tirto.id - Renovasi Taman Ismail Marzuki (TIM) yang ditangani PT Jakarta Properindo (Jakpro) akan memasuki tahap groundbreaking, pada Juni 2019. Plt Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Asiantoro menekankan tujuan revitalisasi senilai Rp1 triliun ini agar dapat menghasilkan pemasukan atau memiliki nilai komersial yang lebih tinggi.
“Diharapkan TIM ini bisa menghasilkan, arahnya ke sana,” kata Asiantoro dalam Forum Group Discussion (FGD), di Jakarta, Rabu, 20 Februari 2019.
Salah satu alasannya, kata Asiantoro, karena pengeluaran dan pemasukan dari TIM yang selama ini tidak seimbang. Untuk biaya pengelolaan, misalnya, TIM memakan dana sekitar Rp22 miliar dari APBD, sedangkan keuntungan yang masuk dari TIM hanya sekitar Rp8 miliar hingga Rp10 milliar.
Pernyataan senada diucapkan Luky Ismayanti, Project Director Revitalisasi TIM dari Jakpro. Ia menjelaskan revitalisasi TIM ini bertujuan untuk mendapatkan profit. Keuntungan tersebut, kata dia, akan disalurkan untuk pengembangan seni.
Selain itu, sejumlah keuntungan lain yang dipaparkan Luky adalah pengelolaan TIM dapat lebih dioptimalkan. “Dan fleksibel [pengelolaan dananya], sehingga tidak bergantung pada uang pemerintah,” kata Luky.
Revitalisasi ini mencakup pembongkaran Galeri Cipta yang meliputi bioskop XXI, masjid, dan Pos Pemadam Kebakaran. Sementara cakupan yang akan di-upgrade, antara lain: Planetarium dan Galeri Graha Bhakti.
Sedangkan Teater Besar dan bangunan-bangunan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tidak akan terkena revitalisasi yang peletakan batu pertamanya akan dilakukan pada Juni mendatang.
Konsep yang dipaparkan Jakpro itu direspons beragam. Salah satunya adalah musikus Anto Hoed yang menilai desain yang dipaparkan Jakpro masih kaku dan kurang organik. Terlebih, dengan desainnya yang "mengkotak-kotakan" seniman di TIM dengan dipisah-pisahkan dengan sejumlah gedung.
“Jangan sampai itu terabaikan karena kami melihat yang canggih. Buat seniman-seniman, itu kaku,” kata Anto dalam FGD.
Komentar lain muncul dari seniman Aisul Yanto. Pelukis yang cukup rajin mengadakan pameran di TIM tersebut khawatir arah revitalisasi ini malah sekadar untuk kepentingan komersial, bukan untuk seniman atau seni dan budaya.
“Kami dukung [revitalisasi] tapi kepentingan kesenian dan budaya harus nomor satu, komersialisasi yang belakang,” kata Aisul saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/2/2019).
Aisul menekankan agar arah revitalisasi, maupun tujuannya, seharusnya lebih diarahkan untuk kepentingan kesenian, bukan semata untuk keuntungan. Terlebih, dengan posisi TIM yang merupakan salah satu pusat kesenian dan kebudayaan yang bersejarah.
“Boleh untuk komersialisasi, tapi jangan meninggalkan kepentingan kesenian dan kebudayaan. Kalau pandangannya diutamakan untuk kesenian dan kebudayaan, kesenian dan kebudayaan tentu bisa berujung pada menghasilkan uang,” kata Aisul.
Perlu Payung Hukum yang Tegas
Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Irawan Karseno menilai langkah pemerintah melakukan revitalisasi sudah baik. Namun, perlu payung hukum agar tujuan revitalisasi tidak malah berujung ke komersialisasi semata, dan tidak memberikan keuntungan ke kesenian.
“Nah, tapi itu perlu komitmen, perlu regulasi yang kuat. Saya takutnya kalau ada apa-apa, gonjang-ganjing, turbulensi ekonomi, susah kalau kami hanya mengandalkan subsidi. Kami juga perlu membangun aspek ekonomi di bidang kesenian,” kata Irawan saat ditemui di kawasan TIM, Jakarta Pusat, Rabu (20/2/2019).
Irawan meminta agar ada regulasi terkait ke mana dana keuntungan akan dialihkan, serta bagaimana keuntungan tersebut tetap disalurkan ke bidang seni. Regulasi itu harus dipertegas melalui Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta.
“Saya kira Perda lebih baik agar bisa ditekankan bahwa ini lebih untuk kesenian. Jadi harus ada strategi bersama itu,” kata Irawan.
Irawan juga mendorong agar Pemprov DKI dapat memberikan batasan, mana yang dijadikan ranah komersial dan yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan komersil melalui Perda tersebut.
“Saya mendukung pembangunan hotel yang bagus yang memang keuntungannya itu untuk kesenian. Tidak melulu keseniannya yang di-charge dengan tinggi, saya takut itu. Mana yang disubsidi, ya disubsidi, mana yang bisa ditarik uangnya, ya kami perlu atur itu,” kata Irawan.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz