tirto.id - Konsumsi merupakan salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain ekspor. Dalam beberapa waktu terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak mencapai angka yang menggembirakan, di kisaran 5 persen. Ini tentu saja jauh dibandingkan target pemerintah di angka 7 persen.
Selain masalah perekonomian global yang kini sedang dalam taraf pemulihan, Indonesia juga disebut sedang mengalami pelemahan daya beli yang berakibat pada lesunya konsumsi.
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menyatakan daya beli masyarakat sejatinya tidak melemah, tetapi mengalami perpindahan dari ekonomi konvensional menjadi online. Benarkah daya beli masyarakat melemah?
Untuk melihat daya beli masyarakat, salah satu variabel yang dapat digunakan adalah inflasi. Pada Januari 2017, laju inflasi bulanan Indonesia sebesar 0,97 persen, meningkat dari Desember 2016 yang tercatat sebesar 0,42 persen. Laju inflasi terus mengalami penurunan hingga Maret 2017 yang tercatat sebesar -0,02 persen.
Setelah Maret, laju inflasi mulai mengalami peningkatan, hingga menjadi 0,69 persen. Peningkatan laju inflasi periode Maret-Juni 2017 ini salah satunya disebabkan oleh peningkatan permintaan menjelang dan selama bulan puasa. Namun, bila dilihat laju inflasi periode Januari-Juni 2017 memang ada tren penurunan. Artinya, permintaan domestik melemah atau daya beli masyarakat menurun. Selain inflasi, daya beli pun dapat dilihat dari laju pertumbuhan PDB menurut jenis pengeluaran.
Sejalan dengan inflasi yang bisa menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat, indikator lain pun bisa memperlihatkan daya beli yang melemah. Pada Q3-2016, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 3,45 persen terhadap triwulan sebelumnya. Sedangkan, pada Q1-2017, laju pertumbuhannya hanya 0,14 persen dibandingkan Q4-2016.
Selain laju pengeluaran konsumsi rumah tangga, konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) juga menunjukkan penurunan. Pada Q4-2016, laju pertumbuhannya sebesar 2,83 persen terhadap Q3-2016, dan melemah menjadi -1,71 persen pada Q1-2017. Bahkan, laju pertumbuhan konsumsi Pemerintah menunjukkan penurunan signifikan pada Q1-2017, yaitu sebesar -45,45 persen terhadap Q4-2016.
Pelemahan daya beli ini disebabkan oleh kontraksi pada sektor pertambangan dan penggalian, listrik dan gas, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor serta transportasi dan pergudangan. Pada Q1-2017, sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan negatif sebesar -0,78 persen terhadap Q4-2016. Sektor perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor pun memperlihatkan laju negatif pertumbuhannya sebesar -0,24 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Konstruksi memperlihatkan kontraksi laju pertumbuhan terbesar dibandingkan sektor lainnya pada Q1-2017, yaitu -4,43 persen dibandingkan Q4-2016. Pengadaan listrik dan air pun memperlihatkan laju pertumbuhan negatif sebesar 3,45 persen. Imbas pertumbuhan negatif pada beberapa sektor ini mempengaruhi produktivitas industri, sehingga kenaikan upah pun terganggu dan akhirnya mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Pelemahan laju pertumbuhan beberapa sektor usaha terlihat mempengaruhi daya beli masyarakat yang secara umum menjadi melemah. Bahkan, periode puasa dan lebaran yang cenderung memperlihatkan lonjakan permintaan pun tetap tidak meningkatkan daya beli secara signifikan. Demikian pula konsumsi Pemerintah pun belum dapat meningkatkan daya beli.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra