tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan atau year on year (yoy) pada September 2022 mencapai 5,95 persen. Inflasi ini didorong oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dilakukan pada awal September 2022 lalu.
Penyesuaian harga bensin memberikan andil sebesar 1,13 persen secara yoy, sementara inflasi sendiri mencapai 31,90 persen di September 2022. Sementara solar memberikan andil inflasi secara tahunan 0,04 persen, dengan sumbangsih 33,01 persen di September.
Direktur Eksekutif Segara Institut, Piter Abdullah mengatakan, dengan kondisi inflasi meningkat dan pelemahan nilai tukar Rupiah membuka celah untuk Bank Indonesia (BI) kembali menyesuaikan suku bunga acuannya dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Oktober ini.
"Kenaikan suku bunga acuan tidak hanya untuk merespon inflasi. Utamanya adalah untuk menahan pelemahan rupiah. Saat ini rupiah tertekan melemah cukup dalam," kata dia kepada Tirto, Selasa (4/10/2022).
Pada penutupan perdagangan Senin, 3 September 2022 kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 75 poin di level Rp15.302 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level Rp15.227.
Sementara berdasarkan data BI, rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), sejak 21 September hingga hingga saat ini memang sudah melampaui di atas Rp15.000 per dolar AS. Pada 21 September, Rupiah berada di Rp15.011 per dolar AS dan puncaknya pada 29 September tembus Rp15.247 dolar AS.
"BI besar kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga acuan agar rupiah tidak terus tertekan melemah," kata dia.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman bahkan memperkirakan BI masih memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,00 persen di tahun ini (vs 3,5 persen pada 2021). Adapun saat ini, suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) berada 4,25 persen.
Sementara suku deposit facility sebesar 3,50 persen dan suku bunga lending facility sebesar 5,00 persen. Sementara itu, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani berpendapat lain. Dia menilai bank sentral akan cenderung menahan suku bunga acuannya karena inflasi ini lebih disebabkan karena cost push inflation, atau inflasi yang terdongkrak karena biaya-biaya produksi yang semakin tinggi.
"Kalau pemerintah membuat kebijakan moneter dengan kembali menaikkan suku bunga acuan, resikonya ada di daya beli masyarakat yang makin melemah dan bertambahnya non performing loan (NPL) di perbankan," kata Ajib.
Karena itu, Ajib menyarankan untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap dalam tren positif, sebaiknya suku bunga acuan tetap bertahan sampai akhir 2022.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin