Menuju konten utama

Jalan Terjal Pekerja: Gaji Tidak Seberapa, Potongan Ada Beberapa

Rencana kehadiran dana pensiun tambahan yang akan kembali memotong gaji akan kian membebani pekerja yang selama ini penghasilannya telah banyak dipangkas. 

Jalan Terjal Pekerja: Gaji Tidak Seberapa, Potongan Ada Beberapa
Pekerja melintasi pelican crossing di Jakarta, Senin (9/10/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

tirto.id - Andika hanya tertawa saat mendengar kabar akan ada iuran program pensiun tambahan yang bersifat wajib. Baginya, alih-alih membantu, program ini dinilai akan jadi beban baru sekalipun pendapatannya sudah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta.

Ayah satu orang anak itu mengatakan dengan pendapatan terbilang cukup, ia tetap tidak rela jika ada tambahan potongan baru. Pasalnya, selama ini sudah ada program BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan hari tua. Baginya, itu sudah cukup membantu pekerja di kemudian hari.

"Jadi cara berpikirnya pemerintah itu aneh. Dikira gaji pekerja itu utuh. Padahal banyak pengeluaran-pengeluaran atau pos-pos yang berjalan," kata pekerja berusia 32 tahun itu kepada Tirto, Kamis (5/9/2024).

Pria asal Cikarang itu mencontohkan, pengeluarannya selama ini sudah terbagi untuk beberapa pos. Mulai dari tabungan, biaya cicilan rumah, sekolah, dan kebutuhan lainnya. Jika ditambah dengan beban baru, otomatis akan memberatkan karena pendapatan bersih diterima akan berkurang.

"Lebih baik dikaji ulang dulu. Jangan justru buat kebijakan malah berdampak [ke pekerja]," imbuhnya.

Tidak hanya Andika, pekerja lainnya yakni Desti (bukan nama sebenarnya) juga tidak reka jika gajinya dipotong karena harus mengikuti program iuran tambahan untuk pensiun. Alasannya karena tujuan dari program tersebut belum jelas, dan kedua otomatis akan memberatkan.

"Tujuannya harus jelas dulu, iuran dibebankan pekerja berapa? Kalau besar ya jadi beban juga akhirnya," ujar wanita yang bekerja sebagai tenaga ahli di salah satu Kementerian itu kepada Tirto, Kamis (5/9/2024)

Saat ini pemerintah memang tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) terkait program pensiun wajib pekerja. PP ini menjadi aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang dirancang untuk meningkatkan replacement ratio pekerja.

Replacement ratio merupakan rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibandingkan nilai gaji yang diterima saat masih aktif bekerja.

"Tindak lanjut pasal 189 ayat 4 di mana pemerintah dapat membuat program pensiun tambahan yang bersifat wajib untuk pekerja dengan penghasilan tertentu yang dilaksanakan secara kompetitif," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, saat memberikan sambutan di acara HUT ADPI, di Jakarta, dikutip Tirto, Rabu (4/9/2024).

Menurut Ogi, replacement ratio perlu dilakukan karena saat ini Indonesia masih berada di level 15-20 persen. Padahal, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO) menetapkan nilai replacement ratio setidaknya 40 persen dari penghasilan terakhir pekerja.

Sementara berdasarkan Pasal 189 ayat 4 UU P2SK, disebutkan bahwa kriteria pekerja yang dikenai dana pensiun wajib adalah yang telah memiliki pendapatan di atas batas tertentu. Meski begitu, Ogi tak menyebutkan lebih lanjut berapa minimal nominal gaji pekerja yang bakal dikenakan kewajiban membayar iuran dana pensiun tersebut.

"Pekerja yang memiliki penghasilan melebihi nilai tertentu, diminta untuk tambahan iuran pensiun secara sukarela, tambahan tapi wajib, ini akan diatur dalam PP dan POJK yang sedang disusun," terang Ogi.

Fenomena Kulminasi Utama di Jakarta

Pekerja melintasi pelican crossing di Jakarta, Senin (9/10/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

Beban yang Ditanggung Pekerja Sudah Terlalu Berat

Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengatakan tanpa ada program pensiun tambahan yang bersifat wajib pun beban yang ditanggung oleh pekerja swasta saat ini sudah terlalu berat. Seperti pajak penghasilan, BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, rencana iuran Tapera hingga asuransi kendaraan third party liability (TPL).

Jika merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, besaran iuran telah ditentukan sesuai dengan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN. Besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta pekerja penerima upah (PPU) di BUMN, BUMD, dan swasta misalnya dikenakan sebesar 5 persen dari gaji atau upah per bulan.

Pemotongan tersebut dilakukan dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 1 persen dibayar oleh peserta

Potongan kedua yakni BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua. Setiap karyawan yang menjadi peserta layanan Jaminan Hari Tua (JHT) juga harus rela gajinya dipotong untuk dana iuran. Adapun besaran iuran yang harus dibayar yakni 5,7 persen dengan pembagian 3,7 persen perusahaan dan 2 persen pekerja dari upah per bulan.

Karyawan juga sudah dikenakan potongan iuran BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiunan. Besarannya 3 persen. Sebanyak 1 persen karyawan yang menanggung, sementara 2 persennya akan dibayar oleh pemberi kerja.

Para pekerja juga sudah dikenakan potongan untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan JKK dan Jaminan Kematian. Besaran iurannya disesuaikan dengan tingkat risiko dan diambil dari upah perbulan. Sementara untuk besaran iuran jaminan kematian adalah 0,3 persen dari upah perbulan

Pekerja juga akan dibebankan iuran Tapera. Mengacu pada pasal 15 ayat 1 PP Nomor 21 Tahun 2024 besaran iuran tersebut yakni 3 persen dari gaji atau upah untuk para pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.

Pada Pasal 15 Ayat 2 dijelaskan bahwa besaran simpanan peserta sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja yakni sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.

Teranyar pekerja akan dibebankan dibebankan ikut kewajiban asuransi third party liability (TPL) mulai Januari 2025. TPL merupakan produk asuransi yang memberikan ganti rugi atas tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang secara langsung disebabkan oleh kendaraan bermotor yang dipertanggungkan, sebagai akibat risiko yang dijamin di polis.

"Saat ini, beban yang ditanggung oleh pekerja swasta sudah terlalu berat. Dengan berbagai potongan yang telah berjalan," kata Anwar kepada Tirto, Kamis (5/9/2024).

Anwar mengatakan, penerapan kebijakan iuran pensiun tambahan jelas tidak tepat untuk dilakukan dalam waktu dekat. Apalagi kondisi ekonomi masih belum sepenuhnya stabil pasca pandemi, dan banyak pekerja berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kebijakan ini, kata Anwar, meskipun bermaksud baik untuk menjamin kesejahteraan di masa pensiun, juga akan menambah beban finansial langsung yang dialami pekerja sekarang. Tambahan iuran wajib tersebut sama dengan menambah potongan dari gaji mereka di tengah tidak adanya penyesuaian pendapatan atau kompensasi.

"Ini hanya akan memperburuk kondisi finansial mereka yang saat ini sudah terbatas. Potongan tambahan ini, bisa membuat daya beli mereka semakin tergerus dan mempersempit ruang gerak ekonomi keluarga," jelas dia.

ANGKA PENGANGGURAN DI INDONESIA MENINGKAT AKIBAT COVID-19

Sejumlah karyawan berjalan keluar saat jam pulang kerja di salah satu pabrik di Kota Tangerang, Banten, Rabu (20/1/2021). ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.

Peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, mengatakan meski aturannya masih digodok dan belum ditentukan kapan pelaksanaannya, tambahan iuran pensiun ini akan membuat ekspektasi terhadap pendapatan. Pasalnya sudah pasti take home pay diterima pekerja akan berkurang di masa depan.

"Ini dapat direspons dengan upaya pengetatan pengeluaran rumah tangga. Ini dari sisi pekerja. Daya beli bisa tergerus juga," ujar Riza kepada Tirto, Kamis (4/9/2024).

Sementara bagi para pengusaha, kata Riza, juga memunculkan ekpektasi peningkatan upah yang berarti biaya operasional bisa meningkat. Kondisi ini pada akhirnya bisa berpotensi pemangkasan tenaga kerja.

Maka, pemerintah perlu mengevaluasi perkembangan daya beli dan perkembangan usaha untuk dapat menerapkan kebijakan ini. Jangan sampai, kata dia, kontradiktif dengan target menggemukkan jumlah kelas menengah tapi kebijakannya justru bikin daya beli kelas menengah tergerus.

"Juga harus memperhatikan dunia usaha, target kontribusi industri manufaktur dipatok tinggi, jangan sampai ini menjadi beban biaya baru tambahan bagi perusahaan," jelas dia.

Belum Mendesak dan Perlu Dipertimbangkan Ulang

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai iuran tambahan yang bersifat wajib untuk dana pensiun ini sebenarnya tidak mendesak. Karena pekerja dengan pendapatan di atas Rp5-15 juta per bulan sudah dipotong berbagai iuran wajib.

"Bebannya sudah terlalu banyak, khawatir iuran tambahan dana pensiun akan turunkan disposable income yang berakibat tekanan daya beli kelompok menengah," kata Bhima kepada Tirto, Kamis (5/9/2024).

Kemudian perusahaan BUMN dan sebagian swasta juga sudah memiliki skema dana pensiun sendiri sehingga tidak perlu iuran tambahan yang sama. Bahkan yang mendesak saat ini seharusnya adalah akuntabilitas dan pencegahan fraud pada dana pensiun yang sudah ada.

"Pun bagi pekerja dengan gaji diatas Rp15 juta per bulan, sudah punya alokasi dana lebih untuk investasi hari tua, misalnya reksadana, saham, dan properti. Kalau dobel-dobel jadi tidak pas ya," pungkas Bhima.

Sementara itu, Muhammad Anwar mengatakan dalam situasi kiwari, kebijakan ini tidak relevan dan sebaiknya ditunda. Pemerintah perlu memahami bahwa meskipun tujuan jangka panjang kebijakan ini penting, prioritas utama saat ini haruslah menjaga kestabilan ekonomi pekerja.

"Kebijakan baru yang menambah beban tidak akan diterima dengan baik dan bisa memicu ketidakpuasan di kalangan pekerja yang sudah menghadapi banyak tantangan," ujarnya.

Jika benar-benar ingin diterapkan, lanjut Anwar, kebijakan ini harus dipertimbangkan ulang dengan waktu dan mekanisme yang lebih tepat. Terutama di saat ekonomi sudah lebih stabil dan daya beli masyarakat sudah lebih kuat.

Baca juga artikel terkait DANA PENSIUN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi