Menuju konten utama
16 September 1975

Inspirasi dari Papua Nugini: Bagaimana Cara Merdeka Secara Damai?

Papua Nugini berhasil mendapatkan kemerdekaan tanpa harus mengorbankan nyawa masyarakatnya dalam peperangan.

Inspirasi dari Papua Nugini: Bagaimana Cara Merdeka Secara Damai?
Ilustrasi Papua Nugini merdeka. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 16 September 1975, tepat hari ini 44 tahun lalu, Papua Nugini mendapatkan kemerdekaannya. Negara pencetus Melanesia Spearhead Group (kelompok masyarakat Melanesia) ini berhasil merdeka dari pendudukan Australia. Kemerdekaan tersebut didapat dari hasil pertempuran tiga negara besar dalam Perang Dunia II: Jepang, Amerika, dan Australia.

Ibu kota Papua Nugini, Port Moresby, menjadi saksi bisu peristiwa bebasnya negara dengan lebih dari 850 bahasa itu. Di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Bukit Kemerdekaan, upacara berlangsung mewah.

Sebagai perbandingan, Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan di rumah Sukarno dengan orang terbatas dan terburu-buru. Sementara di Papua Nugini, perencanaan kemerdekaan telah berlangsung sejak 1973. Australia saat itu sudah menyerahkan seluruh kekuasaan kepada pemerintahan Papua Nugini. Lambang cenderawasih (Raggiana) di bendera Papua Nugini bahkan ditentukan melalui sayembara.

Enam tentara membawa bendera kebanggaan negara itu dan menaikkannya ke tiang bendera dengan iringan lagu nasional mereka. Orang-orang datang dengan berjalan kaki, menaiki mobil, dan menggunakan pesawat terbang. Pemerintah Australia diwakili Perdana Menteri Gough Whitlam.

Papua Nugini menyatakan diri sebagai monarki konstitusional dan masuk ke dalam negara-negara persemakmuran Britania. Perwakilan Ratu Elizabeth II, Pangeran Charles dari Wales, juga datang di perayaan tersebut.

Ratusan suku yang berbeda datang dalam perayaan itu. Ada yang memakai baju resmi seperti kemeja dan celana drill panjang, ada juga yang memakai baju adat masing-masing. Puluhan ribu orang Port Moresby kala itu khidmat menyambut kemerdekaan yang sudah lama diidamkan.

Dalam sebuah tayangan dokumenter yang dibuat Sid Perou, sutradara Inggris, terlihat bagaimana warga Papua Nugini di kawasan Telefomin berpesta. Di daerah perbatasan dengan Indonesia itu, yang bahkan tak bisa ditempuh melalui jalan darat dari Port Moresby, orang-orang menyorakkan lagu adat mereka dan menyembelih babi untuk disantap.

“Saya tidak menyangka Papua Nugini bisa mencapai kemerdekaan setelah membentuk partai politik pertama. Tapi dengan dukungan orang-orang muda, saya melihat kami mampu merealisasikannya,” kata Perdana Menteri pertama Papua Nugini, Michael Somare, dalam sebuah wawancara dengan EMTV.

Michael memang mendirikan partai politik paling awal di Papua Nugini, Partai Pangu (1967). Dua partai lain baru menyusul di tahun 1969.

Politik tanpa Pertumpahan Darah

Penulis sejarah Papua Nugini dari Australia, Ann Turner, mencatat invasi orang Eropa ke Papua Nugini terjadi sekitar abad ke-15 sampai abad ke-17. Dalam Historical Dicitionary of Papua New Guinea (2011), Ann menulis bahwa Portugis, Belanda, dan Spanyol datang mencari rempah-rempah.

Namun mereka tidak berhasil menjadikan Papua Nugini sebagai koloni mereka. Britania Raya kemudian masuk pada abad ke-19. Mereka merekrut, terkadang secara paksa, orang Melanesia untuk menjadi awak kapal dan pekerja di Samoa dan Australia.

Di pengujung abad ke-19, Britania Raya, Jerman, Perancis, dan Australia mulai menjadikan Papua Nugini sebagai pos perdagangan. Mereka menanam tanaman-tanaman yang memiliki nilai jual tinggi seperti cokelat dan kelapa dengan sistem kontrak yang bayarannya rendah. Britania kemudian bergabung dengan Australia untuk menjadikan negeri cincin api ini sebagai koloni.

Britania menyerahkan urusan Papua Nugini kepada Australia. Di sana, para misionaris menyebarkan agama dengan mendirikan gereja dan sekolah. Ini juga salah satu sebab mengapa agama mayoritas di Papua Nugini adalah Kristen dan Katolik.

Di tahun 1942, Jepang yang menginvasi Papua Nugini. Rabaul, salah satu teritori Papua Nugini, berhasil dikuasai Jepang dan perang pun berkecamuk di sana.

Australia, dengan dibantu Amerika, menerjunkan 1,5 juta tentara untuk mengusir Jepang. Tidak hanya itu, Australia juga melatih warga setempat dalam hal perlindungan diri dan aksi militer. Tiga tahun berikutnya, Jepang bertekuk lutut dan Papua Nugini kembali dikuasai sepenuhnya oleh Australia.

“Bagi orang Papua Nugini, tindakan Jepang lebih aneh daripada orang Barat,” tulis Ann.

Itulah momen perubahan paling penting dalam sejarah Papua Nugini.

Australia kemudian membuat Papua New Guinea Provisional Administration Act untuk menentukan batasan daerah Papua dan Nugini, yang kemudian direvisi pada 1949 menjadi Papua Nugini. Penduduk lokal mulai mendapat tempat di pemerintahan ketika tiga orang terpilih menjadi Dewan Legislatif Papua dan Nugini.

Ketika PBB mengeluarkan aturan menghapus kolonialisasi tahun 1960, Australia yang menjadi bagian dari Dewan Perwalian PBB mau tak mau mesti mematuhinya. Meski ditentang sebagian ekspatriat, Australia harus memberikan kemerdekaan bagi negara koloninya.

“Pemerintah Australia akan secepatnya membantu kemerdekaan Papua Nugini. Dewan Legislatif Papua Nugini akan segera disahkan untuk membentuk pemerintahan sendiri 1 Desember tahun 1973,” kata Paul Hasluck seperti ditulis Donald Denoon dalam A Trial Separation: Australia and the Decolonisation of Papua New Guinea (2005).

Janji Paul juga didukung oleh Gough Whitlam. Sejak 1969, Whitlam memang sudah mendukung agar Papua Nugini punya pemerintahan sendiri dan merdeka di tahun 1976.

Whitlam sebenarnya ingin deklarasi dilakukan tahun 1974 ketika pemerintahan Papua Nugini terbentuk pada 1973. Namun Michael Somare, yang menjadi pemenang pemilu di tahun 1972, memutuskan untuk tidak terburu-buru.

Ketika Papua Nugini meraih kemerdekaan, Whitlam duduk di samping Michael. Mereka tampak bercakap-cakap dan bersenda gurau. Hubungan Australia dan Papua Nugini pun masih baik hingga kini.

Meski ada perlawanan dari pemimpin partai oposisi, Josephine Abaijah, dengan membuat gerakan Papua Besena, konflik berdarah tetap bisa dihindari. Papua Besena hanya merusak barang-barang saat melakukan demonstrasi. Para aktivis Papua Besena sempat menyatakan kemerdekaan sepihak, tapi Michael tidak melakukan langkah represif apapun. Gerakan Josephine akhirnya berhenti pada 1974.

Jurnalis Australia, Sean Dorney mencatat: Papua Nugini mencapai kemerdekaan tanpa pertumpahan darah.

Infografik Mozaik Papua Nugini Merdeka

Infografik Mozaik Papua Nugini Merdeka. tirto.id/Rangga

Cegah Kemerdekaan Pihak Lain

Awal yang baik belum tentu memuluskan jalan pemerintahan Papua Nugini. Setelah merdeka, Papua Nugini justru melarang daerah otonom Bougainville untuk merdeka. Bougainville terkenal karena tambang tembaga dan emas.

Sejak ada tambang Panguna yang beroperasi sejak 1961, beberapa masalah timbul di Bougainville, terutama kerusakan lingkungan akibat penambangan. Sementara 45 persen pendapatan nasional Papua Nugini bergantung kepada tambang di Bougainville.

Perang sudah terjadi sejak 1988 hingga 1998. Pertempuran besar pecah pada 1989 ketika juru kampanye gerakan kemerdekaan Bougainville, Francis Ona, mulai mengganggu aktivitas penambangan. Ribuan orang meninggal dalam pertempuran ini.

Papua Nugini baru mau melepaskan Bougainville ketika ada campur tangan Selandia Baru di tahun 1997. Pada November 2019 mendatang, Bougainville diagendakan melakukan deklarasi kemerdekaan.

Papua Nugini secara resmi juga tidak mendukung keinginan Papua Barat untuk merdeka dari Indonesia. Salah satu sebabnya, Papua Nugini punya kerja sama dengan Indonesia.

"Setiap tindakan untuk mendukung akan menjadi pelanggaran hukum internasional, Anda tahu Papua Barat atau Papua masih bagian dan merupakan bagian integral dari Republik Indonesia dan kami memiliki hubungan bilateral dengan Republik Indonesia, jadi kami tidak akan mendukung itu," kata Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Papua Nugini Rimbink Pato pada Agustus 2018.

Belakangan, masyarakat Papua Nugini menggelar aksi solidaritas untuk Papua Barat. Mereka mengecam tindakan rasis dan represif aparat keamanan Indonesia terhadap orang-orang Papua.

Menteri Luar Negeri Papua Nugini yang baru, Soroi Eoe, menyatakan bahwa apa yang terjadi di Papua Barat sangat menyedihkan. Sampai sekarang, Papua Nugini memang belum bisa mendukung pembebasan Papua Barat dan masih mengakui kedaulatan Indonensia. Namun, Soroi mendesak PBB agar segera menyelidiki kekerasan di Papua.

“Papua Nugini harus sangat hati-hati merespon isu ini karena faktanya kita bersebelahan dengan Indonesia,” kata Soroi (4/9/2019).

Baca juga artikel terkait PAPUA NUGINI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan