tirto.id - Satu persatu negara berdaulat yang kapal perangnya ketahuan dijarah di perairan Indonesia dan Malaysia angkat bicara. Setelah Andre Bosman, salah seorang anggota parlemen Belanda mengatakan bahwa dirinya "marah" dengan kasus ini, kini pernyataan resmi keluar dari pemerintah Inggris.
Seri laporan Tirto yang diterbitkan beberapa hari yang lalu (dan akan dilansir lagi besok) menyebutkan bahwa sepuluh kapal perang mereka yang tenggelam ketika Perang Dunia II hilang dicuri penjarah besi tua. Beberapa sudah raib tanpa jejak, beberapa tinggal sebagian.
Kapal-kapal Inggris itu bernama HMS Exeter, HMS Encounter (sisa 20 persen), HMS Electra (40 persen), HMS Repulse, HMS Prince of Wales, HMS Banka, Tien Kuang [HMS Tien Kwang], HMS Kuala, Lock Ranza, HMS Thanet, dan Hachian Maru (dua bendera: Jepang/Inggris). Dari sepuluh kapal itu, tujuh dijarah di Indonesia dan 4 kapal lain di perairan Malaysia.
Kepada The Guardian, media terkemuka inggris, Juru bicara Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan bahwa pemerintah negaranya "mengutuk gangguan yang tidak sah dari setiap rongsokan kapal karang yang berisi jasad manusia." Lebih jauh, mereka menyebut kapal-kapal sisa perang dan artefak terkait jelas dilindungi oleh hukum internasional sehingga harus dijaga betul keberadaannya.
HMS Electra, salah satu kapal yang kini sisanya tak lebih dari 40 persen, adalah kuburan massal karena di sana--menurut data Kementerian Pertahanan Inggris--ada jasad tak kurang dari 119 orang. Kapal perang tak ubahnya seperti taman makam pahlawan di daratan yang wajib dihormati, sebab di sana sama-sama ada orang-orang yang mati karena membela negaranya.
"Kapal perang harus tetap tidak terganggu dan mereka yang kehilangan nyawa di sana harus diizinkan untuk beristirahat dalam damai," kata juru bicara tersebut.
Sementara menurut penelusuran wartawan Tirto, Aqwam Fiazmi Hanifan, tidak jarang penjarahan dibarengi dengan perusakan jasad-jasad tersebut. Keterangan ini diperoleh dari Haji Abdul Ghoni asal Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur, bos lokal yang mengatur dan mencarikan buruh lokal untuk memotong lempengan-lempengan besi dan baja bangkai kapal.
"Terkadang ada. Terkadang tidak ada," kata Abdul Ghoni, November tahun lalu, ketika ditanya apakah mungkin tengkorak manusia ikut terangkut dalam proses penjarahan. "Terbawa ke pelabuhan. Saya kumpulkan, saya buang lagi ke laut," Ghoni menambahkan.
Hal yang sama dikatakan Andi, anak buah Ghoni. Andi mengaku ada banyak jenis tulang yang ia temukan: mulai dari batok kepala manusia, tulang rahang, tangan, kaki, pinggul, hingga rusuk. Keterangan tambahan darinya: "Tengkorak dikafani dan dikuburkan lagi oleh Haji Ghoni." dengan kedalaman kuburan massal tidak lebih dari satu meter di kuburan dekat pelabuhan Brondong.
Meski mengutuk keras kejadian ini, namun berdasarkan berita yang dilansir The Guardian tersebut, tidak ada pernyataan dari pemerintah Inggris apakah akan mengusut kasus ini ke pemerintah Indonesia atau tidak. Investigasi Tirto menyimpulkan bahwa ada peran yang besar dari pemerintah Indonesia atas kasus ini, terutama Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla).
Semua kapal yang terindikasi melakukan penjarahan beroperasi dengan izin resmi dari Hubla. Mereka tercantum dalam daftar Surat Perintah Kerja yang dirilis Hubla pada periode 2014-2017.
Ketahuan Karena Berencana Diziarahi
Semua bermula ketika Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Belanda berencana mengadakan peringatan 75 tahun pertempuran Laut Jawa. Yayasan Karel Doorman dari Belanda meminta izin kepada otoritas Indonesia untuk menengok bangkai kapal perang mereka yang karam di perairan Indonesia setahun sebelum peringatan digelar. Namun, karena izin survei tak kunjung diberikan, Yayasan tetap nekat melakukannya lewat bantuan pihak swasta, November 2016.
Namun ketika penyelaman dilakukan, mereka tidak menemukan apapun. Bangkai kapal yang mereka cari raib, meninggalkan jejak cerukan di dasar laut.
Pelaku penjarahan diduga adalah perusahaan salvage (kegiatan bawah air) bernama PT Jatim Perkasa. Penelusuran reporter Tirto menemukan beberapa bukti serpihan yang diduga dari bangkai kapal perang Inggris dan Belanda di Laut Jawa telah diambil secara ilegal oleh PT Jatim Perkasa dalam kurun 2014-2016. Pengambilan ini dilakukan oleh kapal jenis barge crane produksi Cina bernama Pioner 88. Bangkai kapal diangkut ke lokasi dumping di Pelabuhan Brondong, Lamongan.
Perusahaan ini terdiri dari dua perusahaan dengan tugas yang berbeda: PT Jatim Perkasa Lines dan PT Jatim Perkasa Salvage. PT Jatim Perkasa Lines bergerak sebagai penyedia sewa perkapalan, sementara PT Jatim Perkasa Salvage khusus untuk beroperasi untuk kegiatan salvage.
Pemilik PT Jatim Perkasa Salvage adalah Lin Qiqiang, warga negara China, menguasai 49 persen saham perusahaan. Sementara status hukum PT Jatim Perkasa Lines adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan sahamnya dimiliki WNI. Pada akta perusahaan, nama Zhang Qing tertera menguasai 48 persen saham, sementara 52 persen lain dipegang Merina Liem yang berasal dari Makassar.
Relasi Merina dan Lin Qiqiang berdasarkan garis pernikahan: Merina menikah dengan Kwan Sze, kakak Cecily Sze, istri Lin Qiqiang.
PT Jatim Perkasa sudah hengkang dari pelabuhan sejak Agustus 2017, setelah mengepul selama tiga tahun di atas lahan 1,8 hektare yang disewa dari Pemprov Jawa Timur.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS