Menuju konten utama

Ini Sembilan Rekomendasi Hasil Simposium Anti PKI

Simposium anti-Partai Komunis Indonesia yang bertemakan 'Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain' yang berlangsung tanggal 1-2 Juni 2016 di Balai Kartini, Jakarta menghasilkan sembilan rekomendasi. Hasil rekomendasi simposium tersebut akan disampaikan kepada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan.

Ini Sembilan Rekomendasi Hasil Simposium Anti PKI
(ilustrasi) Mayor Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zein (tengah) mengikuti acara apel siaga bahaya komunis yang diselenggarakan DPD FPI Jawa Barat di kawasan Jalan Dipenogoro Bandung, Jawa Barat, Selasa (31/5/2016). Antara foto/Agus Bebeng.

tirto.id - Simposium anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tema “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” yang berlangsung tanggal 1-2 Juni 2016 di Balai Kartini, Jakarta menghasilkan sembilan rekomendasi.

Ketua Panitia Pengarah Simposium anti-PKI, Kiki Syahnakri mengatakan hasil rekomendasi simposium akan disampaikan kepada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan.

"Nanti rekomendasi ini akan diteruskan ke pemerintah sebagai salah satu masukan selain rekomendasi dari simposium membedah tragedi 1965 dari aspek sejarah di Hotel Aryaduta yang lalu," katanya di Jakarta, Kamis (2/6/2016)

Kiki mengatakan, pihaknya juga akan mengadakan pertemuan dengan panitia Simposium membedah tragedi 1965. Namun, dia belum bisa menjelaskan kepastian pertemuan antara kedua panitia tersebut.

"Kami akan adakan koordinasi dengan simposium Aryaduta, tapi kapannya saya belum bisa jawab, harus dibicarakan dulu antara kami dan dilanjutkan komunikasi dengan mereka," katanya.

Simposium anti-PKI, kata Kiki, akan dilanjutkan dengan apel siaga dan long march dari Masjid Istiqlal ke Monumen Nasional atau depan Istana Kepresidenan untuk melakukan aksi damai.

"Kita akan lakukan orasi juga besok, tapi kami tegaskan aksi ini akan berlangsung damai dan kondusif," tutur Kiki.

Berikut kesembilan poin hasil simposium anti-PKI, yaitu: Pertama, sejarah mencatat bahwa PKI telah melakukan pemberontakan pada tahun 1948 berpusat di Madiun dan tahun 1965 yang biasa disebut Gerakan 30 September (G30S), keduanya dianggap oleh simposium merupakan usaha merebut kekuasaan yang akan disusul dengan pergantian ideologi negara dari Pancasila ke Komunis.

Kedua, simposium menilai sudah sepantasnya PKI meminta maaf kepada rakyat dan Pemerintah Indonesia dan menuntut agar PKI dengan kesadaran membubarkan diri dan menghentikan semua kegiatan-kegiatan dalam bentuk apa pun yang dinilai oleh simposium sebagai usaha eksistensi yang berawal sejak reformasi dengan melaksanakan kongres sebanyak tiga kali, memutarbalikkan sejarah, menyebar video dan film yang sifatnya menghasut serta fitnah dengan melimpahkan kesalahan pada Orba, TNI dan umat Islam.

Ketiga, bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dua pemberontakan PKI berhasil digagalkan sehingga Pancasila tetap ditegakkan dan menyesalkan dalam kedua pemberontakan tersebut telah jatuh sejumlah korban jiwa baik dari pemerintah, TNI, rakyat sipil maupun dari pihak pemberontak PKI sehingga menjadi luka sejarah yang cukup panjang.

Keempat, telah terjadi rekonsiliasi sosial dan politik secara alamiah dari anak atau cucu dari eks PKI dan organisasi di bawahnya yang terlibat konflik masa lalu tersebut sehingga saat ini tidak ada lagi stigma yang tersisa pada mereka karena hak-hak sipilnya telah pulih kembali bahkan beberapa di antaranya menempati posisi penting di Indonesia dan tidak dipermasalahkan. Karenanya simposium memandang tidak lagi mencari-cari jalan rekonsiliasi, tetapi mengukuhkan dan memantapkan rekonsiliasi sosial dan politik alamiah yang telah berlangsung.

Kelima, meminta dengan sangat kepada pemerintah, LSM dan masyarakat untuk tidak lagi mengutak-atik kasus masa lalu, karena akan membangkitkan luka lama, memecah belah kesatuan bangsa dan memicu konflik horizontal berkepanjangan. Simposium berpandangan akan lebih bijak dan bermanfaat apabila melupakan masa lalu dan melihat ke depan serta mengutamakan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan golongan dalam mencapai cita-cita bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Keenam, meminta pemerintah konsisten menegakkan Pancasila Tap MPRS XXV Tahun 1966, UU 27 Tahun 1999 Jo KUHP pasal 107 dan 169 tentang pelarangan terhadap PKI dan semua kegiatan-kegiatannya serta menindak setiap kegiatan yang terindikasi upaya membangkitkan PKI. Simposium juga memandang Tap MPR RI Nomor 1 Tahun 2003 yang memperkuat ketentuan pelarangan Komunis di Indonesia seyogyanya dimasukkan dalam amandemen UUD 1945.

Ketujuh, fenomena kebangkitan PKI tidak terlepas dari perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali tahun 1999-2002 yang dibajak liberalisme, sehingga UUD hasil amandemen tidak lagi dijiwai oleh Pancasila, melainkan individualisme dan liberalisme dengan kebebasan nyaris tanpa batas yang memberi jalan membangkitkan PKI, karenanya simposium mendesak pemerintah dan MPR untuk mengkaji ulang UUD hasil amandemen itu agar dijiwai oleh Pancasila.

Kedelapan, simposium mendesak pemerintah memasukkan atau menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan formal mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi termasuk pendidikan informal. Pemerintah juga dipandang perlu menyelaraskan atau menerbitkan undang-undang baru yang dapat mengikat semua pemangku kepentingan pendidikan dalam arti luas.

Kesembilan, mengajak segenap komponen bangsa untuk meningkatkan integrasi dan kewaspadaan nasional terhadap ancaman dari kelompok anti pancasila maupun asing beserta proxy-nya yang tidak akan pernah berhenti berusaha agar Indonesia dalam keadaan tidak stabil dan kuat. Simposium sepakat upaya-upaya proxy-proxy tersebut bisa dilancarkan melalui bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan bahkan dalam bidang HAM dan Narkoba.

Baca juga artikel terkait POLITIK

tirto.id - Politik
Sumber: Antara
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Abdul Aziz