tirto.id - Kasus yang menyeret PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri) menambah daftar panjang masalah investasi perusahaan pelat merah. Habis dipusingkan dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya, kini pemerintah harus membereskan asuransi bagi ASN TNI-Polri ini.
Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Achsanul Qosasi tak ragu mengatakan kasus Asabri ini memang mirip Jiwasraya. Keduanya sama-sama pernah menaruh investasi pada saham yang harganya telah jatuh sehingga menyebabkan perusahaan merugi.
Kerugiannya berdasarkan penuturan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Muhammad Mahfud MD mencapai Rp10 triliun. Mahfud bahkan menduga kalau ada potensi korupsi dari perkara ini.
Asabri juga pernah diperingatkan BPK RI pada 2016 agar membenahi portofolio saham tujuan investasi mereka supaya terhindari dari risiko kerugian. Sama seperti Jiwasraya, Asabri juga tak menjalankan sepenuhnya rekomendasi BPK tersebut hingga saat ini.
Untungnya, Asabri disebut lebih mujur daripada Jiwasraya. Sebab, perusahaan asuransi untuk ASN TNI-Polri itu masih memiliki likuiditas dari iuran wajib tertanggung yang besarannya sampai Rp1 triliun per tahun.
“Iya mirip-miriplah kasusnya [dengan Jiwasraya]. BPK RI sudah pernah mengaudit Asabri bersamaan dengan Jiwasraya di 2016 dan hasilnya sudah diserahkan ke DPR dan BUMN,” ucap Achsanul dalam pesan singkat kepada reporter Tirto, Senin (13/1/2020).
Jauh sebelum BPK RI mencium potensi masalah dalam Asabri, perusahaan ini nyatanya sempat tersandung kasus korupsi yang mencuat pada 2006.
Kala itu, Direktur Utama Asabri, Mayjen (Purn) Subardja Midjaja bersama pengusaha Henry Leo disebut menyelewengkan dana asuransi dan perumahan prajurit untuk bisnis batu bara sampai proyek property. Kerugian negara waktu itu ditaksir mencapai Rp410 miliar.
Menariknya, Asabri juga membuka tabir baru betapa istimewanya perusahaan asuransi pelat merah ini. Sebuah perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan tentu diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Melalui pengawasan itu, OJK selalu memantau lewat laporan periodik maupun pengawasan langsung untuk mengecek keuangan dan penempatan dana perusahaan alias investasi. Namun, untuk kasus Asabri ini, OJK mengaku tak tahu-menahu bahkan enggan berkomentar.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso hanya bisa bilang lembaganya tak pernah mengawasi Asabri. Wimboh bilang PP No. 102 Tahun 2015 tak mengizinkan lembaganya menjadi pengawas eksternal Asabri.
Sebaliknya, Pasal 52 PP No. 102 Tahun 2015 hanya mengizinkan inspektorat di lembaga yang menjadi nasabah Asabri seperti Kementerian Pertahanan, Polri, dan TNI. Lembaga lain juga ada, tapi sebatas inspektorat Jenderal Kemenkeu dan BPK RI.
“Ini ada PP (Nomor 102 tahun 2015) yang melakukan pengawasan eksternalnya bukan kami. Ada instansi lain. OJK tidak termasuk dalam pengawas eksternal Asabri,” ucap Wimboh saat ditemui di Makhamah Agung, Senin (13/1/2020).
Tak tanggung-tanggung, Kementerian BUMN yang notabene adalah pemegang saham pun tak bisa langsung bertindak.
Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo sampai bilang ia harus menunggu Menkopolhukam Mahfud MD yang membawahi Kemenhan selaku pengelola dan pengawas sah perusahaan asuransi tersebut.
Faktor lain, Asabri menurut UU No. 2 Tahun 1992 dikelola dengan model asuransi sosial dari kalangan tertentu. Dengan demikian, penangannnya tak bisa selempeng Jiwasraya yang asuransinya berasal dari dana publik.
“Kami tunggu panggilan dari Pak Menkopolhukam, tapi kami sudah lihat. Kami sudah lihat memang seperti yang disampaikan itu ada kerugian investasi sahamnya,” ucap Kartiko kepada wartawan saat ditemui di Gedung MA, Senin (13/1/2020).
Pengajar Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Hotbonar Sinaga mengatakan salah investasi Asabri terkait dengan kebijakan pemerintah memberi keistimewaan pada perusahaan itu.
Hotbonar bilang pemerintah memang memiliki hak sebagai pemberi kerja untuk menentukan pengawasannya, tetapi salah investasi yang berujung kerugian ini membuktikan hal itu keliru.
Ia mengatakan ada peran inspektorat di sejumlah lembaga memiliki keterbatasan karena mereka hanya mampu menyelidiki perkara pengelolaan organisasi secara umum. Sebaliknya, Asabri bagaimana pun statusnya menurut PP bergerak di sektor jasa keuangan yang membutuhkan keahlian pengawasan OJK.
Akan tetapi, Hotbonar enggan berprasangka buruk bila absennya pengawasan OJK dibuat sengaja untuk menutupi masalah yang mungkin terjadi di perusahaan ini, bahkan sudah terjerat kasus pada 2006 dan masuk pemeriksaan BPK 2014-2015.
Hotbonar mengatakan hilangnya pengawasan OJK ini adalah bukti keteledoran pemerintah yang berujung pada salah investasi perusahaan itu.
“Ini keteledoran pemerintah. Memang sah-sah saja seperti itu, tapi perusahaan di jasa keuangan sebaiknya dimasukan dalam pengawasan OJK. Taspen dan Jasa Raharja juga seharusnya masuk. Tapi itu ya terserah pemerintah,” ucap Hotbonar saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/1/2020).
Sementara itu, manajemen Asabri dalam keterangan tertulis, Senin (13/1/2020), mengklaim kalau perusahaan saat ini masih bisa membayar klaim dengan normal.
Mereka juga mengklaim telah melakukan mitigasi atas kegagalan investasi itu dan memastikan dampak penurunan nilai saham investasi mereka hanya sementara.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz