tirto.id - Akhir pekan ini bakal menjadi perjalanan yang panjang bagi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Ia harus terbang ke Negeri Paman Sam untuk urusan yang belakangan ini sempat ramai jadi perbincangan ihwal ancaman "perang dagang" terhadap Indonesia oleh Amerika Serikat (AS).
Enggar akan memimpin kunjungan kerja 21-28 Juli 2018 dalam rangka pembahasan evaluasi fasilitas insentif bea masuk impor oleh AS atau Generalized System of Preference (GSP/Sistem Preferensi Umum) atas komoditas Indonesia. GSP ini lah yang baru-baru ini jadi masalah sensitif soal perdagangan kedua negara. Di sisi lain, bagi delegasi Indonesia sebagai pertemuan resmi pertama Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan mitra kerja di AS sejak masa pemerintahan Donald Trump.
“Kunjungan ke AS kali ini berupaya menjaga agar kepentingan ekspor Indonesia tidak terganggu, karena AS merupakan negara mitra dagang utama kedua setelah Cina,” kata Enggar dalam pernyataan resmi.
Sebagai tamu, Enggar sadar kuncian dari misinya ke AS adalah United States Trade Representative (USTR) atau Kantor Perwakilan Perdagangan. Pada 27 April 2018, USTR mengumumkan meninjau kelayakan atas pemberian fasilitas GSP atas komoditas Indonesia. Evaluasi ini merupakan proses berkala tiga tahunan yang baru, untuk menilai kelayakan negara penerima GSP. Periode penilaian pertama mencakup 25 negara penerima GSP kawasan Asia dan Pasifik.
USTR dan lembaga Pemerintah AS lainnya memeriksa kebijakan dan praktik negara yang terkait dengan 15 kriteria kelayakan yang ditetapkan oleh Kongres AS, yang pada Maret kemarin memutuskan untuk melakukan pembaruan atas GSP yang berlaku sampai dengan 2020. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara bersama dengan India dan juga Kazakhstan, yang pada April kemarin diumumkan sebagai negara yang akan menghadapi evaluasi kelayakan penerima manfaat GSP.
Sebanyak 124 produk ekspor asal Indonesia yang menerima potongan bea masuk impor tengah dievaluasi oleh Pemerintah AS. Selain itu, pemerintahan Donald Trump juga mengulas hambatan akses pasar, layanan serta investasi di Indonesia.
“Presiden berkomitmen untuk memastikan bahwa negara-negara yang menerima manfaat GSP menjunjung tinggi akhir perjanjian mereka dengan terus memenuhi kriteria kelayakan yang digariskan oleh Kongres. Kami harap Indonesia dan negara lainnya akan bekerja bersama kami untuk mengatasi kekhawatiran yang mengarah pada ulasan baru ini, ” kata Jeffrey Gerrish, Wakil Perwakilan Perdagangan AS.
GSP merupakan program preferensi perdagangan AS terbesar dan tertua yang telah ada sejak tahun 1976 berdasarkan Undang-Undang Perdagangan AS tahun 1974, yang memberikan peluang kepada negara-negara miskin dan berkembang untuk menerima fasilitas keringanan bea masuk impor untuk ribuan produk ekspor. Saat ini terdapat 120 negara dan wilayah yang menerima insentif bea masuk impor oleh AS. Bagi Indonesia, GSP adalah karpet merah untuk menancapkan produk ekspor ke AS, tapi evaluasi GSP oleh AS yang belakangan ini dikaitkan isu perang dagang jadi begitu strategis karena menyangkut devisa miliaran dolar AS.
Defisit perdagangan barang AS dengan Indonesia, menjadi salah satu dasar pemerintah AS untuk mengevaluasi GSP di Indonesia. USTR dalam 2018 National Trade Estimate Report on Foreign Trade (PDF) mengemukakan, defisit perdagangan barang antara AS dengan Indonesia sepanjang 2017 mencapai $13,3 miliar atau naik 1,3 persen setara dengan $170 juta, dibanding 2016. Ekspor barang AS ke Indonesia hanya $6,9 miliar, sedangkan impor AS dari Indonesia mencapai $20,2 miliar atau naik 5,3 persen.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga mengalami defisit atas kinerja impor sektor jasa dari AS, ekspor layanan jasa AS ke Indonesia sekitar $2,4 miliar pada 2016, ekspor layanan jasa Indonesia ke AS hanya $908 juta.
Faktor lain yang bikin rezim Donald Trump Evaluasi melakukan evaluasi program GSP ke Indonesia adalah tudingan peningkatan hambatan perdagangan dan investasi secara signifikan yang dialami perusahaan AS di Indonesia. Meski tak menyebutkan langsung, kasus Freeport Indonesia bisa jadi salah satu penyebabnya.
“Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah memberlakukan banyak peraturan impor yang meningkatkan beban bagi eksportir AS,” tulis Robert E. Lighthizer, Duta Besar USTR (PDF) dalam laporan tersebut.
Aspek lain yang cukup menarik seperti yang diungkapkan oleh Robert E. Lighthizer adalah ihwal Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/08/2017 tentang National Payment Gateway (NPG) atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). PBI itu mengatur seluruh transaksi ritel dan kredit ritel domestik saat ini diproses melalui perantaraan GPN yang berlokasi di Indonesia yang telah diberi izin oleh BI dan dimulai dengan transaksi ritel debet pada 2018.
“PBI itu menetapkan 20 persen kapitalisasi bagi perusahaan asing yang ingin memperoleh lisensi sebagai penyelenggara switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang mencegah 100 persen perusahaan asing untuk menyediakan layanan switching sepenuhnya serta melarang pasokan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debet dan kredit ritel domestik,” kata Robert.
Selain itu, Robert juga mengeluhkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) BI Nomor 19/10/PADG/2017, yang mengamanatkan perusahaan asing yang ingin memproses kredit dan debet ritel domestik transaksi melalui GPN harus bekerjasama dengan penyelenggara switching lokal berlisensi. Menurut USTR, PADG itu membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra lokal yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk transfer teknologi.
“Aturan ini juga mengatur bahwa transaksi tertentu harus dilaksanakan tanpa biaya dan memberlakukan potongan tarif kepada pedagang oleh bank,” tulis Robert dalam laporan tersebut.
Bank sentral Indonesia memang menerbitkan PBI (PDF) dan PADG (PDF) tentang GPN yang merupakan sistem pembayaran nasional yang mampu memproses seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan introperabilitas. Pada Desember 2017, GPN pun resmi diluncurkan. Sebagai awal, GPN dikenalkan dengan menyematkan logo nasional di kartu ATM/debet dan dapat digunakan untuk transaksi dalam negeri dan dapat diterima di seluruh terminal pembayaran merchant atau pedagang dalam negeri.
GPN adalah sistem yang akan memproses data transaksi non-tunai nasabah perbankan di dalam negeri. Sebelum adanya GPN, berbagai proses transaksi non-tunai nasabah perbankan berupa ATM, kartu debet dan kartu kredit, diproses di luar negeri lantaran menggunakan jasa layanan prinsipal asing seperti Visa Worldwide, MasterCard, JCB, UnionPay, maupun American Express. Dengan demikian, seluruh transaksi yang dilakukan nasabah perbankan Indonesia melalui kartu yang memiliki logo tersebut, harus mampir terlebih dahulu ke luar negeri untuk proses switching, selanjutnya kembali lagi ke Indonesia.
Sama halnya dengan pengiriman teks melalui apliksi WhatssApp maupun surat elektronik atau e-mail milik google mail (gmail), yang masing-masing ‘mampir’ dan diolah terlebih dahulu di California, AS. Proses switching transaksi pembayaran non-tunai yang dilakukan nasabah perbankan di Indonesia baik di dalam maupun luar negeri, terlebih dahulu harus singgah di server milik prinsipal asing yang tersebar di negara Asia Tenggara di luar Indonesia.
Sebelum adanya GPN, data transaksi pembayaran non-tunai nasabah perbankan Indonesia baik yang dilakukan di dalam maupun di luar negeri dengan menggunakan mesin EDC (electronic data capture), terlebih dahulu diproses oleh penyelenggara switching di luar negeri. Dengan begitu, data nasabah Indonesia pun sempat tercatat di luar negeri. Dengan adanya GPN, setidaknya transaksi pembayaran non-tunai yang dilakukan nasabah perbankan Tanah Air di dalam negeri baik melalui mesin ATM maupun EDC, terjamin keamanan datanya karena proses switching dilakukan di dalam negeri oleh prinsipal lokal yang telah diberi izin oleh Bank Indonesia.
“Adanya GPN mengarahkan transaksi pembayaran non-tunai nasabah perbankan di dalam negeri bisa diproses di Indonesia sehingga keamanan data nasabah lebih terjamin,” kata Rico Usthavia Frans, Wakil Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) kepada Tirto.
Proses switching inilah, kata Rico, yang kemungkinan menjadi keberatan pemerintah AS. Sebab, dalam praktiknya proses switching tentu ada keuntungan yang mengalir kepada penyelenggara switching asing dalam hal ini perusahaan asal AS.
“Bayangkan saja transaksi kartu yang dilakukan nasabah Bank A di Indonesia untuk dideteksi di mesin EDC milik Bank B di Indonesia, harus melalui Amerika dulu. Ini tentu memberikan revenue kepada penyelenggara switching asing tersebut. Ini memang menyangkut masalah devisa juga,” imbuh Rico.
Menurutnya, penyelenggara switching asing akan lebih terkena signifikan bila implementasi GPN saat penerapan pada sistem kartu kredit. Saat ini, kata Rico, implementasi GPN baru sebatas kartu ATM/ Debet saja dan menyusul kemudian adalah uang elektronik dan terakhir kartu kredit. Data BI menyebutkan, tren transaksi non-tunai menggunakan kartu kredit maupun debet di Indonesia dalam kurun waktu 7 tahun terus meningkat.
Volume kartu kredit (PDF) pada 2011 sebanyak 209,35 juta transaksi dengan nominal Rp182,60 triliun. Per 2017, volume transaksi menggunakan kartu kredit mencapai 305,05 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp281,02 triliun. Penggunaan kartu debet (PDF) juga meningkat dari 2,26 miliar transaksi dengan nominal mencapai Rp2.477 triliun per 2011 menjadi 5,69 miliar transaksi dengan nominal mencapai Rp6.200 triliun per 2017. Ini tentu jumlah yang menggiurkan bagi devisa AS.
Pungky Wibowo, Kepala Departemen Elektronifikasi dan Gerbang Pembayaran Nasional BI menyebutkan, volume transaksi kartu ATM debet berlogo GPN mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 143,7 persen setiap bulan sejak diterbitkan pada Desember 2017. Melansir Kompas, jumlah pembayaran interkoneksi menggunakan kartu debet berlogo GPN sejak Desember 2017 sampai dengan April 2018 sebanyak 442 ribu transaksi dengan total nominal Rp215,5 triliun.
Per Mei 2018, sebanyak 98 bank nasional di Indonesia telah menerbitkan kartu debet dengan logo Garuda sebagai tanda keikutsertaan dalam program GPN dan Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara) pun menargetkan mencetak 18 juta kartu berlogo GPN. Bahkan dengan GPN, perbankan Indonesia bisa menghemat Rp7,23 miliar per hari, yang berasal dari selisih antara transaksi on us sebesar Rp24,23 miliar dan transaksi off us sebesar Rp17 miliar. Selain itu, implementasi GPN juga mendorong penurunan biaya lisensi penggunaan logo prinsipal internasional.
Sejatinya, evaluasi GSP adalah hal yang wajar dilakukan AS terhadap berbagai negara yang menikmati manfaat insentif bea masuk impor termasuk Indonesia. Deputi Kementerian Koordinasi Perekonomian Indonesia Bidang Perniagaan dan Industri Bambang Adi mengatakan sah-sah saja bagi AS untuk mempertanyakan praktik GPN yang sedang dijalankan oleh industri perbankan di Tanah Air dan juga untuk mengevaluasi pemberian GSP kepada Indonesia.
“AS sebagai partner dagang Indonesia yang memberikan keistimewaan selama sekian tahun tentu berhak mengevaluasi insentif tersebut. Dan sudah selayaknya juga Indonesia memberikan jawaban, menegosiasikan serta mendiskusikan kebijakan-kebijakan tersebut,” jelas Bambang kepada Tirto.
Fasilitas Buat Indonesia
Indonesia memang menikmati manfaat dari GSP yang diberikan oleh AS. Dalam dokumen 137 halaman GSP‐eligible for All Beneficiary Countries (March 2018) (PDF) yang diterbitkan oleh USTR, Indonesia menikmati insentif bea masuk impor yang diberikan oleh AS, dengan rata-rata nol persen. Ambil contoh, AS mengenakan bea masuk impor untuk Most Favoured Nation (MFN) sebesar $8,8 sen/kg untuk impor daging bebek beku maupun unggas lainnya. Namun, dikarenakan Indonesia termasuk sebagai negara penerima manfaat GSP dengan status A, maka bea masuk impor produk itu pun dibebaskan.
"Mungkin mendekati nol tarif bea masuk impornya secara umum," imbuh Bambang.
Meski demikian, terdapat beberapa komoditas asal Indonesia yang tidak lagi mendapat fasilitas istimewa GSP untuk ekspor ke AS seperti tembakau, senyawa bau atau perasa dari eter fenol dan turunannya, campuran dari substansi lemak hewan atau asal nabati dan campurannya, biodiesel yang tidak mengandung petroleum atau minyak bituminous, polyethylene terephthalate, ban radial pneumatik baru berbahan dasar karet, plywood berbahan dasar bambu, blockboard, panel lantai rakitan berbahan dasar bambu, paduan aluminium berbentuk pelat atau lembaran atau strip dengan ketebalan 0, 2 mm, dan juga watertube boiler dengan produksi uap tidak melebihi 45 ton per jam.
Ini artinya, komoditas ekspor asal Indonesia tersebut jika memasuki pasar AS akan dikenakan bea masuk impor dengan nilai yang ditetapkan dan berlaku reguler. Contohnya saja, untuk tembakau asal Indonesia, dikenakan bea masuk impor senilai $39,7 sen/kg, biodiesel dikenakan tarif impor sebesar 4,6 persen, polyethylene dibebankan bea masuk impor mencapai 6,5 persen dan ekspor ban radial dikenakan tarif impor sampai dengan 4 persen.
Rencana evaluasi terhadap komoditas ekspor asal Indonesia terjadi karena berbagai sebab. Panduan yang diterbitkan oleh Office USTR berjudul U.S. Generalized System of Preferences GuideBook yang terbit pada April 2018 merinci, beberapa produk komoditas bisa dikecualikan dari daftar GSP di negara berkembang penerima manfaat atau Beneficiary Developing Country (BDC), jika tidak memenuhi syarat tertentu seperti komoditas tersebut melebihi batasan kebutuhan kompetitif atau Competitive Need Limitation (CNL).
Sehingga kelayakan GSP produk bisa dihapus untuk satu atau lebih negara-negara tertentu dalam menanggapi petisi yang diserahkan sebagai bagian dari tinjauan tahunan. Penghapusan GSP juga terjadi bila negara penerima manfaat GSP dinyatakan cukup kompetitif terkait produk tersebut. Alasan lainnya bahwa komoditas bersangkutan gagal memenuhi persyaratan hukum GSP, serta komoditas gagal memenuhi persyaratan departemen keamanan dan perlindungan perbatasan AS atau persyaratan departemen AS lainnya.
Panduan tersebut juga menjelaskan, batasan kompetitif suatu komoditas ekspor yang mendapat insentif GSP adalah ketika impor komoditas tersebut mencapai 50 persen bahkan lebih dari total nilai impor produk yang sama secara keseluruhan di pasar AS. Dan juga, ketika komoditas impor tersebut melebihi nominal tertentu. Sesuai dengan undang-undang GSP, batas nominal komoditas impor adalah meningkat sebesar $5 juta setiap tahun. Di mana batas maksimum komoditas impor yang ditetapkan pemerintah AS pada tahun 2017 adalah sebesar $180 juta dan pada 2018 senilai $185 juta.
“Jika komoditas tertentu mencapai nominal ekspor tersebut, maka dianggap ‘cukup kompetitif’, sehingga dikecualikan dari mendapat insentif GSP,” tulis dokumen tersebut.
Insentif GSP juga bisa dikecualikan kepada negara-negara yang dianggap memiliki pendapatan nasional yang tinggi dan telah mampu berdaya saing. Batas yang ditetapkan kepada negara yang memiliki pendapatan nasional yang tinggi adalah pendapatan nasional bruto atau gross national income senilai $12.235 untuk 2016.
Pengecualian suatu negara tidak lagi mendapat insentif GSP bisa jadi karena Donald Trump menginginkannya. Menurut buku panduan yang dibuat USTR itu, Presiden AS dapat menghapus suatu produk atau komoditas dari kelayakan penerima GSP sebagai tanggapan atas petisi yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan di AS yang disampaikan pada tinjauan tahunan.
Donald Trump juga dapat menghalangi pemberian insentif GSP terhadap komoditas tertentu yang baru ditetapkan meski berasal dari negara berkembang penerima GSP. Presiden AS juga dapat membatasi kriteria ulang kelayakan GSP terhadap negara berkembang penerima manfaat ketika merancang ulang fasilitas GSP. Terakhir, Donald Trump memungkinkan untuk menghapus komoditas produk dari negara berkembang penerima insentif GSP yang dianggap telah melampaui batasan kebutuhan kompetitif atau Competitive Need Limitation (CNL).
“Antisipasi perlu dilakukan untuk menghadapi berbagai dampak yang akan terjadi baik positif ataupun negatif dan Indonesia perlu membuat strategi terkait hal ini. Evaluasi GSP ini tidak ada kaitannya dengan perang dagang yang dilakukan AS terhadap Cina dan juga negara-negara Uni Eropa lainnya,” kata Bambang.
Namun, tak bisa dipungkiri evaluasi GSP, tak terpisahkan dari rezim proteksionisme di bawah Donald Trump. AS tentu tak bodoh membiarkan kepentingannya terabaikan dari kebijakan lamanya.
Editor: Suhendra