tirto.id - Orang Indonesia punya pepatah menarik: kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa. Meski Hugh Hefner bukan orang Indonesia, ia tentu akan manggut-manggut setuju.
Selepas bekerja sebagai copywriter di majalah Esquire, Hefner memutuskan membuat majalah sendiri. Tak mudah, karena ia hanya penulis muda dengan kantong cekak. Ia nekat meminjam uang ke bank dan mendapat pinjaman 600 dolar. Masih kurang, tentu saja. Dicarilah investor. Salah satu orang yang menyerahkan uang adalah ibunya.
"Bukan karena ia percaya prospek majalah yang kubuat, tapi karena ia percaya pada anaknya," ujar Hefner dalam wawancara dengan E! pada 2006.
Bermodal uang pinjaman itu, Hefner mendirikan majalah Playboy. Sejak awal, majalah ini fokus mengambil pasar pria dewasa. Logonya kelinci, hewan yang sudah lama jadi simbol seks dan kesuburan. Edisi pertama tak diberi tanggal penerbitan, karena Hefner tak yakin akan ada yang kedua. Tapi ia salah. Pria dewasa suka membacanya, juga remaja yang membaca sembunyi-sembunyi.
Playboy edisi pertama yang terbit pada Desember 1953 menampilkan foto telanjang Marilyn Monroe. Namun perempuan ikonik itu tak berpose eksklusif untuk Playboy. Hefner membeli foto tak terpakai itu dari kalender tahun 1949: Marilyn mengangkat lengan kanan ke atas, menampilkan ketiaknya, dan dada yang membusung. Dengan pemasaran yang gencar, lengkap dengan menjual pose Marilyn yang sudah tenar sebelumnya, majalah ini laris seperti kacang kukus di pasar malam. Dengan harga 50 sen, ia terjual lebih dari 53 ribu eksemplar.
Penulis Steven Watts menjuluki Hefner sebagai pria yang sukses menjalani American dream, mimpi-mimpi orang Amerika.
Lahir di Keluarga Religius
Hefner lahir di Chicago, Illinois, 9 April 1926. Ia lahir dari keluarga konservatif. Ayahnya, Glenn Lucius Hefner adalah seorang guru. Sedangkan ibunya, Grace Caroline, adalah perempuan religius yang dibesarkan di keluarga religius pula. Ia tergabung dalam paduan suara gereja dan pernah memenangkan pidato yang disponsori Persatuan Perempuan Kristen Anti Minuman Keras.
Grace menjadi sosok amat penting bagi Hefner. Ia memilih menjadi ibu rumah tangga dan mendidik anak-anaknya sendiri. Ia disiplin, dan kerap mengajarkan perihal moral pada anak-anaknya. Grace ingin anak-anaknya menjadi, "bermoral, baik, dermawan, dan memperlakukan orang lain seperti mereka ingin diperlakukan."
Di bawah naungan ibunya yang amat perhatian, Hefner tumbuh menjadi remaja bahagia. Ia energik. Humoris. Juga bisa berkawan dengan siapa saja. Saat SMA, ia menjabat sebagai Ketua OSIS. Saat itu sedang tren membuat penghargaan antar siswa. Hefner selalu ada di tiga besar dalam kategori, "Yang Paling Mungkin Sukses", "Lelaki Paling Populer", "Humoris di Kelas", "Orator Terbaik", "Penari Terbaik", dan "Paling Artistik".
Dalam buku biografinya, Mr. Playboy: Hugh Hefner and the American Dream (2008), Hefner disebut juga mulai menggali kegemaran terhadap gambar kartun dan komik. Selain itu ia juga dikenal sebagai ketua OSIS yang gaul, dan mau mempertahankan hak siswa untuk bersenang-senang, termasuk mendengarkan musik di sekolah—hal yang dilarang para guru.
Ketika Perang Dunia II berlangsung, Hefner bergabung dengan militer. Bukan sebagai tentara yang aktif di medan perang, melainkan sebagai penulis di koran militer. Ia melakoni pekerjaan itu sejak 1944 hingga 1946.
Hefner juga seorang yang mau melahap bangku sekolah. Ia mengambil jurusan utama psikologi di University of Illinois at Urbana Champaign, dan jurusan minor di penulisan kreatif. Hefner lulus dengan gelar Bachelor of Arts pada 1949. Ia sempat pula mengambil kelas sosiologi, namun tak sampai lulus dan memilih bekerja di Esquire.
Saat itu Esquire sudah dikenal sebagai majalah pria dewasa yang kerap memuat naskah-naskah dari penulis bermutu. Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, hingga Julian Huxley menulis di sini. Hefner bekerja sebagai copywriter, gajinya 60 dolar per minggu.
"Sebenarnya pekerjaan itu tidak memuaskan," ujarnya. "Kamu harus mengisi absen, kembali isi absen saat pergi makan siang. Jadi, yah, seperti pekerjaan biasa."
Bikin Majalah Sendiri
Hefner keluar pada 1952 karena permintaan naik gaji tidak dikabulkan. Ia lantas bekerja sebagai manajer penjualan dan sirkulasi di perusahaan penerbitan yang menggawangi tiga majalah dewasa: Modern Man, Art Photography, dan Modern Sunbathing. Majalah-majalah ini memuat foto telanjang, namun tak mempunyai sistem langganan karena takut diberedel.
Majalah-majalah itulah yang memberinya inspirasi memulai Playboy. Ia belajar banyak dari pengalamannya di Esquire dan tiga majalah dewasa. Menurutnya, Esquire membuat kesalahan dengan membuang rubrik kartun. Hefner juga yakin, akan selalu ada pembaca majalah yang memuat gambar perempuan telanjang.
"Aku ingin membuat majalah hiburan untuk pria kota, yang riang namun mewah. Ada rubrik untuk perempuannya sih, agar ada pembaca dari kalangan perempuan juga. Namun majalah ini harus tetap punya kualitas. Cetak ulang cerita-cerita apik dari para penulis besar, gambar top dari seniman lokal, kartun humor, mungkin beberapa halaman berwarna untuk memberikan kesan berkelas. Kalau berhasil, kita akan semakin tingkatkan kualitas, mengejar iklan, dan membuat majalah seperti Esquire," ujar Hefner pada rekannya, Eldon Seller dan Burt Zollo.
Untuk modal awal, ia mencari pinjaman di bank, menjual furnitur miliknya, juga dipinjami 1.000 dolar oleh kakaknya, Keith Hefner. Grace, ibunda tercinta, juga urun 1.000 dolar, walau tetap geleng-geleng kepala dengan pilihan majalah buatan anaknya.
Suatu ketika dalam sebuah wawancara, sang ibu ditanya: apakah anda bangga pada Hefner?
"Iya, sih. Tapi aku akan lebih bangga kalau dia menjadi misionaris," kata Grace.
Playboy kemudian tumbuh menjadi majalah besar. Ia menjadi kendaraan yang mewujudkan fantasi Hefner. Majalah itu berisi kartun—yang sering ia gambar ketika sekolah. Juga berisi artikel-artikel menarik, termasuk wawancara. Rubrik "Playboy Interview" menjadi salah satu pembeda Playboy dengan majalah pria dewasa lain.
Rubrik itu berisi wawancara panjang, menarik, dan serius dengan para tokoh terkenal. Mulai politisi, atlet, seniman, hingga selebriti. Nama narasumbernya merentang panjang, mulai musisi jazz Miles Davis, sutradara Stanley Kubrick, pendiri Apple Steve Jobs, sastrawan Vladimir Nabokov, pasangan John Lennon dan Yoko Ono, penulis Ayn Rand, dan, ini yang paling terkenal: Martin Luther King, Jr.
Dalam wawancara itu, ada perkataan King yang kelak dijadikan pegangan oleh para aktivis. Sejarawan Alex Haley menanyakan bagaimana perasaannya soal ancaman pembunuhan yang kerap dilontarkan pada King.
"Kalau aku terus-terusan khawatir soal kematian, aku tak akan bisa hidup. Kalau hidupmu kurang lebih penuh bahaya dan risiko, lama kelamaan kamu akan terbiasa. Kamu sampai pada titik di mana kamu menerima apapun kemungkinannya. Aku harus menghadapi kenyataan itu, sama seperti apa yang harus dilakukan para pemimpin lain. Amerika saat ini adalah negara yang sakit dan gila, dan pembunuhan bisa menimpaku kapan saja. Kalau itu terjadi, setidaknya aku mati karena membela hak dan kebenaran yang kuyakini."
Rubrik fiksi juga menempati posisi penting. Di bawah pimpinan editor fiksi Robie Macauley, Playboy menerbitkan karya-karya Doris Lessing, Vladimir Nabokov, Michael Crichton, Kurt Vonnegut, hingga Nadine Gordimer.
Majalah Playboy kemudian berkembang menjadi kerajaan tersendiri. Playboy Enterprise jadi perusahaan besar yang memayungi majalah, televisi, radio, hingga edisi digital. Korporasi ini juga mengurusi masalah izin dan logo. Dengan pengelolaan bisnis yang baik, Playboy tak hanya menjadi identitas majalah, melainkan identitas gaya hidup mewah, elegan, berkelas, juga penuh dengan pesta.
Hefner tak mau tanggung-tanggung. Ia jadi komandan di setiap pesta Playboy. Gaya hidup ugal-ugalan, dengan bahan bakar alkohol dan seks, membuat tubuhnya merenta dengan cepat. Ia kena stroke pada 1985. Itu semacam rem alamiah bagi tubuhnya. Hefner mengurangi pesta, dan menyerahkan tampuk kepemimpinan istana Playboy pada putrinya, Christie.
Walau begitu, soal perempuan Hefner tak mau menginjak rem. Pria yang saat remaja mengaku "kisah romansanya amat menyedihkan", menikah tiga kali. Istri pertamanya adalah Mildred Williams (1949-1959). Setelah sukses sebagai pendiri Playboy, ia memilih istri dari kalangan model majalahnya. Kimberley Conrad, mantan Playmate of the Year 1989, ia nikahi di tahun yang sama. Mereka bercerai pada 2010.
Di masa duda, ia pernah berpasangan dengan Barbie Benton, Brande Roderick, Holly Madison, Bridget Marquardt, juga Kendra Wilkinson. Semuanya mantan model Playboy. Begitu pula istri ketiganya yang lebih muda 60 tahun, Crystal Harris yang dinikahi Hefner pada 2012. Di hari ulang tahun pernikahannya yang pertama, Hefner mencuit di akun Twitternya, "Jatuh cinta rasanya menyenangkan."
Crystal adalah perempuan yang mendampingi Hefner hingga tutup usia. Hefner meninggal pada 27 September 2017, tepat hari ini setahun lalu, di usia 91. Penyebab meninggalnya disebut alamiah, karena usia tua.
Anti-Diskriminasi
Mengenang Hefner tak melulu tentang foto telanjang dan pesta pora. Di luar itu semua, Hefner menjunjung tinggi persamaan hak. Dalam suatu wawancara bersama The New York Times, ia mengaku pernah berhenti bekerja sebagai bagian sumber daya manusia di perusahaan karton. Alasannya? Sang atasan memintanya tak menerima lamaran orang kulit hitam.
Hefner juga akan terus dikenang sebagai visioner yang berani mendobrak tabu seksualitas di Amerika. Ia mendukung pernikahan sejenis karena alasan hak asasi manusia. Saat Esquire menolak menerbitkan cerpen "The Crooked Man" yang berkisah tentang seorang heteroseksual yang dipersekusi di dunia homoseksual, Hefner memuatnya di Playboy. Ia tak peduli meski majalahnya menerima banyak surat protes dan kemarahan.
"Kalau mempersekusi seorang hetero di dunia homoseksual itu salah, maka mempersekusi seorang homo di dunia hetero juga salah," ujarnya.
Hefner juga berhasil mengawinkan seksualitas—yang kerap dianggap remeh—dengan dunia yang lebih serius, seperti jurnalisme dan politik. Ia membuktikan majalah Playboy tak hanya berisi foto telanjang, namun juga wawancara politik, cerpen asyik, dan esai-esai memukau. Ia membuat Playboy menjadi rumah tak hanya bagi para model yang meniti karier, namun para intelektual, penulis hebat, dan wartawan andal.
Kisah hidupnya seakan-akan menjadi afirmasi bahwa hidup dengan senang dan hati bahagia adalah kunci panjang umur. Menjadi tua tak melulu identik dengan keluh kesah dan gerundelan. Pak Tua nakal ini membuktikan bahwa umur hanyalah angka, yang penting jiwa tetap muda.
Untuk itulah idiom khas Indonesia cocok untuk dirinya: muda foya-foya, tua bahagia.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan sebagai obituari pada 28 September 2017 dengan judul "Hugh Hefner: Muda Foya-Foya, Tua Bahagia". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Zen RS