captain America, The Hulk, Thor, Spiderman, bahkan Antman, reputasi Guardians of the Galaxy sebagai komik pahlawan super jauh di bawah nama-nama tersebut. Padahal Guardians of the Galaxy berisi setidaknya lima orang pahlawan super yang jadi karakter utama: Star Lord, Gamora, Drax the Destroyer, Rocket, dan Groot.
Kelima pahlawan super ini tak termasuk tokoh-tokoh komik Marvel yang diingat lorang-orang awam, seperti nama-nama lain di atas. Kecuali penggemar sejati, dan mereka yang pernah menonton filmnya, kebanyakan orang tak tahu beda Gamora dan She-Hulk; Atau fakta bahwa Drax the Destroyer adalah satu-satunya keturunan murni manusia di antara mereka.
Jadi, menggabungkan lima tokoh tak populer ke dalam linimasa film-film Marvel Universe—jagat raya tempat para pahlawan super Marvel berkumpul—bisa dibilang tindakan berisiko. Kalau saja ketidaktenaran Guardians of the Galaxy berpengaruh pada penjualan filmnya, maka artinya: Marvel mengorbankan film-film lainnya dalam linimasa tersebut, termasuk kisah Iron Man, Captain America, dan Avengers lainnya; film-film yang alur ceritanya akan berkelindan dengan Guardians of the Galaxy, sebagaimana semua film dalam linimasa Marvel Universe.
Tak dinyana, keputusan berisiko itu berbuah manis ketika Marvel di saat yang sama mendapuk James Gunn sebagai sutradara sekaligus salah satu penulis naskahnya. Film itu meraup kesuksesan besar, minggu pertama saja film itu meraup 160,4 juta dolar. Total pendapatannya mencapai 773.328.629 juta dolar. Selain laku ditonton sekian masa, Guardians of the Galaxy yang rilis pada 2014 menuai puja-puji dari sejumlah kritikus film.
Peter Bradshaw, kritikus dari The Guardian menyebut film tersebut sebagai film pintar, lucu, dan pembawa kesenangan bernostalgia. Sementara Manohla Dragis dari The New York Times menyebut Guardians of the Galaxy sebagai film yang berdedikasi pada jalan cerita dalam resensinya. Ia juga memuja-muja lakon para pemain, tentu saja, secara implisit memuja sang sutradara.
Salah satu poin kesuksesan film itu memang adalah keberanian Gunn meramu bejibun humor dalam pertunjukan penuh aksi khas pahlawan super Marvel. Humor-humor itu berhasil menjadi kelakar yang membuat para penonton jadi tahu dan hafal nama-nama anggota Guardians of the Galaxy.
Faktor lainnya adalah nama-nama besar yang dibayar mahal Marvel untuk menghidupkan karakter-karakter itu. Star Lord diperankan Chris Pratt, Gamora menonjol dibawakan Zoe Saldana, bahkan Rocket dan Groot—seekor rakun dan sebatang alien pohon—yang sebenarnya hanya efek luar biasa layar hijau, tampil mencuri perhatian lewat suara aktor kesayangan umat Bradley Cooper dan Vin Diesel. Tentu tak lupa pada karakter Drax yang diperankan sangat bengis sekaligus kocak sekali oleh bekas pegulat Dave Bautista.
Dua racikan ini saja tampaknya sudah cukup sebagai bukti, bahwa keputusan Marvel memilih Guardians of the Galaxy dari ribuan pahlawan super lainnya, adalah sesuatu yang tepat. Sekaligus menunjukkan keseriusan Marvel merangkai linimasa Marvel Universe-nya.
Padahal, salah satu alasan mengapa Marvel sampai harus sibuk mengobok-obok karakter pahlwan supernya untuk dibawa ke layar lebar, adalah karena X-men—produk lain Marvel yang punya pamor bagus—sudah dibeli rumah produksi lain. Kala itu film-film X-Men dan sekuel-sekuelnya resmi ada di tangan Sony, sehingga alur ceritanya tak bisa berkelindan dengan Marvel Universe.
Menggantikan—atau paling tidak menyamai—pamor X-men tentu saja bukan perkara gampang bagi Guardians of the Galaxy. Meski nyatanya mereka berhasil.
Tuntutan Berat pada Sekuelnya
Kesuksesan hanya pertanda bahwa tantangan selanjutnya akan lebih sulit.
Tampaknya adagium di atas tepat menggambarkan sekual Guardians of the Galaxy yang cuma ditambahi Vol.2 dalam tajuknya. Kesuksesan Gunn memomulerkan Star Lord, Gamora, Drax, Rocket dan Groot membawa tanggung jawab lebih besar pada lanjutan film tersebut. Citra jenaka sudah kepalang lekat pada para penjaga galaksi. Filmnya bahkan dijuluki sebagai yang paling kocak di antara film-film dalam Marvel Universe lainnya.
Sementara, adagium lain yang berbunyi: berlakon sedih itu mudah, melawak yang susah, juga menggambarkan kesulitan yang harus dihadapi Gunn dan Marvel untuk membuat sekuel film ini.
Membuat naskah yang lebih lucu dari naskah pertamanya tentu tantangan utama yang harus dilalui Gunn. Lalu, berhasilkah ia?
Kritikus film Alex Abad-Santos dari Vox, bahkan mendeklarasikan Guardians of the Galaxy Vol. 2 sebagai film Marvel Universe terlucu, “Dan lebih berani daripada (naskah) orisinalnya.” Sekuel terbaru itu membuktikan bahwa, “Guardians of the Galaxy bukan bintang sekali musim belaka,” tulisnya.
Abad-Santos juga memuji keberanian Gunn mengeksplorasi unsur warna pada sinematografinya, sesuatu yang tak dijumpai pada film-film Marvel lainnya. “Belakangan film-film pahlawan super alergi pada warna,” ungkapnya.
Lakon para bintang utama juga masih brilian. Dibalut naskah jenaka, dialog para pahlawan super ini masih berhasil mengocok perut. Sebagian karakter (terutama Drax), bahkan semakin kocak, termasuk Nebula dan Yondu, tokoh antagonis yang superdingin di film sebelumnya.
Gunn juga tampil lebih siap di sekuel ini. Ia tak hanya membawa kembali senjata ampuhnya yang sudah dipakai di film pertama. Dalam Guardians of the Galaxy Vol. 2, Gunn juga menyiapkan sejumlah elemen kejutan lain yang bisa bikin penggemar Marvel gerasak-gerusuk di bangku. Elemen kejutan itu paling banyak datang dari dek pemain pendukung.
Meski begitu, tak semua kritikus senang dengan jerih payah Gunn membuat sekuel ini. Salah satunya Bradshaw, yang hanya memberikan tiga bintang dari lima, setelah sebelumnya memberikan 4 setengah bintang pada naskah orisinal. Ia mengakui kekocakan masih segar terasa dalam Guardians of the Galaxy Vol. 2, namun ia menilai alur sekuel ini melemah, tak sekuat yang pertama.
Tapi, rasanya kelamahan itu tak ada artinya dibandingkan kejutan-kejutan yang disisipkan Gunn. Salah satu yang paling segar, adalah kehadiran Stan Lee, salah satu komikus Marvel yang masih bernapas panjang, sebagai cameo dalam film ini. Kehadirannya mengonfirmasi teori penggemar yang menyebut bahwa Stan Lee bukan sekadar cameo konyol yang disisipkan secara tak sengaja. Apakah benar ia Uatu the Watcher, salah satu karakter paling berpengaruh dalam Marvel Universe?
Benar. Kritik Bradshaw rasanya sayang jika membuat Anda sampai tak menonton film ini.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti