tirto.id - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetap tidak menurunkan target mereka untuk mendorong sang ketua umum Muhaimin Iskandar atau Cak Imin maju pada Pemilu 2024. Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid menegaskan, hal tersebut merupakan mandat muktamar.
Selain karena hasil Muktamar PKB, kata Jazilul, masih banyak pihak yang meminta untuk tetap mempertahankan Muhaimin dalam bursa capres 2024 mendatang. “Kami di PKB juga dapat banyak masukan untuk terus memperjuangkan Gus Muhaimin menjadi capres,” kata dia beberapa waktu lalu.
PKB memang punya modal untuk mengusung Cak Imin maju pilpres, setidaknya sebagai cawapres. Hal ini karena pada Pemilu 2019, PKB masuk empat besar dengan suara mencapai 13.570.097 (9,69 persen).
PKB juga membangun komunikasi intens dengan Partai Gerindra untuk menjalin kerja sama dalam pemilu mendatang. Jika PKB dan Gerindra berkoalisi, maka syarat parpol atau gabungan parpol mengusung kandidat capres-cawapres telah terpenuhi. Hanya saja, salah satu harus mengalah karena Gerindra juga ingin mendorong Prabowo Subianto sebagai capres.
Sayangnya, elektabilitas Cak Imin masih stagnan, setidaknya berdasarkan rilis survei sejumlah lembaga. Nama Muhaimin masih di bawah tokoh-tokoh lain yang juga diprediksi akan maju pada Pemilu 2024, baik yang punya kendaraan partai politik maupun kandidat yang hanya mengandalkan elektabilitas semata.
Dalam survei Indikator Politik periode 1-6 Desember 2022 terhadap 1.220 responden dengan margin of error 2,9 persen, nama Cak Imin hanya mendapatkan elektabilitas 0,3 persen. Sementara tiga besar masih sama, yaitu: Ganjar Pranowo (29,5 persen), Anies Baswedan (22,8 persen) dan Prabowo Subianto (19,5 persen).
Di luar nama itu, ada Ridwan Kamil (5,7 persen), Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY (1,9 persen), Erick Tohir (1,4 persen), Puan Maharani (1,3 persen), Khofifah Indar Parawansa (1,1 persen) dan Sandiaga Uno (0,8 persen).
Nama Cak Imin juga masih belum optimal dalam bursa bakal cawapres. Ia kalah dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (21,6 persen), Menparekraf Sandiaga Uno (13 persen), AHY (12,4 persen), Menteri BUMN, Erick Tohir (8,8 persen) dan Khofifah (6,6 persen). Muhaimin hanya mengantongi elektabilitas 1 persen atau di bawah Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Hanya Strategi PKB Raih Efek Ekor Jas?
Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai, upaya pencapresan Muhaimin oleh PKB adalah strategi untuk meraup suara. Hal itu tidak lepas dari upaya PKB untuk mengonsolidasikan diri dalam menghadapi pemilu mendatang.
Strategi itu, kata Dedi, sukses dilakukan Muhaimin pada pemilu sebelumnya. Jika melihat data, PKB terus mengalami kenaikan suara setelah prahara internal PKB antara kubu Muhaimin dan kubu Abdurrahman Wahid pada Pemilu 2009.
Kali ini, kata Dedi, PKB akan mendapatkan keuntungan besar atau efek ekor jas bila mampu mengusung Muhaimin. Sampai saat ini, kandidat yang sukses membawa efek elektoral adalah Prabowo yang berhasil meningkatkan elektabilitas Gerindra. Akan tetapi, pada kasus Muhaimin, mitra koalisi berpotensi tidak mendapatkan efek elektabilitas apa pun karena mereka kemungkinan merugi dengan tidak memenangkan pemilu.
“Kalau sampai terjadi keterusungan Muhaimin Iskandar, ini akan menguntungkan cukup signifikan bagi PKB, tetapi merugikan bagi mitra koalisinya yang sama-sama mengusung. Jadi dilemanya di sana,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (10/1/2023).
Dedi melihat PKB juga sulit untuk bergeser ke partai lain di luar Gerindra. Ia beralasan, Muhaimin saja belum kuat untuk menjadi bakal cawapres Prabowo sehingga PKB terpaksa mencari cawapres di luar Cak Imin. Situasi Cak Imin tidak terusung bisa saja membuat PKB-Gerindra pecah kongsi, tapi PKB berpotensi akan merasakan nasib yang sama di koalisi lain: Muhaimin tak jadi maju.
Dedi menilai, Prabowo juga belum tentu menerima Cak Imin sebagai bakal cawapres. Sebab, kata dia, Prabowo ingin memanfaatkan tiket terakhir pemilu yang ia punya untuk memenangkan Pemilu 2024.
“Rasanya tidak, ada nuansa Prabowo inginkan peperangan maksimal di kesempatan ‘terakhir’ ini, ia tidak akan mau sekadar ikut kompetisi tanpa tokoh yang menjamin kemenangan, terlebih ada banyak tokoh yang jika dihitung bisa menarik koalisi, semisal Erick Thohir,” kata Dedi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Power, Ikhwan Arif mengingatkan, koalisi Gerindra-PKB sudah memenuhi ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Masalah mereka memang ada pada penentuan bakal cawapres yang mendampingi Prabowo saat Pemilu 2024.
Kondisi tersebut tentu membuat Muhaimin berkemungkinan hanya sebagai bakal calon wakil presiden, apalagi elektabilitas Muhaimin sebagai bakal capres kalah jauh dibandingkan Prabowo. Kini, tantangan Cak Imin ada pada upaya membuat elektabilitas sebagai cawapres lebih baik daripada cawapres lain untuk Prabowo.
“Menurut saya tugas berat Cak Imin adalah menggerakkan kekuatan politik partai, baik itu dari tingkat elite sampai ke akar rumput dalam mengkonsolidasikan arah pilihan partai di Pemilu 2024, sehingga pilihan PKB satu-satunya adalah Cak Imin sendiri, bukan tokoh dari luar PKB,” kata Ikhwan.
Ikhwan menambahkan, “Kita tahu lumbung suara PKB adalah kelompok nahdliyin atau tidak terlepas dari basis suaranya NU. Jika Muhaimin Iskandar mampu mengkonsolidasikan partai dengan baik, satu suara bisa saja tingkat elektabilitas Muhaimin Iskandar akan mengalami kenaikan.”
Ikhwan menilai Muhaimin masih layak sebagai bakal cawapres dengan melihat faktor NU. Gerindra bersama PKB seharusnya bisa bergandengan tangan merebut hati pemilih NU, sebab jika PKB saja yang turun jor-joran bisa kewalahan.
Di sisi lain, kata Ikhwan, upaya maju PKB dengan Gerindra akan menguntungkan PKB karena Muhaimin berkemungkinan besar sulit untuk menjadi bakal cawapres di koalisi lainnya.
“Kalau dilihat koalisi lain sudah memiliki bakal capres dan cawapres potensial masing-masing, sedikit kemungkinan Muhaimin Iskandar akan diusung dari koalisi lain, tepatnya ya PKB-Gerindra mengusung Cak Imin sebagai cawapres,” kata Ikhwan.
Selain itu, kata dia, kerja sama Gerindra-PKB penting karena tidak sedikit partai berupaya merebut suara NU. Oleh karena itu, kedua partai harus turun merebut suara nahdliyin. Hal ini juga solusi karena PKB mengalami tantangan akibat konsolidasi yang kurang sempurna untuk meningkatkan elektabilitas partai.
“PKB berada pada pilihan yang cukup sulit, jika tidak mengusung ketua umumnya sendiri bisa saja konsolidasi partai tidak sempurna, alhasil suara partai juga semakin kecil, kecuali PKB punya nominasi kandidat lain selain Muhaimin Iskandar. Sejauh ini hanya Muhaimin yang dinilai bisa menjaga suara partai, kalau pilihan PKB terbelah, tentunya akan membahayakan suara partai,” kata dia.
“Jadi pilihan tepat ya Muhaimin Iskandar sebagai bakal cawapres yang berpotensi besar diusung Koalisi Indonesia Raya (Gerindra dan PKB),” kata dia.
Reporter Tirto berupaya menghubungi Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid serta Sekjen PKB, Hasanuddin Wahid soal langkah PKB setelah melihat elektabilitas Muhaimin yang masih belum optimal. Namun mereka belum membalas permohonan wawancara Tirto hingga artikel ini dirilis.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz