Menuju konten utama

Indikator-indikator Pelemahan Daya Beli

Sejumlah data ekonomi memang mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat. Bagaimana sesungguhnya?

Indikator-indikator Pelemahan Daya Beli
Ilustrasi bisnis finansial. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Masalah daya beli hangat diperbincangkan dalam dua pekan ini. Satu semester pada tahun 2017 sudah berlalu. Data-data perekonomian makro seperti inflasi, nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi terlihat baik-baik saja.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis ekonomi Indonesia pada triwulan II 2017 tumbuh sebesar 5,01 persen (year-on-year). Capaian tersebut berada di bawah ekspektasi sebesar 5,1 persen, sekaligus lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016 yang tercatat sebesar 5,18 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi juga terjadi pada triwulan II 2017 terhadap triwulan I 2017 (quarter-to-quarter), yakni sebesar 4 persen.

“Ini tentu mempertimbangkan perekonomian global yang masih belum jelas, serta penurunan harga komoditas,” ucap Ketua BPS Suhariyanto saat jumpa pers di kantornya pada Senin (7/8) siang.

Gambaran secara makro memang belum terlalu mengkhawatirkan karena meski melemah, tetapi masih dalam kisaran yang diperkirakan pemerintah. Akan tetapi, pada tataran yang lebih kecil, konsumsi masyarakat tampaknya belum terlihat membaik. Banyak yang mengatakan bahwa perekonomian sedang tidak normal alias anomali. Perlambatan konsumsi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi karena hampir separuh dari penggerak laju ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi domestik.

Ekonom Bank Danamon Dian Ayu mencermati, hingga masa perayaan Lebaran, konsumsi masyarakat masih terbatas. Padahal secara historis, konsumsi cenderung meningkat di periode puasa dan Lebaran. Sisi positifnya, tekanan inflasi menjadi tidak terlalu tinggi (rata-rata selama periode Lebaran 0,54% antarbulan dibandingkan dengan tahun lalu yang berada pada kisaran 0,68% antarbulan.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, penjualan ritel domestik untuk seluruh format selama periode Lebaran lalu hanya naik sebesar 5%-6% dibandingkan bulan biasa. Padahal kenaikan pada tahun lalu dapat mencapai 16,3% pada Lebaran. Sehingga, kontribusi pendapatan dari periode Lebaran cuma 20% sampai 30% saja dari total omzet ritel domestik.

Indikator konsumsi lainnya pun belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Data pertumbuhan konsumsi listrik (dalam KwH) selama semester I hanya menunjukkan kenaikan sebesar 1,4% yoy dibandingkan periode sebelumnya yang mencatat kenaikan sebesar 7,8%yoy. Pertumbuhan kredit di bulan Mei juga melambat dari level 9,5%yoy ke level 8,7%yoy yang menunjukkan perbankan masih dalam fase konsolidasi.

Dari sisi penjualan, belum terlihat kenaikan penjualan barang berjangka panjang. Penjualan motor, yang menjadi indikator daya beli masyarakat menengah ke bawah, masih sepi. Hingga semester pertama berakhir, penjualan sepeda motor hanya tercatat sebesar 2,7 juta unit saja. Angka ini turun 7% jika dibandingkan dengan tahun lalu yang sebanyak 2,9 juta unit. Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Sigit Kumala mengatakan, tren penurunan penjualan sepeda motor ini sudah terjadi sejak tiga tahun lalu.

Pada musim Lebaran yang biasanya menjadi momentum untuk mengangkat penjualan sepeda motor, hanya ada penjualan sebanyak 379.467 unit saja. Angka Juni ini turun 28% dibandingkan dengan Mei sebelumnya yang sebanyak 531.496 unit. Penjualan yang lesu ini membuat AISI merevisi target penjualan dari 5,9 juta menjadi 5,75 juta untuk tahun ini.

infografik turunnya konsumsi masyarakat

Refleksi Kinerja Emiten

Naik turunnya daya beli masyarakat sedikit terefleksi dari kinerja emiten di pasar modal. Meski belanja masyarakat tidak sepenuhnya terefleksi, tetapi kinerja emiten ini memberikan sedikit gambaran tentang pola konsumen.

Segmen konsumen yang dilayani oleh emiten ritel harus dibedakan. Beberapa emiten ritel yang menyasar kelas menengah, masih dapat membukukan laba. Beberapa emiten yang pangsa pasarnya kelas menengah bawah lebih terpukul.

Misalnya kinerja pada peritel yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari. Laba PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) yang mengelola peritel Alfamart dan Alfamidi merosot 16,38 persen menjadi Rp75,56 miliar pada semester I 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp90,37 miliar. Sementara pendapatannya menguat 13,57 persen menjadi Rp30,51 triliun.

Serupa, peritel pengelola minimarket Indomaret, PT lndoritel Makmur Internasional Tbk (DNET), juga merugi besar. Sepanjang paruh pertama 2017, DNET hanya mampu membukukan laba bersih sebesar Rp30,5 miliar. Periode sama tahun lalu, DNET masih mampu membukukan laba bersih Rp105,5 miliar, jadi ada penurunan laba sebesar 71%. Padahal pendapatan naik 145,2%, tetapi beban penjualan naik dari Rp4,58 miliar menjadi Rp17,8 miliar.

PT Supra Boga Lestari Tbk (SUPR), emiten ritel yang mengelola Ranch Market, supermarket premium yang menyasar kelas menengah atas, mencatatkan penyusutan laba sebesar 29,14% dari Rp 26,17 miliar pada semester I 2016 menjadi Rp 18,54 miliar pada semester I 2017 ini. Pendapatan bersih perseroan naik 5,51 persen menjadi Rp 1,09 triliun sepanjang semester I 2017.

Sementara PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), pengelola gerai Hypermart ini juga mengalami penurunan pendapatan dan laba. Pendapatannya turun 2,99% dari Rp 6,92 triliun menjadi Rp 6,71 triliun. MPPA mengalami penurunan tajam di bottom line 782,32% dari laba Rp 24,89 miliar menjadi rugi Rp 169,83 miliar.

Nasib berbeda dialami peritel lain, PT Hero Supermarket Tbk (HERO) yang mengelola hypermart Giant, supermarket Hero dan IKEA, mencetak laba periode berjalan naik 258,64 persen menjadi Rp 71,38 miliar pada semester I 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 19,90 miliar. Sedangkan pendapatan bersih merosot 3,85 persen menjadi Rp 6,92 triliun pada semester I 2017.

Coba lihat peritel yang bergerak pada penjualan non-food. PT Mitra Adiperkasa Tbk yang memiliki gerai penjualan pakaian untuk kelas menengah atas masih berhasil mengerek pendapatan sebesar 15,79% dari Rp6,66 triliun menjadi Rp 7,71 triliun. Laba yang gendut itu berdampak pada kenaikan laba bersih secara signifikan, mencapai 278,01% dari sebelumnya Rp46,3 miliar menjadi Rp175,02 miliar.

Peritel untuk konsumen kelas bawah, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) juga mencetak kenaikan pendapatan dan laba. Semester I-2017, pendapatan RALS naik sebesar 7,49% dari Rp2,76 triliun menjadi Rp2,97 triliun. Laba bersih yang berhasil dikantongi sebesar Rp368,78 miliar, melonjak 45,15% dibandingkan periode sama sebelumnya yang hanya Rp254,06 miliar. RALS menerapkan strategi efisiensi dan cost control yang efektif.

Peritel pakaian kelas menengah PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), masih mampu mengantongi laba bersih sebesar Rp1,34 triliun. Angka itu naik 15,6% dibandingkan laba bersih di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,16 triliun.

Sementara itu, sebagian kinerja emiten konsumer menurun. Laba bersih PT Mayora Indah Tbk (MYOR) produsen makanan ringan turun 7,3% dibandingkan paruh pertama tahun lalu menjadi Rp547,8 miliar. Demikian pula dengan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), labanya turun 7,6% menjadi Rp244,9 miliar. Produsen mi instan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) hanya naik tipis 1,6%. Dalam laman perusahaan, CEO ICBP Anthony Salim mengakui, penurunan daya beli dan persaingan menjadi kendala pada paruh pertama tahun ini.

BI Optimistis

Sementara itu, Bank Indonesia optimistis tingkat konsumsi akan membaik pada kuartal ke III nanti. BI mengakui bahwa tingkat konsumsi kuartal II ini memang lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dodi Budi Waluyo menjelaskan, pada paruh pertama 2017 ini, bank sentral menilai proses pemulihan ekonomi domestik terus berlanjut, tetapi tidak sekuat perkiraan semula, karena perlambatan konsumsi meski di sisi lain terdapat peningkatan investasi. Konsumsi masyarakat kuartal II diperkirakan 4,0- 4,5%.

Dodi menjelaskan, ada beberapa hal yang menekan konsumsi masyarakat yatu pencabutan subsidi listrik, pembayaran gaji ke 13 untuk pegawai negeri sipil yang terlambat dari Juni ke Juli. Indikator konsumsi lain adalah angka penjualan ritel yang hanya tumbuh 6,7 % dan pada Juni 2017 lalu mengalami penurunan dari 8,0% pada periode yang sama pada tahun lalu.

Inflasi pada paruh pertama tahun ini tercatat sebesar 2,38%. Jika ditelusuri lagi, terlihat bahwa inflasi akibat harga-harga yang diatur oleh pemerintah (administered inflation) naik paling tinggi. Sejak awal tahun hingga akhir Juni lalu, administered inflation naik 7,8%, paling tinggi di antara pembentuk inflasi lainnya. Hal yang termasuk administered inflation antara lain adalah harga listrik, harga bahan bakar dan harga gas. Inflasi kedua tertinggi adalah rumah, sebesar 4,24% dan transportasi serta komunikasi sebesar 4,2%.

“Ketika harga-harga yang ditetapkan pemerintah naik, orang cenderung akan mengurangi pemakaiannya, atau memangkas pos pengeluaran lain. Sehingga, bisa jadi masyarakat jadi menunda pembelian baju,” ujar Director Investor Relation and Chief Economist Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat.

Pendapatan masyakat pun menurun akibat harga produk komoditas seperti minyak yang sedang cenderung turun. Penurunan harga komoditas merembet pada penurunan harga komoditas lainnya seperti minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) dan karet. Nilai tukar petani pun tidak kunjung naik.

Pendapatan masyarakat menengah ke bawah belum bertambah dan tergerus oleh inflasi sehingga mungkin mengurangi belanjanya. Sementara untuk kalangan menengah atas yang berpendapatan lebih stabil, ternyata lebih senang menyimpan uangnya di bank. Terlihat dari kenaikan dana simpanan di (dana pihak ketiga) perbankan nasional yang naik 11%. Kenaikan simpanan ini banyak terjadi pada deposito yang berjumlah Rp 1-2 miliar. Pada Juni 2016, pertumbuhan DPK hanya sebesar 5% saja. Pertambahan DPK tersebut juga lebih tinggi dari laju pertumbuhan kredit yang hanya mencapai 7,6% saja.

Jadi tampaknya kelas menengah menahan untuk tidak berbelanja, sementara kelas bawah memang mengalami tekanan sehingga harus mengurangi anggaran belanjanya.

Budi Hikmat berpendapat, pemerintah bukannya tidak paham soal hal ini. Karena dalam RAPBN sudah ada tambahan subsidi energi dan ada komitmen untuk tidak menaikkan harga energi hingga akhir tahun. Harga minyak yang sedang rendah membuat harga energi tidak naik pesat.

Walaupun sedang ada penundaan konsumsi dan penurunan daya beli, banyak pihak optimistis perekonomian akan kembali menanjak pada paruh kedua tahun ini.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Yan Chandra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Yan Chandra
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti