tirto.id - Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dalam aturan itu, seluruh pekerja baik di pemerintahan dan swasta diwajibkan mengikuti program Tapera.
Meski punya tujuan baik, tapi aturan Tapera yang keluar di masa COVID-19 dianggap tak tepat. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai pemerintah kurang memperhitungkan kondisi perusahaan dan masyarakat di tengah pandemi.
“Timing-nya ini yang menjadi tidak tepat,” kata Piter kepada reporter Tirto, Rabu (3/6/2020).
Selain itu, iuran Tapera akan memberatkan perusahaan dan pekerja. Sebab, PP Tapera mengatur besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah. Porsinya perusahaan berkewajiban bayar 0,5 persen dari jumlah iuran, sementara sisanya dibayar karyawan.
Hal tersebut, kata Piter, akan jadi tambahan beban tersendiri bagi pengusaha karena mereka juga harus tetap membayar iuran lainnya, termasuk BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
“Lebih gak pas itu ke pengusaha. Karena perusahaannya itu menjadi ada tambahan beban lagi karena dia harus menutup yang 0,5 persen itu. Meskipun kecil, tapi kalau harus bayar 1.000 orang gimana?” kata Piter.
Hal senada diungkapkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus. Ia berkata dengan adanya pungutan baru itu, pemerintah kembali menambah beban pada masyarakat dengan potongan iuran yang akan mengurangi pemasukan mereka.
“Semua mengalami beban ekonomi berat karena menurunnya income dan daya beli. Pendapatan dari dunia usaha juga menurun. Iuran Tapera itu kan memberatkan,” ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/6/2020).
Seharusnya, kata Ahmad, sebelum ada iuran baru pemerintah mengevaluasi iuran yang sudah ada.
Menurut Ahmad, jangan sampai iuran Tapera justru menjadi beban dan masalah baru bagi masyarakat yang ekonominya tengah terhimpit di tengah pandemic COVID-19.
“Misalnya iuran BPJS Ketenagakerjaan itu dievaluasi dulu gimana tingkat kepatuhannya sebelum iuran Tapera diadakan,” kata dia.
Iuran Tapera Cara Baru Pemerintah ‘Cari Duit’?
Selain momentum yang kurang tepat, ekonom Indef lainnya, Bhima Yudhistira menilai resminya iuran Tapera mengmbuat masyarakat berprasangka. Pemerintah terlihat tengah mencari pendapatan baru di tengah kondisi keuangan negara yang tengah tertekan.
Motif terselubung iuran Tapera terlihat jelas di Pasal 27 PP Tapera. Dalam pasal tersebut dijelaskan, dana iuran bisa diinvestasikan ke surat utang pemerintah, kata Bhima.
“Berarti pekerja diminta secara tidak langsung iuran untuk beli SBN. Ini dilakukan karena pemerintah sedang cari sumber pembiayaan baru di tengah pelebaran defisit anggaran,” kata Bhima kepada Tirto, Kamis (4/6/2020).
Kecurigaan Bhima semakin kuat karena ada kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumber pendanaan penanggulangan dampak Corona lewat penerbitan surat utang negara (SUN) seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) f Perppu 1/2020 yang sudah menjadi UU.
Dan juga pada Pasal 2 ayat (1) e pada perppu yang sama, yang pada intinya mengatakan bahwa sumber-sumber dana abadi dapat digunakan untuk pendanaan stimulus pemulihan ekonomi usai pandemi Corona.
“Ini kelihatan sekali motifnya,” kata Bhima menegaskan.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengklaim PP Tapera akan membebani para pengusaha.
"Pengusaha saat ini cash flow-nya sudah sangat berat, sudah banyak pekerja terkena PHK dan dirumahkan. Di sisi pekerja yang masih aktif sudah kebanyakan hannya menerima gaji pokok tanpa ada tunjangan lain akibat ketidakmampuan pengusaha," kata dia, Kamis (4/6/2020).
Jangankan memikirkan iuran Tapera, kata dia, iuran yang selama ini sudah menjadi kewajiban pengusaha seperti pembayaran BPJS Ketenagakerjaan pun minta ditunda karena pengusaha tak mampu.
"Kami sangat berharap pemerintah mengevaluasi PP Tapera,” kata Sarman.
Penjelasan Pemerintah
Deputi Komisioner Badan Pengelola Tapera Eko Ariantoro menjelaskan program serupa Tapera sudah lazim di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, Cina, India, dan Korea Selatan.
“Pemerintah memberikan kesempatan bagi pemberi kerja sektor swasta untuk mendaftarkan pekerjanya paling lambat tujuh tahun setelah ditetapkannya PP Penyelenggaraan Tapera,” kata Eko, Rabu (3/6/2020).
Dasar perhitungan untuk menentukan gaji ditetapkan sama dengan program jaminan sosial, yaitu maksimal sebesar Rp12 Juta.
Simpanan peserta akan dikelola dan diinvestasikan oleh BP Tapera secara transparan bekerja sama dengan KSEI, Bank Kustodian, dan Manajer Investasi.
Peserta dapat memantau hasil pengelolaan simpanannya setiap saat melalui berbagai kanal informasi yang disediakan oleh BP Tapera dan KSEI, kata Eko.
Peserta yang memenuhi kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yaitu berpenghasilan maksimal Rp8 juta dan belum memiliki rumah berhak mengajukan manfaat pembiayaan perumahan dengan bunga murah.
Pembiayaan juga bisa digunakan peserta untuk membangun rumah di lahan milik sendiri. Saldo awal peserta ini kemudian akan dikelola menggunakan model kontrak investasi dan sebagian dialokasikan untuk pelaksanaan initial project pembiayaan perumahan bagi peserta Tapera. Sedangkan penghimpunan simpanan peserta direncanakan akan mulai dilaksanakan pada Januari 2021.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz