Menuju konten utama

Ide Hunian Vertikal Warga Sipil di Tengah Polemik Rumah Subsidi

Berbeda dari rusun biasa, konsep rumah flat ini adalah mengumpulkan calon penghuni dulu, baru nanti akan dibangun bersama dengan skema koperasi.

Ide Hunian Vertikal Warga Sipil di Tengah Polemik Rumah Subsidi
Warga berjalan keluar bangunan di Rumah Susun (Rusun) Sentra Mulya Jaya, Jakarta, Jumat (26/1/2024).ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.

tirto.id - Di tengah kesulitan anak muda memiliki rumah, Tama (39) berencana menempati rumah flat, yang masih dalam proses perencanaan pembangunan. Konsep rumah flat yang akan dia tinggali ini dinilai menjanjikan sebuah hunian yang terjangkau.

Rumah flat ini ibarat rumah susun (rusun), alias terdiri atas sejumlah orang yang tinggal di satu gedung yang sama. Patungan dana yang diperoleh dari setiap penghuni kemudian jadi modal untuk pengembangan dan perawatannya.

“Jadi pada dasarnya kita ngumpulin orangnya dulu, kita ngumpulin uangnya dulu, baru kita bangun bersama sesuai dengan konsep koperasi. Jadi ada kepemilikan bersama, bangunan itu sendiri, hunian itu sendiri,” kisah Tama di ujung telepon pada Tirto, Senin (16/6/2025).

Berbeda dari rusun atau rumah-rumah pada umumnya yang sudah jadi baru ditinggali, konsep rumah flat ini justru mengumpulkan calon penghuni terlebih dahulu, baru nanti akan dibangun bersama dengan skema koperasi.

“Jadi orang-orang yang minat pun sudah tahu keadaan sekitarnya, seperti apa site-nya. Seperti apa orang-orang lain yang akan jadi tetangganya juga gitu. Jadi saling kenal sebelum kita tinggal di satu gedung gitu,” lanjut laki-laki yang bekerja di industri media tersebut.

Dengan begitu, rumah flat ini tidak akan dibangun berdasarkan harga yang dijual oleh developer, melainkan sesuai dengan standar pembangunan atau konstruksi. Menyoal renovasi atau hal lainnya di masa mendatang, kata Tama, semua akan dilalui lewat proses musyawarah.

Rumah flat yang dimaksud Tama adalah rumah multi-family housing yang digagas oleh Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Konsep ini berfokus pada bangunan dengan empat lantai, yang bertujuan untuk mendorong transisi penggunaan ruang secara vertikal, menambah stok hunian, dan mengurangi urban sprawl (ekspansi kota yang tidak terkendali).

Menurut RCUS, pilihan itu didasarkan pada berbagai pertimbangan, termasuk efisiensi penggunaan lahan, pengurangan biaya konstruksi, dan kemudahan implementasi di lingkungan dengan infrastruktur yang terbatas, seperti di Jakarta.

“Latar belakang (dibangun)-nya adalah karena harga rumah dan tanah makin naik, makin tidak terjangkau oleh mayoritas warga. Jadi ini bukan lagi masalah hanya kaum miskin atau masalah kampung kumuh tapi ini masalah sebagian besar rakyat Indonesia tidak mampu membeli rumah yang layak,” terang Pendiri dan Penasihat Senior RCUS, Marco Kusumawijaya, saat dihubungi jurnalis Tirto, Senin (16/6/2025).

Rusun ASN di IKN

Pekerja menyelesaikan tahap akhir bagian Rusun ASN di IKN, Penajam Paser Utara, Kalimatan Timur, Selasa (30/7/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Standar “layak” yang disinggung Marco merujuk pada kriteria Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana salah satu syarat pentingnya yaitu kelayakan lokasi. Sebab, pengertian kehidupan perkotaan yang layak itu artinya terhubung dengan fasilitas sosial, ekonomi, dan budaya perkotaan, sehingga bukan hanya asal tempat tertentu.

“Nah harga (rumah) sekarang itu sudah makin tidak terjangkau. Ada data-data keterjangkauan kan. Mengapa ya? Sebetulnya biasa terjadi di negara berkembang dimanapun, seperti juga negara-negara maju dulu mengalaminya. Karena perbedaan antara kebutuhan atau demand, dengan suplai itu besar sekali, sehingga orang cenderung menjadikan rumah itu sebagai bahan spekulasi, sebagai bahan investasi kan. Nah, pola-pola pemerintah sekarang itu memperkuat itu jadi makin tidak terjangkau karena trennya diteruskan gitu,” lanjut Marco.

Oleh karenanya rumah flat menawarkan skema koperasi, di mana menurut International Cooperative Alliance (ICA) tahun 1995, koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis.

“Kita bisa mencapai beban kepada anggota koperasi itu cuma separuh dari harga rata-rata di pasar bebas. Kan udah ada risetnya, harga meter persegi rata-rata di pasar bebas rumah di Jakarta itu sekitar 14,9, hampir 15 juta. Kita menghitung, kita akhirnya mencapai cuma 8 juta. Ya sederhana, karena kita kan tidak menambahkan margin keuntungan,” terang Marco.

Maka, sistem koperasi dalam hal rumah flat ini yakni setiap orang menyetor simpanan wajib masing-masing sebesar luas lantai yang akan dia tinggali. Prinsipnya, uang yang dikeluarkan merupakan biaya pembangunan dan sewa tanah, tanpa ada biaya keuntungan.

Rumah flat ala RCUS kini sudah dibangun di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dan akan didirikan baru di daerah Matraman, Jakarta Timur dan Pengadegan, Jakarta Selatan.

Hunian Vertikal Opsi Solusi?

Sulitnya masyarakat dalam memiliki rumah bukanlah ilusi semata. Meski proporsi rumah tangga dengan status kepemilikan “rumah milik” di Indonesia cenderung naik dalam 5 tahun terakhir, kepemilikan ini bisa dibilang tidak merata.

Di Provinsi DKI Jakarta misalnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik hanya berkisar 54,44 persen, terendah dibanding wilayah-wilayah lainnya. Bagi mereka yang tak mampu, atau tak terpikir membeli rumah, menyewa akhirnya menjadi jalan ninja.

Lain lagi, survei Jakpat tahun 2023 menunjukkan, sejumlah 30 persen Gen Z diketahui tak berandai-andai punya properti, dengan alasan mayoritas merasa finansialnya tidak stabil. Hasil jajak pendapat itu juga menyingkap kalau 3 dari 5 Gen Z memilih untuk sewa properti lantaran beberapa alasan.

Selain faktor uang yang dirasa belum cukup, menyewa juga dianggap lebih murah dan cenderung terletak di lokasi yang strategis. Bahkan ada sekitar 11 persen responden Gen Z yang mengatakan bahwa aturan rotasi di tempat kerjanya juga jadi pertimbangan mengapa opsi menyewa lebih baik.

Pengamat Tata Kota, M Azis Muslim, menyebut apa yang dilakukan oleh RCUS sebagai bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk menyediakan hunian layak yang memadai.

Hal itu disebut Azis mesti diberikan apresiasi, di tengah pemerintah yang belum menuntaskan atau menyelesaikan hak-hak perumahan atau penyediaan rumah sehat bagi warga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Penambahan kuota KPR FLPP rumah subsidi

Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (15/5/2025). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/Spt.

“Pemerintah itu semestinya menyediakan hunian yang layak bagi masyarakatnya, tapi ketika memang ini diinisiasi oleh masyarakat sipil, tentu ini menjadi sebuah apresiasi khusus atas concern-nya mereka kepada masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat,” kata Azis kepada Tirto, Senin (16/5/2025).

Pemerintah sebenarnya tengah berupaya mengatasi backlog perumahan dengan menghadirkan rumah subsidi bagi MBR. Namun begitu, hal ini tak terbebas dari masalah, utamanya perihal luas bangunan yang kian sempit.

Pemerintah mengusulkan agar rumah subsidi dapat dibangun dengan luas bangunan mulai dari 18 meter persegi hingga maksimal 36 meter persegi. Sementara untuk luas tanah, rentang yang ditetapkan berada antara 25 hingga 200 meter persegi.

Padahal, dalam aturan sebelumnya, yang tertuang dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, menetapkan luas tanah rumah tapak minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi, dengan luas bangunan berkisar antara 21 hingga 36 meter persegi.

Alasan bangunan dan lahan yang dipersempit ini disebut pemerintah karena harga lahan saat ini semakin mahal. Di saat bersamaan luas lahan rumah subsidi yang tidak terlalu luas dikatakan sangat sesuai dengan kebutuhan dan lahan yang semakin terbatas.

Rumah Subsidi Pemerintah

Mock Up Rumah Subsidi Pemerintah di Lobby Nobu Bank, Lippo Mall Nusantara, Semanggi, Jakarta, Senin (16/6/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Namun begitu, Chief Executive Officer (CEO) Indonesian Property Watch (IPW), Ali Tranghanda berpendapat, pemikiran untuk membuat rumah landed tipe kecil di perkotaan, merupakan cara pikir yang salah. Jika memang karena keterbatasan lahan, katanya, maka perlu dikembangkan dalam bentuk vertikal.

“Pasarnya untuk rusun urban ini juga targetnya untuk kaum pekerja, untuk tipe terkecil menurut saya 18 m2. Untuk pasar keluarga seharusnya dengan ukuran yang lebih besar. Bila targetnya keluarga dengan luas 14 m2 terlalu kecil dan akan tidak nyaman juga tidak sehat,” terang Ali saat dihubungi Tirto, Senin (16/5/2025).

Saat ini ada Undang-Undang (UU) Hunian Berimbang yang bisa digunakan sebagai pendoman untuk mengembangan bersama antara pemerintah dengan pengembang, tetapi dikatakan Ali belum berjalan sepenuhnya.

Hunian berimbang adalah konsep hukum dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Hunian Layak Menciptakan Kualitas Hidup yang Baik

Pemerintah memang punya tugas utama untuk menyediakan kebutuhan mendasar, seperti hunian, bagi masyarakatnya. Tak cuman “asalkan ada”, tapi tempat tinggal yang disediakan juga mesti layak.

Selain mempersiapkan konsep perencanaan pengembangan kota masa depan yang juga berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah, menurut Azis, hal lain yang juga harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana bisa mengalokasikan anggaran untuk menyediakan pembangunan hunian yang layak.

“Terus juga pada sisi yang lain, tadi menghadirkan adanya partisipasi warga, masyarakat, terutama sektor usaha untuk bisa juga memberikan kesempatan CSR-nya untuk bisa memenuhi kebutuhan komunitas masyarakat kota,” kata Azis.

Di sisi lain, senada dengan pernyataan Marco, urgen pula untuk meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas warga melalui perencanaan tata kota yang baik. Dalam pasal 28 (h) ayat 1 UUD 1945 bahkan sudah disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.

“Ini artinya kan, sebagai hal yang sangat mendasar, saya rasa. Karena kalau memang itu bisa ditempuh, bisa dicapai, harapannya apa? Diperolehnya kualitas hidup dan kesehatan warga kota yang lebih baik dengan penyediaan fasilitas pemukiman yang memadai, paling tidak secara minimal. Nah, inilah yang memang seharusnya inisiatif yang diambil oleh pemerintah,” tutup Azis.

Baca juga artikel terkait HUNIAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty