tirto.id - Kyoto terancam tenggelam ke dalam masalah keuangan. Jika ini benar-benar terjadi, maka ibu kota kuno sebelum Tokyo ini akan menjadi kota kedua di Jepang yang mengalami kebangkrutan setelah Yubari. Kota madya yang jauh lebih kecil tersebut dinyatakan bangkrut pada 2007.
Banyak pihak menuding masalah Kyoto adalah imbas dari melemahnya industri pariwisata karena pandemi Covid-19. Namun apa yang terjadi sesungguhnya lebih kompleks dari itu. Ia adalah akumulasi dari buruknya manajemen fiskal sejak lama dan keengganan pemerintah kota untuk mengefisienkan anggaran.
Disfungsi fiskal Kyoto dapat dilihat di Jembatan Sanjo. Objek yang kerap direkomendasikan situs-situs web agar didatangi para pelancong ini awalnya dibangun di seberang Sungai Kamo atas perintah samurai dan penguasa feodal Hideyoshi Toyotomi pada 1590. Jembatan ini ditelantarkan tanpa ada perbaikan apa pun selama hampir 50 tahun hingga rel kayunya tertutup lumut, membusuk, dan menampakkan beberapa retakan.
Otoritas setempat telah meminta sumbangan untuk memperbaiki jembatan sejak 2018. Sejak saat itu mereka telah menerima lebih dari 100 juta yen (setara Rp11,8 miliar), namun uang sebanyak itu belum juga cukup.
“Situasi keuangan sangat buruk,” kata seorang pejabat kota Kyoto kepada Takehiro Masutomo, kontributor Tirto di Jepang. Ia menambahkan, “Kami telah mendiskusikan secara internal apa yang harus dilakukan.”
Pakar keuangan publik dan profesor dari Universitas Chukyo Yurie Saito menilai apa yang terjadi di Kyoto adalah hasil dari masalah yang terus menumpuk dan tidak diselesaikan meski kesempatannya sempat terbuka. Sebagai anggota Komite Pengawas Keuangan Publik Berkelanjutan Kota Kyoto, ia mengamati bahwa saat daerah Jepang lain yang berukuran serupa telah berhasil keluar dari kesulitan yang sama, tingkat utang kota ini tetap tinggi.
“Ada beberapa peluang untuk meninjau dan mereformasi langkah-langkah fiskal sebelumnya, tetapi mereka tidak melangkah cukup jauh,” katanya.
Salah satu pejabat di biro fiskal Kyoto mengaku kepada Tirto bahwa “situasi keuangan kota yang sulit terutama disebabkan oleh struktur fiskal yang ada.”
Salah satu pihak yang menyatakan bahwa masalah Kyoto muncul karena pandemi tidak lain adalah Wali Kota Daisaku Kadokawa—yang berkuasa sejak 2008. “Kondisi perekonomian yang awalnya baik jadi terpukul keras,” katanya saat konferensi pers darurat pada akhir 2020, ketika seluruh dunia tengah menghadapi salah satu puncak pandemi Covid-19.
Namun, sebelum jumpa pers tersebut, sebenarnya pemerintah Kyoto telah memperkirakan kotanya bisa bangkrut pada 2028.
Saat dihubungi oleh Tirto, Wali Kota Kadokawa membantah spekulasi bahwa dia sedang menutup-nutupi masalah keuangan Kyoto sampai pensiun. “Tidak ada fakta seperti itu,” tegasnya. Namun demikian ia juga tidak menjelaskan secara gamblang bagaimana akan bertanggung jawab untuk menyelesaikan situasi tersebut.
Lemahnya Basis Pajak dan Berkurangnya Dana Transfer
Tak dapat dimungkiri bahwa dampak pandemi memang terlihat dengan jelas di Kyoto. Kota ini menyambut jutaan pengunjung asing per tahun setelah ada pelonggaran aturan visa pariwisata yang diperkenalkan satu dekade lalu. Banyak dari pelaku perjalanan luar negeri ini berasal dari Tiongkok dan Asia Tenggara. Kini, pelancong internasional yang membawa koper raksasa tidak ada sama sekali.
Namun, secara statistik, ledakan pariwisata hanya sedikit berkontribusi terhadap pemasukan kota. Sebagian besar penerimaan pajak mengalir ke pemerintah pusat. Sementara itu, meskipun Kyoto menerapkan pajak akomodasi lokal terluas dan tertinggi di Jepang, sebagian besar hasilnya langsung digunakan untuk promosi pariwisata alih-alih memberi pelayanan kepada warga setempat, memperbaiki prasarana kota, atau membayar utang.
Pengamat menilai peluang kebangkrutan Kyoto tipis jika pemerintah kota dapat terus meminjam dengan murah. Saat ini, spread alias selisih imbal hasil obligasi lokal 10 tahun di kota ini tidak jauh berbeda dengan kota lain, dengan peringkat kredit A+ dari Moody's, sama dengan obligasi pemerintah nasional Jepang.
Namun, selama satu dekade terakhir, Kyoto menebus defisit fiskal tahunannya dengan menarik uang tunai dari “dana penebusan obligasi” yang sedianya dimaksudkan untuk melunasi utang jangka panjang. Pada 2020, Kyoto menarik 11,9 miliar yen (Rp1,42 triliun) dari dana tersebut untuk menebus defisit 17,2 miliar yen (Rp2,03 triliun).
Shoei Murayama, yang lama menjabat sebagai anggota dewan kota sebelum mengikuti pemilihan wali kota 2020 melawan Kadokawa, mengatakan mantan lawannya itu lebih memilih menambah pembiayaan daripada memotong pengeluaran.
“Mereka berkata, 'kami akan membayar kembali uangnya begitu ekonomi membaik.' Sayangnya Pak Kadokawa terpilih sebagai wali kota saat Krisis Lehman, jadi dia tiba-tiba berhadapan dengan kesulitan keuangan. Dia tidak bisa membuat anggaran kecuali melakukan sesuatu yang istimewa. Tapi karena pada dasarnya kita memiliki budaya membelanjakan uang, kita akan tetap membutuhkan lebih banyak uang di tahun-tahun berikutnya, meskipun terjadi penurunan ekonomi dan pendapatan tahunan,” kata Murayama kepada Tirto.
Ketika masalah ini belum muncul, Kyoto terus memperluas jalur kereta bawah tanah dengan perkiraan penumpang yang terlalu optimistis, menggelontorkan dana jaminan sosial yang besar terutama untuk lansia, serta mempekerjakan pegawai yang jumlahnya lebih banyak dari rata-rata kota lain. Selain itu, pemerintah Kyoto juga menghamburkan anggaran untuk merenovasi balai kota pada musim gugur tahun lalu dengan membangun ruang minum teh baru, taman atap, dan lorong bawah tanah.
Generasi pemimpin kota saat ini juga mewarisi banyak isu yang sudah berlangsung lama. Selama Perang Dunia II, Kyoto cukup beruntung karena lolos dari bom Amerika Serikat. Namun, hal ini justru menyebabkan tidak adanya pembangunan berskala besar pascaperang sehingga menciptakan basis pajak yang rapuh.
Selain itu, kota bersejarah dan penting dari kacamata budaya ini memiliki banyak universitas dan kuil yang tidak membayar pajak. Di sisi lain, gedung-gedung tinggi tidak dapat dibangun di beberapa bagian untuk mempertahankan cakrawala kota.
Akibatnya, Kyoto telah lama bergantung pada transfer fiskal dari pemerintah pusat, yang sialnya dipotong oleh Perdana Menteri Junichiro Koizumi pada awal 2000-an.
Penurunan Populasi dan Kebuntuan Politik
Apabila ditelisik lebih dalam, kesulitan keuangan Kyoto belakangan ini juga diperparah oleh faktor sosial dan politik.
Populasi Kyoto saat ini berjumlah 1,45 juta atau yang terpadat kedelapan di Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, populasi telah berkurang pada tingkat yang lebih cepat dari rata-rata nasional. Kecepatan penurunan populasi tersebut hanya dilampaui oleh Fukuoka dan Kawasaki pada 2011 dan 2015. Menurut Institut Studi Keamanan Sosial dan Kependudukan Nasional Jepang, populasi Kyoto diproyeksikan menurun 12,1 persen pada 2045, atau berkurang hingga 1,3 juta.
Penurunan populasi ini disebabkan karena banyaknya orang yang memilih keluar dari kota karena mahalnya biaya hidup terutama perumahan. Berdasarkan survei Prefektur Kyoto, harga dasar tanah di Sakyo, sebuah distrik pusat kota, meningkat lebih dari dua kali lipat dari 2011 hingga 2021, dari 705.076 yen (Rp83 juta) menjadi 1.502.769 yen (Rp177 juta) per meter persegi.
Sebuah laporan dari Komite Pengawas Keuangan Publik Berkelanjutan Kota Kyoto yang dirilis pada musim semi lalu juga menyebutkan bahwa “sejumlah besar anak muda” telah pindah ke Osaka dan kota-kota tetangga lain.
Sebelum pandemi, Kyoto juga membangun hotel mewah di pusat kota yang lagi-lagi menyebabkan harga real estat meningkat.
Selain “penurunan sosial” populasi, Kyoto yang tengah menua juga menderita “penurunan alami” terburuk di Jepang. Penurunan alami populasi tidak lain disebabkan oleh angka kelahiran yang rendah.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah persaingan politik di tingkat lokal. Kyoto adalah benteng utama Partai Komunis Jepang berkat banyaknya intelektual berpendidikan tinggi. Partai tersebut memegang kursi terbanyak kedua di dewan kota. Sementara partai berkuasa dan partai oposisi terbesar di Jepang, Partai Demokrat Liberal dan Partai Demokrat Konstitusional, telah membentuk koalisi dalam dewan untuk mendukung wali kota. Pertentangan antarpartai ini membuat pemotongan anggaran, salah satu solusi mencegah kebangkrutan, menjadi sulit dilakukan.
Shoei Murayama mengatakan pengaruh pribadi Wali Kota Kadokawa saat ini memainkan peran utama. “Jika Wali Kota mengatakan dia ingin melakukan sesuatu, [kota] harus mencari sumber pendanaannya. Bagian perbendaharaan tahu bahwa anggaran kota terbatas, jadi mereka harus menarik pembiayaan.”
Menjajal Berbagai Solusi
Otoritas Kyoto sedang mencoba memangkas pengeluaran dan sebisa mungkin meningkatkan pajak agar terhindar dari kebangkrutan.
Sebagai langkah pertama, pemerintah kota berencana untuk memotong beberapa subsidi, termasuk subsidi untuk toilet turis. Pihak berwenang juga berencana menaikkan tarif kereta bawah tanah meskipun sudah merupakan yang tertinggi di antara kota-kota besar lain di Jepang. Selanjutnya, Kyoto juga tengah bersiap menjual hingga 50 area lahan publik.
Pemerintah pun akan menaikkan biaya-biaya. Misalnya tiket masuk ke fasilitas umum termasuk kebun binatang lokal dan ongkos perawatan anak dan asuransi kesehatan.
Kyoto juga mempertimbangkan pajak baru untuk vila dan rumah kosong. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa kuil, yang menarik banyak turis untuk datang, juga harus dikenai pajak atas pendapatannya.
Bagi Yurie Saito, perlu ada konsolidasi fasilitas umum di penjuru negeri. Fasilitas-fasilitas yang memang sudah tidak dapat dirawat atau tidak memberikan banyak kontribusi terhadap perekonomian bisa dihilangkan saja untuk digantikan dengan yang lain. Selain itu, ia juga percaya sudah saatnya Jepang melakukan penggabungan daerah yang mungkin lebih efisien secara fiskal.
Apa yang dikatakan Saito bisa jadi memang solusi karena,
menurut salah satu pejabat keuangan Kyoto, setiap kota besar Jepang dapat mengalami nasib yang sama.
“Masalah telah muncul lebih awal dan jadi lebih mendesak di kota-kota seperti Kyoto, yang telah lama memiliki basis fiskal yang lemah, populasi yang menurun, dan masyarakat yang menua. Meskipun demikian, kami percaya bahwa cepat atau lambat kota-kota lain akan menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan fiskal yang sama, seperti bagaimana mengamankan peningkatan belanja jaminan sosial,” katanya.
Oleh karena itu, menurutnya, harus ada sistem fiskal baru yang mampu mengantisipasi masalah ini.
Penulis: Takehiro Masutomo
Editor: Rio Apinino