tirto.id - Sejumlah seniman dan budayawan menolak rencana pembangunan hotel bintang lima pada revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Di antaranya, seniman Imam Ma'aruf dan budayawan serta sastrawan Radhar Panca Dahana.
Pasalnya, kalangan seniman dan budayawan menolak rencana pembangunan hotel mewah ini karena rentan mengubah TIM ke arah komersialisasi.
Namun, beberapa pihak mempertanyakan mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak mengoptimalisasi aset-aset perhotelan PT Jaktour, satu-satunya BUMD DKI Jakarta yang bergerak di bidang pariwisata.
Menurut pengamat bisnis perhotelan, sekaligus mantan Direktur Utama PT Jaktour, Emeraldo Parengkuan, seharusnya Pemprov DKI Jakarta lebih memaksimalkan hotel-hotel milik PT Jaktour ketimbang membangun lagi.
"Iya [harusnya dioptimalkan]. Sebenarnya Jakarta Tourisindo itu dari namanya saja udah tourism, jadi lebih fokus ke pariwisata," kata Emeraldo saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (26/11/2019) sore.
Apalagi, kata Emeraldo, PT Jaktour merupakan satu-satunya BUMD yang bergerak di bidang pariwisata dengan aset-aset berupa hotel.
"Usul saya, karena PT Jaktour adalah salah satu BUMD yang memang cuma satu-satunya yang urusi pariwisata, ya mestinya dia [PT Jaktour] yang lebih banyak diberikan peran untuk pariwisata. Entah itu pengelolaan hotel atau pengelolaan pariwisata," katanya.
Salah satu alasan Emeraldo juga, mengingat PT Jaktour selama ini terus mengalami kerugian akibat kalah saing dengan hotel lainnya. Ia menilai seharusnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih memberikan kesempatan kepada PT Jaktour.
Kenapa PT Jaktour Merugi?
Berdasar data Badan Pembinaan BUMD Provinsi DKI Jakarta, PT Jaktour diketahui telah mengalami kerugian sejak 2016 lalu. Pada 2017, perusahaan yang mengelola Hotel Grand Cempaka itu merugi Rp16 miliar lantaran pendapatannya menurun.
Kurang baiknya pelayanan serta infrastruktur dinilai membuat Hotel Grand Cempaka kalah bersaing dengan hotel-hotel lain yang ada di Jakarta. Apalagi, sejak tahun 2015, hotel tersebut mulai kehilangan pelanggan tetapnya yang rata-rata berasal dari kementerian dan instansi pemerintahan.
Sedangkan pada 2018 silam, PT Jaktour masih merugi sekitar Rp15,5 miliar, setelah menurunkan kerugian perusahaan sebesar Rp4,2 miliar dari total kerugian sebesar Rp19,7 miliar.
Perusahaan itu baru memiliki target untuk mulai untung pada 2021 mendatang.
Menurut Emeraldo, selama ia memimpin perusahaan tersebut, salah satu alasan kerugian yang dialami oleh PT Jaktour karena tak adanya kejelasan konsep pariwisata dari aset-aset yang dikelolanya.
"Itu karena yang ada sekarang itu konsepnya tuh tidak tepat. Karena aset-aset yang dimiliki kan sebenarnya kayak hibah aja. PMD [Penyertaan Modal Daerah] DKI itu berbentuk aset. Tolong dikelola oleh Jaktour, kasarnya. Itu aset DKI yang dijadikan PMD DKI dan diserahin pengelolaannya ke Jaktour. Dari awal enggak jelas, Jaktour-lah yang suruh kelola," jelas Emeraldo.
Beberapa aset yang dimiliki oleh PT Jaktour seperti Hotel Grand Cempaka, Grand Cempaka Resort di Cipayung, D'Arcici Hotel, dan tiga buah C-One Hotel. Ada juga sport center di Cempaka Putih. Serta dua lahan yang belum bisa dibangun, di daerah TB Simatupang dan Sukabumi.
"Jadi kalau sekarang kenapa itu rugi, ya karena mereka harus mengupayakan aset-aset itu yang sebenarnya enggak cocok untuk pariwisata tapi terpaksa untuk dijalankan. Itu akibatnya enggak bisa maksimal," katanya.
"PMD kan enggak dapet juga. Selama saya menjabat kemarin juga enggak dapet. Karena memang diutamakan BUMD yang ada bisa menggerakkan ekonomi, kayak Pasar Jaya, Dharma Jaya, MRT, karena kan untuk menggairahkan ekonomi. Kalau Jaktour kan pure bussiness. Dianggap dengan properti yang aset diberikan dan disuruh kelola, gimana bisa jadi untung?"
Anggota Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP, Syahrial, membenarkan bahwa memang banyak beban yang dialami oleh PT Jaktour, sehingga memang seharusnya diprioritaskan pengembangannya.
"Jaktour itu enggak bisa bangun hotel-hotel di bawah kekuasaan dia. Karena hotel-hotel itu sudah tua-tua. Mestinya di-upgrade. Semua itu harus dirombak," katanya saat dihubungi Selasa malam.
Oleh karena itu, Syahrial mengatakan komisinya kemungkinan akan meloloskan dana pengajuan renovasi seluruh aset PT Jaktour sebesar Rp92 miliar.
"Mereka mengajukan untuk perbaikan atau renovasi fasilitas-fasilitas Rp92 miliar mungkin akan kita kasih, kalau enggak, enggak mungkin bisa bersaing dia," kata pria yang pernah menjadi Kepala Dinas Kebudayaan era Sutiyoso ini.
Kata Syahrial, Pemprov DKI lebih baik fokus membenahi dan mengoptimalkan aset-aset PT Jaktour ketimbang meminta PT Jakpro membangun hotel di pusat kebudayaan yang cenderung akan komersialisasi.
"Jakpro itu kan orientasinya bisnis, daerah Cikini kan memang daerah kelas satu, kalau mau dibikin hotel ya bintang lima kan luar biasa dianggapnya, padahal di bawahnya tempat kebudayaan. Enggak boleh. Semahal apa pun tanah di situ jangan kita tergiur. Jakarta enggak hanya membangun fisik, tapi mental, seni, budaya juga harus dibangun. Mental kebudayaan harus dibangun. Jangan tawuran mulu anak-anaknya," katanya.
Diklaim Bukan untuk Komersialisasi
Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengklaim "wisma" yang akan dibangun itu akan jauh kesan komersialisasi seperti hotel-hotel di luar TIM. "Wisma" itu, kata Anies, harus digunakan sebagai tempat tampung para seniman dan budayawan dengan ekosistem kebudayaannya.
Ditambah, Anies akan memisahkan SKPD di bawahnya, yang awalnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, akan dipisah menjadi Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan.
"Kenapa dipisah? Supaya kegiatan budaya yang tidak berorientasi komersial untuk jangan digabung dengan kegiatan pariwisata yang berorientasi komersial. Jadi, Jakarta itu justru sekarang memisahkan Dinas Kebudayaan dengan Dinas Pariwisata karena visinya adalah kegiatan kebudayaan itu tidak untuk komersial. Jadi ini bukan lisan, dibuktikan loh," kata Anies saat ditemui, Senin (25/11/2019) malam.
Hal itu dibenarkan oleh Direktur Utama PT Jakpro Dwi Wahyu Daryoto. Ia menolak anggapan banyak pihak yang menuding ada upaya komersialisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) usai direvitalisasi. Kata "komersialisasi" menurut Wahyu tak tepat, melainkan hanya "optimalisasi".
Wahyu bahkan mengklaim jika "optimalisasi" TIM tersebut memiliki untung akan diberikan ke pihak pengelola.
"Hasil dari optimalisasi, bukan komersialisasi, itu akan dikembalikan ke TIM ini. Siapa pun yang mengurus. Bahkan kalau pun Jakpro enggak ngurus, enggak jadi pengelola, enggak masalah,” kata Wahyu saat ditemui di Kantor Jakpro, Thamrin City, Senin (25/11/2019).
“Kami hanya memberikan pondasi. Supaya nanti meringankan APBD DKI dalam merawat TIM yang sudah modern. Itu supaya enggak rancu," tambah Wahyu.
Ia menegaskan, Jakpro bukan hendak menguasai TIM.
Wahyu menjelaskan pihaknya membutuhkan dana sebesar Rp1,8 triliun dalam merevitalisasi TIM dalam bentuk PMD. Dan kemungkinan akan ikut mengelola dalam waktu 20 tahun.
"Dalam [ilmu] akuntansi gedung itu umurnya 20 tahun, disusutkan 20 tahun. Jadi kalau nilai gedung Rp1,8 triliun, dibagi 20 tahun. Setahun berapa penyusutan? Rp90 miliar per tahun itu biaya yang dikeluarkan oleh Jakpro," kata Wahyu.
Penyusutan itu, kata Wahyu, yang akan menjadi kerugian yang akan dialami oleh Jakpro. Namun, kata dia, pihaknya akan tetap transparan.
"Nah, karena ada penyusutan itu, ada rugi labanya di Jakpro. Kami akan open book. Pengelolaan TIM akan terbuka, berapa biaya pemeliharaan, kebersihan, dan sekuriti hingga listrik. Itu yang nanti dikelola secara transparan," kata dia.
Wahyu bercerita pernah dalam suatu musyawarah, ada seorang dosen dari Universitas Trisakti yang menyebut biaya revitalisasi terlalu mahal dan tak mungkin balik modal jika dikomersilkan.
"Ya enggak mungkin balik [modal]. Makanya itulah negara hadir. Swasta enggak mungkin mau melakukan revitalisasi. Orang ruginya sudah jelas. Katakanlah dikelola 25 tahun, tiga tahun ngebangun, ya antara Rp80-90 miliar ruginya per tahun," kata dia.
Sehingga Wahyu menepis jika ada banyak pihak yang menuding Jakpro akan mengambil keuntungan dari revitalisasi tersebut.
“Nanti kalau dibilang Jakpro ambil keuntungan. Enggak. Sama sekali enggak. Saya jelaskan, sekali lagi, sama sekali enggak. Dari biaya penyusutan sudah Rp90 miliar per tahun. Belum biaya lain," kata dia.
Wahyu juga merespons jika banyak seniman atau budayawan yang melakukan pentas atau kontes akan merasakan kenaikan tarif sewa lokasi setelah revitalisasi.
"Saya sudah tahu. Itulah yang harus didiskusikan. Di situlah harus bermain dengan kepintaran kita, mana yang pantas disubsidi dan mana yang enggak. Katanya, negara harus hadir, iya, ini adalah bentuk nyata kehadiran negara memberdayakan kesenian. Yang penting para pegiat seni bisa berkarya tanpa dirugikan," kata Wahyu.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri