Menuju konten utama

Honggo Buron, Kasus TPPI di Kejagung Bisa Berjalan In Absentia

Kasus TPPI akan dilimpahkan kepolisian kepada Kejagung. Persidangan bisa berjalan in absentia.

Honggo Buron, Kasus TPPI di Kejagung Bisa Berjalan In Absentia
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengacungkan jempol seusai memberikan keterangan pers terkait penanganan dan perkembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/12/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd.

tirto.id - Polisi menyerahkan barang bukti dan tersangka tindak pidana korupsi kondensat PT. Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) usai Kejaksaan Agung menyatakan berkas perkara lengkap (P21) pada 3 Januari 2018.

"Polri telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk pelimpahan ke Tahap II terhadap dua tersangka yaitu RP dan DH," ucap Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, di gedung Bareskrim Mabes Polri, Kamis (30/1/2020).

DH ialah Djoko Harsono, bekas Deputi Ekonomi dan Pemasaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), sedangkan RP merupakan Raden Priyono, mantan Kepala BP Migas.

Sementara itu, pendiri PT TPPI Honggo Wendratno yang merupakan tersangka utama dalam kasus ini tak pernah datang memenuhi panggilan polisi dalam proses pengusutan perkara.

Listyo mengatakan, Honggo kini berstatus buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) lantaran tak memenuhi surat panggilan kedua yang dikeluarkan penyidik pada 27 Januari 2020. Bila Honggo tidak datang ke pemanggilan berikutnya, maka akan digelar peradilan in absentia.

Penyidik menetapkan Honggo sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara. Berdasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus kondensat ini merugikan negara sebesar 2,7 miliar dolar AS atau Rp37 triliun.

Rp35 triliun telah dikembalikan kepada negara dan Rp1 triliun berupa aset yang telah disita juga akan diserahkan kepada negara. "Yang kami sita sebuah kilang di Tuban, itu satu kilang yang berhubungan dengan PT TPPI," ujar Listyo.

Kasus ini bermula karena adanya kesalahan dalam penunjukan dan penyalahgunaan kontrak. BP Migas menunjuk PT. TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara pada tahun 2009.

Dugaan penyimpangan yaitu penunjukan PT. TPPI oleh RP atas dasar Surat Keputusan Nomor 0267/2009 bertanggal 18 Maret 2009 dilakukan tanpa melalui evaluasi oleh Tim Penunjukan. PT. TPPI tidak tercatat di BP Migas dan tidak memenuhi persyaratan.

PT. TPPI tidak memenuhi prosedur pengiriman dan pengembalian formulir penawaran dari BP Migas kepada PT. TPPI. Meski tidak memenuhi syarat, RP tetap memerintahkan agar PT. TPPI melakukan lifting kondensat bagian negara.

Jumlah lifting kondensat bagian negara yang telah dilakukan oleh PT. TPPI sejak 23 Mei 2009-2 Desember 2011 sebanyak 33.089.400 barrel senilai USD2.716.859.655. Pelaksanaan lifting dilakukan tanpa adanya jaminan pembayaran dan tanpa adanya Seller Appointment Agreement (SAA).

Penunjukan langsung ini menyalahi Peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara.

Hingga saat ini, Polri masih memburu Honggo dan telah bekerja sama dengan Dirjen Imigrasi untuk menerbitkan Red notice. "Menonaktifkan paspor HW dan keterangan dari pihak Imigrasi, paspornya telah dicabut sejak dua tahun lalu," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Daniel Tahi Silitonga.

Ia melanjutkan, pihaknya masih mencari keberadaan Honggo dan kabarnya berada berada di Hong Kong, Singapura atau China. Ketiga tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KASUS TPPI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Hendra Friana