tirto.id - Bagi para pendukung Prabowo, pidato kebangsaan bertajuk "Indonesia Menang" pada Senin malam, 14 Januari kemarin, dianggap mengagumkan. Agitasi Prabowo secara berapi-api disambut ribuan pendukungnya yang memenuhi Plennary Hall Jakarta Convention Center.
Ia dipuji karena mampu berpidato secara runut dan sistematis. Apalagi ia terlihat tak pernah menundukkan kepala untuk mengintip teks di mimbar. Sambil berpidato, pandangannya tertuju khalayak. Sebagian orang menganggap Prabowo kelewat cerdas sebab mampu menghafal pidato berdurasi panjang.
Kenyataannya tentu saja tidak. Prabowo dibantu telepromter, yang memandunya berpidato sesuai naskah.
Penggunaan telepromter oleh Prabowo memantik kritik dari kubu lawan. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan anggota DPR-RI Budiman Sudjatmiko mengkritik penggunaan telepromter. Ini jadi serangan balik kepada mereka, sebab kubu Prabowo-Sandiaga memang sering mengolok presiden Jokowi yang selalu berpidato menggunakan teks.
Andre Rosiade, juru bicara timses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menyebut Prabowo memang menggunakan telepromter untuk membatasi waktu berpidato agar tak terlalu panjang. Namun karena banyak berimprovisasi, katanya, membuat acara jadi molor dari semula direncanakan 40 menit menjadi 1 jam 23 menit 5 detik.
Penggunaan telepromter oleh Prabowo bukan aib. Lagi pula benar apa yang dikatakan Rosiade, Prabowo terlalu banyak berimprovisasi.
Beberapa menit sebelum pidato, tim sukses Prabowo-Sandiaga sempat membagikan salinan naskah pidato berjudul "Indonesia Menang" kepada wartawan. Naskah inilah yang dibacakan Prabowo lewat telepromter.
Dengan membandingkan naskah asli dan transkrip pidato, kita bisa mengetahui perkataan apa yang jadi bagian dari improvisasi Prabowo saat berpidato.
Dari catatan transkrip pidato sepanjang 1 jam 23 menit, Prabowo terhitung berucap 5.078 kata dengan 1.378 diksi berbeda. Jika merujuk naskah pidato, isinya 3.362 kata dengan 1.064 diksi berbeda.
Penyelarasan yang dilakukan Prabowo tak hanya menambah kata atau kalimat. Seringkali ia memangkas atau menghilangkan kata atau kalimat yang mestinya ia bacakan.
Diksi Persekusi terhadap 'insan pers' Tak Disebut Prabowo
Saat menerangkan visi-misi pada poin ketiga terkait keadilan hukum dan demokrasi, ada satu frasa yang ia sembunyikan dan tidak disampaikan. Ia memulai pengenalan visi-misi ketiga dengan kalimat ini:
"Untuk menjamin demokrasi, kami akan menjamin semua hak-hak yang dijamin dalam Undang-undang dasar, terutama kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat, serta kebebasan pers!"
Lalu ia meneruskan, jika nanti terpilih sebagai presiden, ia menjanjikan satu hal kepada para pengkritiknya kelak:
"Kami akan hentikan ancaman persekusi terhadap individu, organisasi yang bisa saja berseberangan pendapat dengan pemerintah."
Sekilas tak ada yang janggal. Tapi, jika merujuk naskah asli, ada satu kalimat yang dihilangkan Prabowo: "insan pers".
Kalimat itu mestinya berbunyi berikut. "Kami akan hentikan ancaman persekusi terhadap individu, organisasi dan insan pers yang bisa saja berseberangan pendapat dengan pemerintah."
Dalam video, terlihat ada jeda sekitar dua detik saat Prabowo singgah pada diksi "organisasi", lalu langsung meloncat ke kalimat "yang bisa berseberangan dengan pemerintah". Raut wajahnya seakan kebingungan.
Lalu, ia berimprovisasi dengan menambahkan satu hal yang tidak ada dalam naskah pidato.
"Kami akan menerima kritik sebagai upaya mengendalikan diri agar kita tidak salah jalan. Bagi kami, kritik justru mengamankan pemerintah Republik Indonesia. Karena bagi kami, pemerintah RI harus melayani kepentingan rakyat, tidak boleh mengakali rakyatnya sendiri."
Mengurangi Diksi-Diksi Militer
Sebagai mantan perwira militer, Prabowo biasanya mencatut istilah atau idiom militer pada setiap pidato. Pada pidato kebangsaan, ia mencoba mengurangi pengaruh itu.
Setelah mengutip Hukum Thucydides, "The strong will do what they can, the weak suffer what they must," Prabowo mestinya melanjutkan:
"Jadi, kalau dalam bahasa Indonesia, yang kuat akan berbuat apa yang dia mampu buat, yang lemah akan menderita apa yang dia harus menderita. Ini pelajaran diajarkan di semua lembaga kajian strategis, di semua sekolah militer seluruh dunia."
Tapi, improvisasi Prabowo, dengan intonasi menggebu-gebu, hanya mengatakan begini: "Ini pelajaran yang diajarkan di semua lembaga kajian strategis, di seluruh dunia."
Pada penutupan pidato, Prabowo hendak memberikan nasihat kepada junior-juniornya di institusi polisi dan TNI. "Saya bicara di sini, memberikan imbauan dan saran sebagai kakakmu. Sebagai seniormu. Marilah kita ingat sumpah kita adalah untuk membela seluruh rakyat Indonesia."
Dalam teks, harusnya Prabowo menyebut ikrar seorang prajurit TNI. "Ingatlah 8 wajib TNI. Kita harus bersikap ramah pada rakyat. Kita harus sopan kepada rakyat. Kita tidak boleh sekalipun merugikan dan menyakiti rakyat."
Namun, imbauan itu dibelokkan oleh Prabowo dengan mengarahkan ke instansi kepolisian:
"Kita harus bekerja untuk seluruh rakyat, rakyat kita mendambakan polisi sebagai bhayangkara seluruh rakyat Indonesia. Rakyat kita mendambakan polisi yang hebat, polisi yang unggul, polisi yang begitu terampil, semua segan, semua hormat bukan semua takut. "
Improvisasi agar Dinilai Tak Memihak, Menonjolkan Kesan Nasionalis
Dianggap mesra dengan kelompok kanan membuat Prabowo berhati-hati dalam berucap. Dalam improvisasi, Prabowo seringkali memilih diksi berbeda atau menambahi konteks agar terlihat sebagai pemimpin bagi semua kalangan.
Saat menyebut nama para pendiri bangsa, misalnya. Dalam teks tertera pahlawan yang akan disanjung adalah Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Jenderal Sudirman, K.H. Hasyim Ashari, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Agus Salim, dan Bung Tomo.
Namun, saat berpidato, Prabowo menambahkan beberapa nama pahlawan dengan latar belakang agama yang beragam--menampilkan diri sebagai nasionalis: K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), I Gusti Ngurah Rai (Hindu), serta Daan Mogot dan Robert Wolter Monginsidi (Kristen).
Begitupun saat ia berjanji kepada kelompok kanan soal apa yang dianggap "kriminalisasi ulama".
Dalam teks, hanya tertulis kalimat pendek: "Kami akan pastikan ulama-ulama kita dihormati, dan bebas dari kriminalisasi."
Prabowo menambahkan menjadi: "Kami akan pastikan bahwa semua pemuka agama dari semua agama terutama ulama-ulama kita dihormati, dan bebas dari ancaman persekusi dan kriminalisasi."
Begitu pula saat menyoroti bantuan ke madrasah dan pesantren. Pada naskah asli mestinya ia membacakan janji ini: "Selain penguatan lembaganya, kami akan tingkatkan kesejahteraan guru dan tenaga pendidik, termasuk guru honorer, termasuk guru-guru di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah."
Namun, Prabowo tak melakukannya. Ia memilih berhenti pada kalimat sebelumnya yang hanya menjanjikan perbaikan kualitas pesantren dan madrasah.
Secara cekatan, ia menambahi penggalan kalimat tambahan: "Dan tidak hanya untuk golongan Islam, untuk semua agama akan kita bantu."
Usai mengatakan ini, Prabowo kembali coba mengemong kelompok kanan yang menurutnya sering mendapatkan stigma sebagai kaum radikal. Ia menyebut tak perlu takut dengan pekikan takbir.
"Jangan persoalkan Allahu Akbar. Itu bukan mengancam siapa-siapa. Itu kalimat untuk memuliakan Tuhan yang kita cintai, Tuhan maha besar. Di semua agama juga ada begitu. Saudara yang Nasrani silakan Halleluya. Saya tidak tahu di Hindu atau Buddha. Jadi saudara-saudara, bangsa kita kalau religius itu tidak berarti ekstrem atau fanatik."
Improvisasi Prabowo menempatkan diri di tengah tak semata dalam urusan agama, dalam ekonomi pun sama.
"Kita harus menghentikan mengalirnya uang bangsa Indonesia ke luar negeri, kita harus bekerja supaya uang itu mengalir di Republik Indonesia."
Bagaimanapun, pernyataan itu menyindir kebanyakan pengusaha yang memarkir uangnya di luar negeri; motifnya beragam, di antaranya untuk menghindari pajak.
Pesan ini kembali diulangi Prabowo beberapa menit kemudian.
"Kami akan berjuang menghentikan kebocoran uang ke luar negeri, dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia."
Merujuk teks pidato, kalimat di atas mestinya berhenti di situ. Namun, Prabowo diam sejenak. Mungkin ia menilai pernyataan itu terlalu keras dan kaku. Lalu ia melakukan improvisasi lanjutan.
Ia berkata: "Kita ingin pengusaha juga berhasil. Kami akan jaga iklim usaha untuk pengusaha kita. Tapi, para pengusaha kita harus kerja sama bekerja dan berjuang untuk para pekerja, petani, dan nelayan, orang yang ada di lapisan bawah."
Pada topik hubungan dagang internasional, Prabowo menghilangkan kalimat, "Bukan kacung bangsa lain!"--yang bisa dianggap kasar.
Ia memakai bahasa yang lebih lunak: "Kita akan terbuka pada bangsa lain, kita ingin belajar dari bangsa lain, kita ingin bersahabat dengan bangsa lain, kita ingin bermitra dengan bangsa lain, tapi kita tidak bisa lagi berada di piramida paling bawah!"
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam