tirto.id - Sejak akhir tahun lalu, media di Indonesia masih dipenuhi berita terkait kemungkinan pensiun dini massal bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada 2023. Isu tersebut diangkat sehubungan dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) yang salah satu pasalnya adalah pensiun dini massal diperbolehkan untuk perampingan organisasi.
Keputusan tersebut sejatinya tidak dapat diterapkan tanpa adanya konsultasi dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Dalam hal perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan secara massal, pemerintah sebelumnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR berdasarkan pada evaluasi dan perencanaan pegawai,” demikian bunyi pasal (87) ayat 5.
Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pensiun dini massal pagi PNS baru akan diterapkan, jika RUU ASN menjadi RUU prioritas di tahun 2023 untuk disahkan dan sudah mendapat persetujuan untuk dilakukan perampingan.
Pekerja Indonesia Belum "Siap" Pensiun
Hangatnya isu pensiun dini ini meningkatkan kesadaran para pekerja produktif Indonesia terhadap pentingnya mempersiapkan masa pensiun dan hari tua. Pasalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil pekerja produktif yang ‘menabung’ untuk masa pensiun mereka.
Pada tahun 2019, HSBC merilis riset yang bertajuk Future Retirement, Bridging the Gap yang berisi survei terhadap 1.000 responden di kalangan usia kerja.
Berdasarkan survei itu, sebanyak 9 dari 10 responden menyatakan kekhawatiran mereka untuk menutup beragam biaya di masa pensiunnya. Lalu, hanya 30 persen dari total responden yang menyisihkan dana untuk hari tua.
Untuk memenuhi kebutuhan dana di masa pensiun, 2 dari 3 di antaranya menyatakan akan lanjut bekerja setelah pensiun. Temuan serupa juga dijabarkan oleh studi yang dilakukan Global Aging Institute: sebanyak 84% partisipan berharap memenuhi kebutuhan di hari tua dari bekerja atau melakukan bisnis.
Selain memperoleh pendapatan dari bekerja, kebanyakan juga berharap memperoleh sokongan dana dari anaknya.
“Yang juga mengkhawatirkan adalah lebih dari ¾ responden usia kerja mengharapkan anaknya akan membantu mereka di masa pensiun, sedangkan kenyataannya saat ini hanya kurang dari 1/3 responden usia pensiun menerima bantuan dari anaknya,” ujar Steven Suryana yang saat itu menjabat sebagai Head of Wealth Management di HSBC.
Merujuk temuan di atas, tampaknya para pekerja produktif di Indonesia membayangkan akan terus bekerja sepanjang hidupnya untuk memenuhi kebutuhan di hari tua. Namun, resiko kesehatan dan resiko ekonomi, dapat mengikis peluang untuk terus bekerja di masa pensiun.
Alhasil, itulah yang mengakibatkan munculnya sandwich generation, yakni generasi muda dan dewasa yang tidak hanya memenuhi kebutuhan diri/keluarga, tetapi juga kebutuhan orangtuanya.
Pahami Kebutuhan di Hari Tua
Umur pensiun di Indonesia saat ini adalah 57 tahun, dan kemungkinan akan terus direvisi naik setiap 3 tahun. Sementara itu, seiring dengan perkembangan akses dan fasilitas kesehatan, umur harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia terus meningkat.
Pada tahun 2022, Badan Pusat Statistik merilis UHH masyarakat Indonesia ada di level 71,85 tahun. Ini artinya, rata-rata masa pensiun yang dihabiskan pekerja Indonesia adalah 14,85 tahun.
Rentang waktu pensiun tersebut bisa dikatakan cukup lama, dan tanpa adanya tabungan yang memadai maka akan sangat kesulitan bertahan hidup. Oleh karena itu, penting untuk melakukan perencanaan keuangan dalam mempersiapkan hari tua.
Salah satu influencer perencanaan keuangan di Tanah Air, Dani Rachmat, menyampaikan bahwa mempersiapkan dana pensiun bahkan lebih penting dari persiapan dana pendidikan anak.
Menurut Dani, alternatif pendidikan anak masih banyak, bahkan ada yang gratis dari pemerintah. Sementara itu, pengeluaran untuk kebutuhan hidup tetap ada. Bahkan jika mempertimbangkan inflasi, nilainya akan berkali-kali lipat dari rata-rata keperluan saat ini.
Untuk dapat merasakan hari tua yang nyaman, terdapat beberapa pertanyaan kunci yang perlu dijawab sebelum melakukan perencanaan keuangannya.
Pertama, tentukan usia pensiun. Jumlah sisa tahun yang direncanakan untuk bekerja secara signifikan memengaruhi berapa banyak uang yang diperlukan. Jika memilih untuk bekerja lebih lama, maka akan ada lebih banyak waktu untuk investasi bertumbuh dan jumlah waktu pensiun yang harus didanai juga berkurang.
Kedua, ketahuilah berapa biaya hidup yang dibutuhkan selama masa pensiun. Komponen biaya hidup yang harus dipertimbangkan termasuk, biaya konsumsi sehari-hari, biaya transportasi, biaya hunian tempat tinggal, biaya anak, dst.
Ketiga, cari tahu bagaimana cara membiayai pengeluaran tersebut. Apakah melalui jaminan pensiun dan hari tua dari pemerintah, apakah dari tabungan, atau dari investasi. Perlu dicatat, persiapan dana pensiun sebaiknya tidak bergantung dari program yang disediakan pemerintah.
Untuk diketahu saat ini terdapat dua progam yang diberikan pemerintah, yakni jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP). JHT hanya berlaku bagi pekerja penerima dan bukan penerima upah dengan rate 5,7 dari total gaji dan tunjangan yang diterima. Kemudian, JHT diberikan seluruhnya saat telah memasuki masa pensiun.
Lalu untuk JP hanya berlaku bagi pekerja penerima upah dengan rate 3% dan batas atas upah untuk perhitungan adalah Rp9.077.600. Jadi meskipun gaji belasan juta, tapi yang dipotong hanya berdasar batas minimum. Kemudian, pemberiannya dilakukan bertahap setiap bulan setelah memasuki usia pensiun.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa program JHT dan JP yang ditawarkan pemerintah tidak cukup untuk membiayai pengeluaran hidup rutin di hari tua.
Rekomendasi Perencanaan Keuangan
Lebih lanjut, setelah menjawab ketiga pertanyaan di atas, baru kita dapat mulai menghitung dana dan merencanakan jenis investasi yang sebaiknya dipilih.
Mari kita membuat asumsi atas jawaban 3 pertanyaan di atas. Pertama adalah pada usia berapa ingin pensiun.
Anggap saja kita mengikuti ketetapan pemerintah, yakni 57 tahun. Jika usia saat ini adalah 25 tahun, maka masih ada 32 tahun masa kerja produktif. Kemudian, anggap UHH sesuai dengan perhitungan BPS, sehingga jika dibulatkan ke atas , maka periode masa pensiun sekitar 15 tahun.
Kedua adalah berapa biaya pengeluaran rutin. Mari asumsikan biaya pengeluaran rutin saat ini di kisaran Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta setahun. Kemudian, penting untuk menentukan asumsi inflasi yang akan dipakai. Saat ini, inflasi Indonesia ada di kisaran 5 persen, anggap saja dalam 3 dekade akan naik jadi 10 persen.
Nah, dari beberapa asumsi tersebut, kita dapat menghitung berapa banyak biaya pengeluaran yang akan timbul di hari tua. Berdasarkan tabel 1, ditemukan bahwa biaya hidup yang saat ini hanya Rp60 juta setahun, menjadi Rp1,27 miliar per tahun. Kemudian total biaya selama pensiun hampir menyentuh angka Rp20 miliar.
Dana yang begitu besar, apakah mampu dipersiapkan? Tentu saja bisa, jika kita memilih instrumen investasi yang tepat.
Tabel di atas menjabarkan asumsi nilai setoran yang harus dibayarkan berdasarkan jenis invetasi yang dipilih. Perlu digarisbawahi, asumsi imbal hasil atas semua jenis investasi di atas dapat berubah-ubah tiap bulannya, tergantung produk dan kondisi ekonomi.
Jika memilih investasi dengan imbali hasil di bawah tingkat inflasi, maka setoran yang harus disisihkan per bulan untuk tabungan pensiun mencapai puluhan juta.
Sebaliknya jika, dipilih instrumen investasi dengan tingkat pengembalian lebih tinggi dari laju inflasi, maka nilai yang harus ditabung menjadi tidak terlalu signifikan, bahwa bisa di bawah Rp100 ribu per bulan.
Lebih lanjut, dalam artikel terkait perencanaan dana pensiun, Dani mengemukakan pentingnya untuk memulai sedini mungkin. Selain itu, instrumen investasi yang dipilih untuk menyokong dana pensiun harus dievaluasi secara berkala agar diperoleh tingkat imbal hasil yang optimal.
Kita bisa berdisukusi dengan perusahaan jasa keuangan yang menyediakan program perencanaan dana pensiun atau mempelajari sendiri jenis investasi yang diinginkan. Semua untuk hari tua yang lebih nyaman.
Editor: Nuran Wibisono