Menuju konten utama

Revitalisasi TIM, Dirut Jakpro: Kami Tak Cari Untung, Bahkan Rugi

Dirut Jakpro Dwi Wahyu Daryoto menolak anggapan banyak pihak yang menuding ada upaya komersialisasi di balik revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM).

Revitalisasi TIM, Dirut Jakpro: Kami Tak Cari Untung, Bahkan Rugi
Gedung teater Taman Ismail Marzuki Jakarta. FOTO/antaranews

tirto.id - Direktur Utama PT Jakpro Dwi Wahyu Daryoto menolak anggapan banyak pihak yang menuding ada upaya komersialisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) usai direvitalisasi. Kata "komersialisasi" menurut Wahyu tak tepat, melainkan hanya "optimalisasi."

Wahyu bahkan mengklaim jika "optimalisasi" TIM tersebut memiliki untung akan diberikan ke pihak pengelola.

"Hasil dari optimalisasi, bukan komersialisasi, itu akan dikembalikan ke TIM ini. Siapapun yang mengurus. Bahkan kalau pun Jakpro enggak ngurus, enggak jadi pengelola, enggak masalah,” kata Wahyu saat ditemui di Kantor Jakpro, Thamrin City, Senin (25/11/2019).

Ia menambahkan, “Kami hanya memberikan pondasi. Supaya nanti meringankan APBD DKI dalam merawat TIM yang sudah modern. Itu supaya enggak rancu.”

Ia menegaskan, Jakpro bukan hendak menguasai TIM.

Wahyu menjelaskan pihaknya membutuhkan dana sebesar Rp1,8 triliun dalam merevitalisasi TIM dalam bentuk Penyertaan Modal Daerah (PMD). Dan kemungkinan akan ikut mengelola dalam waktu 20 tahun.

"Dalam [ilmu] akuntansi gedung itu umurnya 20 tahun, disusutkan 20 tahun. Jadi kalau nilai gedung Rp1,8 triliun, dibagi 20 tahun. Setahun berapa penyusutan? Rp90 miliar per tahun itu biaya yang dikeluarkan oleh Jakpro," kata Wahyu.

Penyusutan itu, kata Wahyu, yang akan menjadi kerugian yang akan dialami oleh Jakpro. Namun, kata dia, pihaknya akan tetap transparan.

"Nah, karena ada penyusutan itu, ada rugi labanya di Jakpro. Kami akan open book. Pengelolaan TIM akan terbuka, berapa biaya pemeliharaan, kebersihan, dan sekuriti hingga listrik. Itu yang nanti dikelola secara transparan," kata dia.

Wahyu bercerita pernah dalam sebuah musyawarah, ada seorang dosen dari Universitas Trisakti yang menyebut biaya revitalisasi terlalu mahal dan tak mungkin balik modal jika dikomersilkan.

"Ya enggak mungkin balik [modal]. Makanya itulah negara hadir. Swasta enggak mungkin mau melakukan revitalisasi. Orang ruginya sudah jelas. Katakanlah dikelola 25 tahun, tiga tahun ngebangun, ya antara Rp80-90 miliar ruginya per tahun," kata dia.

Sehingga Wahyu menepis jika ada banyak pihak yang menuding Jakpro akan mengambil keuntungan dari revitalisasi tersebut.

“Nanti kalau dibilang Jakpro ambil keuntungan. Enggak. Sama sekali enggak. Saya jelaskan, sekali lagi, sama sekali enggak. Dari biaya penyusutan sudah Rp90 miliar per tahun. Belum biaya lain," kata dia.

Wahyu juga merespons jika banyak seniman atau budayawan yang melakukan pentas atau kontes akan merasakan kenaikan tarif sewa lokasi setelah revitalisasi.

"Saya sudah tahu. Itulah yang harus didiskusikan. Di situlah harus bermain dengan kepintaran kita, mana yang pantas disubsidi dan mana yang enggak. Katanya negara harus hadir, iya, ini adalah bentuk nyata kehadiran negara memberdayakan kesenian. Yang penting para pegiat seni bisa berkarya tanpa dirugikan," kata Wahyu.

Proyek revitalisasi TIM sudah dimulai sejak Juli 2019. Total anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp1,8 triliun.

Pemprov DKI sudah mengantongi anggaran yang bersumber dari APBD 2019 sebesar Rp200 miliar. Sisanya, diajukan dalam rancangan anggaran 2020 dan 2021.

Revitalisasi tahap 1 meliputi bangunan Masjid Amir Hamzah berlokasi di area Plaza Graha Bhakti Budaya, Gedung Parkir Taman dan Pos Damkar (Juli-Desember 2019).

Tahap lanjutan, revitalisasi meliputi Gedung Perpustakaan dan Wisma TIM termasuk hotel bintang 5 (Juli 2019-Desember 2020) di area eks kantor DPP angkatan 66 ARH hingga jajaran kantin.

Proyek revitalisasi ini direncanakan akan selesai pada pertengahan 2021.

Namun, sejumlah seniman dan budayawan menolak rencana pembangunan hotel bintang lima pada revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.

Salah satu penggiat seni di TIM, Imam Ma'arif, mengaku penolakan pembangunan hotel bintang lima itu karena beralasan memegang teguh fungsi TIM sebagai pusat seni kreatif dan seni hiburan.

Hal itu, kata Imam, tertuang pada Surat Keputusan mantan Gubernur DKI Ali Sadikin saat meresmikan TIM pada tahun 1968.

Menurut Imam, pembangunan hotel bintang lima oleh Gubernur DKI Anies Baswedan bertolak belakang dengan niat Ali Sadikin. Ia melihat Anies akan menempatkan seni hiburan menjadi prioritas, sedangkan seni kreatif cuma jadi pelengkap.

"Indikasi itu bisa dilihat dari kebijakan Anies menyerahkan mandat pengelolahan PKJ-TIM selama 30 tahun kepada PT Jakpro, sebuah BUMD yang tak terkait sama sekali dengan kehidupan kreativitas seni," kata Imam dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Minggu (24/11/2019) kemarin.

Awalnya, penolakan ini lantang disuarakan beberapa pegiat seni pada diskusi bertajuk "PKJ-TIM Mau Dibawa ke Mana?" yang digelar di Pusat Dokumentasi HB Jassin, TIM, pada Rabu, 20 November lalu.

Diskusi ini menghadirkan Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Dadang Solihin, serta sejumlah budayawan seperti budayawan Radhar Panca Dahana, seniman Imam Ma'arif, sastrawan Taufik Ismail, dan Abdul Hadi WM.

Dalam diskusi tersebut, Dadang menjelaskan alasan pembangunan hotel bintang 5 merupakan benchmark bagi wajah TIM ke depan. Maksud Dadang, nantinya TIM bakal dilihat sebagai sentra kegiatan kesenian dan kebudayaan bertaraf internasional.

Di sela penjelasan Dadang, paguyuban seniman TIM yang hadir kala itu beberapa kali melontarkan penolakan pembangunan hotel. Mereka merasa tak pernah ada diskusi dari Pemprov DKI soal pembangunan hotel kepada para pegiat seni.

Baca juga artikel terkait REVITALISASI TIM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz