tirto.id - Sejumlah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tak cuma kontroversial bagi publik, tapi juga di kalangan kepala daerah setempat. Beberapa kepala daerah tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat pun mulai menunjukkan sikap berbeda atas aturan yang dibuat gubernurnya.
Beberapa kepala daerah, misalnya, memilih untuk memperbolehkan kegiatan study tour. Padahal, Dedi telah melarang kegiatan itu melalui Surat Edaran (SE) Nomor 43/PK.03.04/Kesra.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menegaskan bahwa larangan study tour dari Pemprov Jabar tidak berlaku di kota yang dipimpinnya. Dia mengatakan kegiatan study tour tetap diperbolehkan selama tidak berkaitan dengan penilaian akademik.
“Boleh, selama itu tidak ada hubungan dengan nilai akademik,” ujar Farhan di Balai Kota Bandung, dikutip Kompas.com, Senin (21/7/2025).
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, juga tidak sepakat dengan larangan tur pelajar. Alih-alih melihat kegiatan itu sebagai beban bagi orang tua seperti alasan yang tertuang dalam SE, Effendi justru menilai study tour bisa menjadi pengalaman berharga bagi siswa.
“Kalau study tour, asalkan dengan rambu-rambu yang kuat, sebetulnya tidak menjadi persoalan buat saya,” ucap Edo di Balai Kota Cirebon, Jumat (25/7/2025).

Dia menganggap kegiatan ini memberi kesempatan siswa untuk mengenal dunia luar dan mendapatkan pengalaman yang tidak mereka dapatkan di ruang kelas. Sekolah pun diimbau untuk merencanakan study tour dengan matang agar tetap edukatif, bukan sekadar rekreasi.
Dalam konteks kebijakan Dedi yang lain, seperti aturan jam masuk sekolah, Farhan juga memilih untuk mengatur sendiri jam masuk sekolah di wilayahnya, berbeda dengan SE yang dikeluarkan Dedi.
Saat Dedi mematok siswa harus masuk sekolah pukul 06.30, Farhan membebaskan sekolah-sekolah jenjang TK hingga SMP di Kota Bandung menentukan sendiri jam masuk bagi siswanya.
“Kalau jam belajar SMA/SMK mengikuti provinsi,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Asep Saeful Gufron, dilaporkan Tempo, Selasa (15/7/2025).
Resistensi dan Exercise Otonomi Daerah
Apa yang dilakukan beberapa kepala daerah di Jabar itu sebenarnya masih wajar. Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menilai sikap kontra itu sebagai resistensi dan exercise atau penggunaan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota.
“Pertama, mereka mungkin merasa tidak dilibatkan dalam pembentukan kebijakannya KDM [Dedi Mulyadi] di level provinsi, terutama itu terkait dengan pendidikan, ketertiban umum, dan keamanan. Kalau dalam pengaturan dan pembagian otonominya, dia ada di kabupaten/kota gitu dan bukan di provinsi,” ujar Kunto ketika dihubungi lewat aplikasi perpesanan, Senin (28/7/2025).
Resistensi itulah yang kemudian diejawantahkan dalam sikap kontra terhadap kebijakan Dedi. Menurut Kunto, dinamika ini harusnya mendorong Pemprov Jabar untuk mengevaluasi kebijakannya selama ini.
“Harusnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat berefleksi dan memperbaiki ya bagaimana pembuatan kebijakannya yang seakan-akan seperti titah raja gitu, yang langsung saat itu juga ketemu orang, saat itu juga bikin kebijakan. Harusnya [kebijakan] dianalisis dulu, lalu ditimbang cost and benefit-nya, ditimbang konsekuensi-konsekuensinya terhadap sektor-sektor yang lain,” sambung Kunto.
Penjelasan Kunto itu mendapat buktinya pada Senin (21/7/2025) lalu. Saat itu, para pekerja pariwisata di Jawa Barat menggelar aksi unjuk rasa di halaman Gedung Sate, Kota Bandung.
Detik Jabar melaporkan bahwa massa aksi yang mengatasnamakan Solidaritas Para Pekerja Pariwisata Jawa Barat itu mendesak supaya Surat Edaran Nomor 43/PK.03.03/KESRA yang memuat larangan study tour segera dicabut.
“Jadi, tidak hanya masyarakat yang bingung, tapi para pemangku kepentingan di sektor-sektor yang lain, yang seakan-akan tidak diperhatikan ketika pembuatan kebijakan ini bisa jadi marah dan melakukan protes gitu,” ujar Kunto.
Dia juga menjelaskan bahwa minimnya kajian dalam pembuatan kebijakan melanggar prinsip good governance dan itu berpotensi mengganggu tata kelola pemerintahan yang baik. Sebuah kebijakan idealnya harusnya bisa menjawab atau menanggulangi faktor penyebab dari suatu masalah tertentu.
“Jangan sampai ini hanya karikatif dan kemudian gimmick belaka gitu,” sambung Kunto.
Sementara itu, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, berpendapat bahwa gaya berpolitik Dedi Mulyadi adalah Jokowisme di tingkat lokal Jawa Barat.
“Dari segi politik, tentu ini bagian dari bentuk Jokowisme di tingkat lokal, di mana gaya kepemimpinan yang praktis dan pragmatis digunakan untuk melegitimasi segala tindakan dan pernyataan kepala daerah adalah kebijakan yang baik, populis, dan bermaslahat,” ungkap Wasisto kepada jurnalis Tirto, Senin (28/7/2025).
Wasisto menjelaskan bahwa pilihan bupati atau wali kota membuat kebijakan sendiri untuk wilayah yang dipimpinnya sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Senada dengan Kunto, hal itu masuk dalam koridor otonomi daerah.
UU tersebut menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Kriteria “urusan pemerintahan” yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota, urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota, urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota, dan/atau urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
“Sebenarnya esensi otoda itu memberikan kewenangan bagi tiap pemda untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk pula pengelolaan anggaran dan pembuatan kebijakan. Tentu ini tergantung diskresi tiap kepala daerah,” sambung Wasisto.
Meski begitu, menurutnya, otonomi daerah dalam UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah lebih memberi kewenangan besar ke gubernur daripada bupati atau wali kota. Hal itu yang bikin sosok gubernur lebih berkuasa secara administratif dan birokratis daripada bupati atau wali kota.

Perlu Harmonisasi Kebijakan
UU Pemerintahan Daerah memuat penjelasan bahwa pengelolaan pendidikan dasar dan menengah pertama (SD dan SMP) merupakan ranah pemerintah kabupaten/kota, sementara urusan SMA/SMK jadi wewenang pemerintah provinsi.
Oleh karenanya, Herman N. Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, mengatakan bahwa aturan larangan study tour yang diterbitkan Dedi Mulyadi semestinya berlaku di level SMA/SMK.
“Jadi, dalam konteks itu, sebetulnya tergantung pada wilayah implementasi dari kewenangan itu sendiri, jangan sampai kebijakan Pak Gubernur itu berlaku juga untuk SD, SMP,” ujar pria yang akrab disapa Armand tersebut saat dihubungi Tirto, Senin (28/7/2025).
Meski begitu, menurut Armand, masalah yang mencuat dalam hal ini adalah perihal harmonisasi kebijakan. Dalam membuat kebijakan, Dedi selaku Gubernur Jabar seharusnya membuka ruang dialog dengan para bupati dan wali kota. Tujuannya agar tercipta harmonisasi kebijakan antara pemprov dan pemkab atau pemkot.
“Jangan sampai ada perbedaan implementasi. Jadi, kan lucu gitu ya ketika misalnya SD, SMP gitu study tour, sementara levelnya SMA-nya enggak. Padahal, [sekolah-sekolah itu] ada di lokasi yang sama kan ya. Jadi, menurut kami, kami mendorong Gubernur Jawa Barat dengan para bupati dan wali kota se-Jawa Barat, perlu ada ruang komunikasi sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian, terutama bagi masyarakat Jawa Barat,” kata Armand.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































