Menuju konten utama

Iuran Program Tapera Buat Buruh Semakin Sengsara

Upah pekerja sudah dipotong banyak, dan kini ditambah dengan iuran yang dianggap tidak berpengaruh signifikan.

Iuran Program Tapera Buat Buruh Semakin Sengsara
Buruh tani membajak sawah menggunakan traktor dengan latar belakang perumahan di areal persawahan Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Jombang, Jawa Timur, Kamis (16/4/2020). ANTARA FOTO/Syaiful Arif/nz.

tirto.id - Pemerintah menambahkan iuran yang harus dibayarkan buruh setiap bulan dalam bentuk tabungan perumahan rakyat (Tapera). Tak tanggung-tanggung, semua yang bekerja dan mendapat upah dari itu dituntut untuk ikut urun sekalipun mereka punya rumah baik sudah lunas atau belum.

Peraturan ini ditetapkan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Peraturan ini berlaku baik untuk pekerja di sektor swasta atau pemerintahan.

Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan kebijakan ini “sangat membebani para pekerja.” “Upah sudah murah, eh, dipotong lagi dengan iuran BPJS, ada dana pensiun. Ini beban lagi padahal kami terancam PHK massal karena COVID-19,” katanya saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (5/6/2020).

Total potongan untuk iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan jaminan hari tua atau dana pensiun mencapai 4 persen dari upah. Sementara iuran Tapera berada di angka 3,5 persen, dengan rincian 2,5 persen wajib dibayar pekerja dan 1 persen oleh pemberi kerja.

Selain membebani pekerja, menurutnya kebijakan ini juga tidak terasa manfaatnya terutama bagi “yang sudah kredit rumah, sudah punya rumah,” atau yang sebentar lagi memasuki masa pensiun. “Masak semua orang wajib [ikut Tapera]. Beda sama BPJS Kesehatan dong.”

Keberatan juga disampaikan Sekjen Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunar. “Kalau ada potongan lagi akan menambah beban teman-teman buruh,” ucap Sunar saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (5/6/2020).

Menurut Sunar, alih-alih membebani buruh dengan iuran baru, semestinya pemerintah memberikan saja subsidi perumahan dari APBN. Toh, buruh juga sama-sama membayar pajak sebagaimana warga lain.

“Kami menuntut agar perumahan benar-benar disediakan pada rakyat dan buruh. Jangan dibebankan lagi tanggungannya,” katanya menegaskan.

Sikap Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) agak berbeda dengan ASPEK dan KASBI yang menolak Tapera. KSPI menerima program ini, tapi dengan catatan.

Pertama KSPI meminta pemerintah menyediakan rumah melalui BUMN, alih-alih menyuruh pekerja menabung dan membeli sendiri dari uang hasil iuran. Sebab jika rumah disediakan pemerintah, maka setidaknya memungkinkan penerapan skema DP nol persen dan masa tenor yang panjang.

“Kalau harus menabung dulu sama saja menyulitkan buruh memiliki rumah. Setelah terakumulasi sekian tahun tetap tidak cukup beli rumah,” ucap Presiden KSPI Said Iqbal saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (6/6/2020).

Kedua, KSPI meminta agar proporsi iuran yang ditanggung buruh diubah menjadi 2,5 persen pengusaha dan 0,5 persen pekerja. Menurutnya angka itu cukup masuk akal dan tidak bakal terlalu membebani buruh.

Ketiga, KSPI meminta agar tidak ada batasan upah minimum untuk mengakses Tapera lantaran saat ini ditetapkan kisaran gaji Rp4-8 juta untuk masuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dengan demikian, pekerja dengan upah yang kecil sekalipun tetap berhak mengikuti program ini.

Said pun menilai iuran Tapera seharusnya bersifat sukarela. Sasarannya semestinya buruh yang memang kesulitan memiliki rumah, sedangkan bagi yang sudah memiliki rumah “tidak perlu lagi ikut.”

“Tapera jadi opsional. Tidak dipaksakan seperti saat ini,” katanya menegaskan.

Kebijakan yang memberatkan buruh di tengah masa pandemi ini hanya akal-akalan pemerintah untuk mencari pendapatan baru di tengah kondisi keuangan negara yang tengah tertekan dengan cara instan, kata ekonom dari Indef Bhima Yudhistira. Hal ini terlihat jelas di Pasal 27 PP Tapera yang menyebut dana dari iuran bisa diinvestasikan ke surat utang pemerintah.

“Berarti pekerja diminta secara tidak langsung iuran untuk beli SBN. Ini dilakukan karena pemerintah sedang cari sumber pembiayaan baru di tengah pelebaran defisit anggaran,” kata Bhima kepada reporter Tirto.

Kecurigaan Bhima semakin kuat karena ada kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumber pendanaan penanggulangan dampak Corona lewat penerbitan surat utang negara (SUN) seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) f Perppu 1/2020 yang sudah menjadi UU, dan juga pada Pasal 2 ayat (1) e pada perppu yang sama, yang pada intinya mengatakan bahwa sumber-sumber dana abadi dapat digunakan untuk pendanaan stimulus pemulihan ekonomi usai pandemi Corona.

“Ini kelihatan sekali motifnya,” Bhima menegaskan.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Bayu Septianto