Menuju konten utama

Gadis Berjilbab di Majalah Playboy

Dalam edisi Oktober 2016, Majalah Playboy menampilkan seorang perempuan berjilbab di rubrik "Renegade". Di tengah semakin besarnya perhatian industri pakaian dan internet terhadap hijab, Playboy tak mau kalah mengambil momentum.

Gadis Berjilbab di Majalah Playboy
Noor Tagouri, gadis berhijab tampil di Playboy. [Foto/Instragram]

tirto.id - Dalam sebuah episode Night Beat di tahun 1965, Mike Wallace muda mengucapkan selamat datang kepada penontonnya dan mengumumkan bintang tamu mereka malam itu adalah Hugh Hefner. Kamera menyorot bayangan wajah Hefner yang seperti maling tertangkap basah.

"Kita akan cari tahu apa sebenarnya motif dia bikin Playboy," kata Wallace, "dan apakah benar atau tidak itu semua hanya kisah cabul belaka?"

Alih-alih menjadi acara bincang-bincang biasa, sesi itu kemudian menjadi perdebatan politik dan ideologi seksual dari dua ikon media Amerika. Wallace mencap Hefner sebagai tua-tua keladi yang mempromosikan pandangan ganjil tentang seksualitas. Hefner menggeleng-gelengkan kepala, nyengir, dan berkata bahwa ia "secara sadar menganggap" seks adalah "laku yang sehat."

Malam itu, Hefner dengan elok membungkam kritik Wallace yang menyebut Playboy oversexed. Hefner bilang, di antara banyak hal lainnya, Playboy bukan sekadar kecabulan. Majalah itu juga berisi, "kesusastraan dari para penulis hebat," katanya.

Lebih dari setengah abad kemudian, pendekatan Hefner mengenai seks menjadi budaya arus utama, dan pandangan konservatif Wallace menjadi sama kunonya dengan tayangan hitam-putih Night Beat.

Hefner benar, meski Playboy dikenal luas pertama-tama dan terutama karena piktorial telanjangnya, editorial yang mereka kembangkan sebenarnya sangat baik dan menjanjikan. Mereka menyajikan campuran laporan jurnalistik yang memikat dan mendalam, opini sosial-politik yang progresif, rubrik wawancara yang tidak biasa, dan cerita pendek dari para sastrawan kelas dunia. Beberapa nama sastrawan yang menulis untuk Playboy di antaranya: Jorge Luis Borges, Vladimir Nabokov, Gabriel Garcia Marquez, dan Haruki Murakami.

Di New York, karena bacaan berkualitas yang dihadirkannya, seloroh mengenai Playboy jadi lelucon yang sangat terkenal. "Saya beli Playboy HANYA untuk membaca artikelnya."

Sejak 1953, Hugh Hefner mengejutkan dunia dengan gambar telanjang Marilyn Monroe di sampul majalah yang ia dirikan. Majalah ini kemudian berkembang menjadi ikon seks generasi 60 hingga 90-an. Playboy tumbuh menjadi bisnis raksasa. Selain penjualan majalah, mereka juga merambah ke acara televisi yang mendatangkan jutaan dolar—tetap dengan gambar telanjang sebagai daya tarik utamanya.

Tapi hari ini, model bisnis yang dipelopori Hefner ini telah ditinggalkan banyak orang. Di internet, banyak orang meniru Hefner menjual ketelanjangan, tapi mereka tidak lagi menjualnya dengan harga mahal. Kebanyakan malah gratis. Anda tidak perlu lagi mencari Playboy untuk melihat perempuan telanjang.

Hefner telah ditelan revolusi yang dicetuskannya sendiri.

Bagi pria berusia di atas 40 tahun, pernah memegang majalah Playboy adalah pengalaman hampir mistis dengan daya tarik terlarang. Tapi pengalaman itu terasa menggelikan sekarang, ketika kita hidup di dunia di mana pornografi begitu banyak tersedia di internet dan "gratis"—diproduksi oleh perusahaan-perusahaan "amatir", tidak seprofesional Playboy.

Seks itu menjual, tentu saja. Apalagi kalau gratis.

Pergeseran ini tidak pernah diprediksi Hefner sebelumnya. Keruntuhan ekonomi hiburan dewasa tidak hanya memengaruhi Playboy yang sirkulasinya terus menurun, industri pornografi juga limbung karena serbuan pornografi "amatir" dan rekaman seks artis yang bocor di internet.

"Iklim politik dan seksual 1953, tahun ketika Hugh Hefner memperkenalkan Playboy kepada dunia, hampir tidak ada kemiripannya dengan hari ini," kata Scott Flanders, CEO Playboy Enterprises .

Untungnya, Playboy tidak sepenuhnya tentang ketelanjangan. Lelucon bahwa kaum laki-laki "membeli Playboy untuk membaca artikelnya" itu tidak terlalu keliru. Salah satu nilai jual penting yang telah majalah ini ciptakan adalah kesusastraannya. Pembaca Playboy bukan hanya para pecinta payudara semlohay, melainkan juga karya sastra berkualitas.

Maret 2016, untuk pertama kali dalam sejarah Playboy meluncurkan edisi yang bebas-ketelanjangan. Perhatikan dengan seksama, bolak-balik halamannya, Anda tidak akan menemukan gambar wanita tanpa sehelai benang.

Sebagai gantinya, Anda akan melihat bagaimana Playboy sangat serius melakukan rebranding agar lebih bisa diterima generasi milenial. Yang paling mencolok adalah kovernya. Menampilkan Sarah McDaniel, seorang seleb-Instagram, dengan pose dan pesan selfie ala Snapchat. Terkesan sangat tidak serius dan monoton jika dibandingkan dengan foto-foto cover Playboy sebelumnya—yang menampilkan berbagai gaya yang terlihat elegan dan mewah.

Pergeseran ini, bagaimanapun, tak ada hubungannya dengan kemenangan kaum feminis atau pandangan konservatif Mike Wallace. Semuanya harus dilakukan karena kesadaran para eksekutif Playboy bahwa dunia digital adalah masa depan.

Langkah meninggalkan gambar telanjang adalah pilihan yang mereka ambil untuk berinovasi dan menyesuaikan diri dalam peradaban digital. Sebagai media, Playboy sadar betul peran media sosial untuk meningkatkan jumlah pembaca. Sementara media sosial yang menjadi sumber lalu lintas pembaca seperti Facebook, Twitter, dan Instagram adalah platform yang melarang ketelanjangan. Ini langkah yang masuk akal.

Sejak Agustus 2014, Playboy memulai eksperimen menghilangkan gambar telanjang dari situs mereka. Hasilnya cukup menggembirakan. Menurut Flanders, setelah mereka menyingkirkan ketelanjangan dari edisi online, usia rata-rata pengunjung situs mereka turun ke usia 30 dari usia 47, dengan traffic tumbuh empat kali lipat dari 4 juta ke 16 juta pengunjung bulanan.

Meski beberapa perubahan online yang mereka buat dampaknya sudah cukup baik, tantangan untuk memperbaiki citra merek Playboy tampaknya bukan pekerjaan mudah. Membaca Playboy masihlah bukan sesuatu yang patut dibanggakan bagi banyak orang. Nyaris tidak ada yang memamerkan diri sedang membaca Playboy di kafe atau bus kota. Di Indonesia, beberapa operator bahkan memblokir situs Playboy karena dianggap semata menyebarkan pornografi.

Selain itu, tantangan terbesar mereka di era internet adalah merebut pembaca perempuan dan demografi pembaca yang secara tradisional menolak Playboy.

Maka, ketika Playboy menampilkan seorang wanita berjilbab untuk edisi Oktober 2016, ini bisa dibaca sebagai strategi untuk merangkul demografi pembaca baru. Dan taktik ini, harus diakui, cukup jitu.

Munculnya Noor Tagouri, seorang jurnalis berusia 22 tahun dan salah satu ikon remaja muslim di Amerika, di majalah itu, dengan pakaian tertutup adalah terobosan luar biasa. Mengenakan jins, jaket kulit, dan sepatu Converse, Noor mengaku menerima tawaran Playboy karena bercita-cita menjadi pembaca berita pertama yang berjilbab di stasiun televisi komersial AS.

Tagouri percaya pengalamannya sebagai seorang muslimah telah membuatnya seorang reporter yang lebih baik. "Sejujurnya, berjilbab membantu saya mendapatkan bahwa kepercayaan [dari narasumber]," katanya dalam wawancara dengan Playboy. "Saya tahu bagaimana rasanya dicap miring dan dieksploitasi di media. Jilbab saya seperti bilang, 'Hei, saya tahu bagaimana rasanya disalahpahami di media. Saya tidak begitu kepada Anda. Saya ingin menceritakan kisah Anda karena penting dan layak mendapat keadilan.'"

Atas keputusannya menerima wawancara Playboy, Noor dihujat dari berbagai arah. Ada yang mengkritik pilihannya sebagai "langkah yang salah", "kurang bijak", "tidak bisa diterima", "tidak mewakili semangat hijab" dan lain sebagainya. Mengingat reputasi Playboy, tidak sedikit pula yang mencaci-makinya dan langsung menghujaninya dengan label macam-macam, dari "memalukan" hingga "pelacur." Media-media berbahasa Inggris lalu berlomba-lomba membahas fenomena ini dan polemik yang menyertainya dan tentu saja mendatangkan klik dan reaksi dari seluruh dunia.

Noor sendiri mengaku tidak "membaca atau memperhatikan" semua itu. "Itu semua hanya energi negatif dan tidak sehat," katanya. "Saya lebih memilih mendengarkan pendapat orang-orang di sekitar saya."

Sementara kontroversi ini akan terus dibicarakan dalam sebulan ini atau bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, Playboy telah berhasil meletakkan dirinya di tengah kerumunan percakapan online dan meraup pengunjung baru di situsweb mereka. Mantap.

Baca juga artikel terkait MAJALAH PLAYBOY atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Maulida Sri Handayani