tirto.id - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah menyambut baik hasil studi Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Pasalnya, berkat studi itu, pemerintah kini dapat menghadapi tudingan-tudingan negara Eropa yang sering mendiskreditkan komoditas kelapa sawit.
Ia menilai, studi ini dapat menghadirkan pemahaman yang lebih baik. Dengan demikian, dapat mencegah pihak-pihak tertentu yang diduga memiliki niat mengadakan kampanye miring terkait kelapa sawit.
“Studi ini menunjukkan ada pihak independen yang berusaha agar lebih seimbang dan itu penting. Selama ini cuma ada orang Eropa yang kerjanya menyalahkan kita dan diskriminatif,” ucap Darmin kepada wartawan usai konferensi pers penyerahan hasil studi IUCN kepada pemerintah Indonesia di Gedung Kemenko Perekonomian pada Senin (4/2/2019).
Terkait persoalan lingkungan, Darmin menampik bila kelapa sawit sepenuhnya buruk bagi lingkungan. Menurutnya, pemerintah telah berupaya memitigasi dampak lingkungan kelapa sawit dengan kebijakan seperti moratorium kelapa sawit yang membatasi bertambahnya penanaman komoditas ini dan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
“Kami percaya bahwa persoalan kelapa sawit dan lingkungan bukan suatu hal yang kemudian saling menegasikan. Dua-duanya dapat dicapai,” ucap Darmin.
Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar pun meyakini kebenaran hasil studi ini.
Pasalnya, Indonesia dapat membuktikan bahwa terdapat keanehan dalam diterimanya minyak nabati produksi Amerika Serikat yang menggunakan kedelai sebagai bahan bakunya.
Sebab, minyak nabati produksi Amerika digolongkan berisiko rendah (low risk) sehingga dapat masuk ke pasar Eropa. Namun, tidak bagi Indonesia. Padahal, untuk 1 ton produksi minyak nabati, kelapa sawit hanya memerlukan 0,26 hektar lahan. Untuk jumlah minyak nabati yang sama, tanaman kedelai memerlukan 2 hektar lahan.
Mahendra juga menuturkan saat ini belum ada kejelasan mengenai cara mengukur atau mengklasifikasikan minyak nabati. Karena itu, ia menduga bila di tengah simpang siur ini, keputusan politik bermain di dalamnya ketimbang metodologi ilmiah.
“Ini menggerus kredibilitas pemberi rating dalam melihat apakah minyak nabati low risk atau high risk. Tentu ini catatan dan rujukan sekiranya delegated act dikeluarkan agar negara produsen sawit mengangkat ini ke WTO,” tukas Mahendra.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dhita Koesno