Menuju konten utama

Hoaks UU Cipta Kerja dan Penangkapan Para Pengurus KAMI

Para pentolak organisasi KAMI ditangkapi polisi terkait aksi tolak UU Cipta Kerja. Aktivis menilainya ini adalah pelarangan terhadap kebebasan berekspresi.

Hoaks UU Cipta Kerja dan Penangkapan Para Pengurus KAMI
Masa membubarkan diri menghindari gas air mata yang ditembakkan oleh petugas saat melakukan aksi tolak Undang-undang Cipta Kerja di Gambir, Jakarta, Selasa (13/10/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nz

tirto.id - Polisi menangkapi anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), organisasi berisi individu-individu yang dikenal sebagai oposisi Joko Widodo, terkait demonstrasi menentang UU Cipta Kerja yang pecah di banyak kota dan puncaknya terjadi pada 8 Oktober lalu. Para anggota KAMI diciduk sehari setelahnya.

"Tim siber Bareskrim Polri dan tim siber Polda Sumatera Utara telah melakukan penangkapan terkait dengan demo omnibus law. Secara berturut-turut mulai tanggal 9 sampai dengan hari ini tanggal 13 tim telah melakukan beberapa kali penangkapan," kata Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono dalam konferensi pers, Selasa (13/10/2020).

Pada 9 Oktober, Direktorat Siber Polda Sumatera Utara menangkap Ketua KAMI Medan Khairi Amri. Besoknya, dua pengurus KAMI Medan, Juliana dan Devi, juga ditangkap. Pada 12 Oktober, tim menangkap pengurus KAMI Medan lain, yakni Wahyu Rasari Putri.

Secara simultan, pada 10 Oktober, Tim Bareskrim Siber Mabes Polri bergerak ke Tangerang Selatan untuk menangkap Kingkin Anida. Ia ditangkap karena dituding menyebarkan hoaks soal UU Cipta Kerja.

Dua hari berselang, polisi Rawamangun, Jakarta Timur, pukul 00.00 menangkap anggota Komite Eksekutif KAMI Anton Permana. Keesokan harinya, 13 Oktober, pukul 04.00 tim tiba di Depok dan menangkap anggota Komite Eksekutif KAMI lain, Syahganda Nainggolan. Polisi kemudian bergerak ke Cipete untuk menangkap Jumhur Hidayat yang juga menjabat anggota Komite Eksekutif KAMI.

Surat penangkapan ketiganya bernomor SP/Kap/165/X/2020/ Direktorat Tindak Pidana Siber tertanggal 13 Oktober 2020. Di sana tertulis Syahganda ditangkap atas dugaan menyebarkan berita bohong atau hoaks melalui Twitter.

Sementara menurut Awi Setiyono, mereka ditangkap atas dugaan menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan SARA, alias penghasutan. Kelima tersangka itu dijerat dengan pasal 45A ayat 2 UU19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman penjara 6 tahun Jo pasal 160 KUHP tentang penghasutan dengan ancaman penjara 6 tahun.

Kendati begitu, Awi tidak menjelaskan detail informasi yang dipermasalahkan, modus operandinya, dan motif mereka melakukan itu.

"Untuk lebih lengkapnya kami masih menunggu keterangan dari tim siber atau Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri setelah nanti dilakukan pemeriksaan secara intensif. Tentunya nanti akan disampaikan lebih lanjut," kata dia.

Dari total 8 yang ditangkap, polisi sudah menetapkan 5 orang menjadi tersangka setelah menjalani pemeriksaan awal 1x24 jam. Yang masih diproses ialah tiga anggota komite eksekutif KAMI. Mereka semua masih berstatus terperiksa.

Keterangan polisi dibantah oleh Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani. Menurutnya, tidak ada satu pun unggahan anak buahnya di media sosial yang terindikasi menyebar kebencian. "Saya baca [cuitan yang diperlihatkan]. Tak ada [penghasutan]. Hal-hal biasa. Apakah betul dengan cuitan-cuitan Syahganda orang mau demonstrasi? Kami belum melihat korelasi dan relevansi antara cuitan dan tuduhan," ujar Yani di Bareskrim Polri, Selasa (13/10/2020).

Dua jam sebelum ditangkap, Syahganda sempat mengunggah komentar atas pemberitaan berjudul Menhan Prabowo Sebut Ada Kekuatan Asing Di Balik Demo Omnibus Law. Syahganda mencuit: "Makan malam makin sinting lihat yang nuding. Sekarang Menhan Jokowi (Prabowo Subianto) menuding aksi demo ditunggangi asing. Lha, jangan mencla mencle, KAMI atau asing yang lu tuding?" (dengan penyuntingan).

Pada 8 Oktober alias hari puncak aksi, Syahganda juga mencuit "kepada kaum revolusioner, silakan baca tulisan saya ini untuk mengerti situasi & tantangan perjuangan ke depan" (dengan penyuntingan) sembari membagikan tulisannya yang dimuat di media RMOL berjudul Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial.

Pada 5 Oktober, Syahganda mencuit: "Saya sudah baca seribuan halaman lebih draf RUU omnibus law itu empat bulan lalu. Saya paham buruknya RUU itu buat buruh, tani, dan rakyat. Beda di USA, omnibus law selalu swing antara usul Republik vs Demokrat, jadi seimbang. Makanya saya salut dan bangga terhadap PKS & PD yang masih bela rakyat" (dengan penyuntingan).

Sementara Anton Permana disebut pernah mengunggah tulisan berjudul TNI-Ku Sayang, TNI-Ku Malang di laman Facebook.

"Kita tidak mau terlalu awal [menyimpulkan ada kriminalisasi], tapi kalau ada kriminalisasi, akan kita lawan," kata Yani.

Tebar Ketakutan

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai penangkapan terhadap aktivis KAMI membuktikan, sekali lagi, kebebasan berpendapat di Indonesia sedang terancam. Tindakan itu merupakan intimidasi terhadap kelompok oposisi dan orang-orang yang menolak Cipta Kerja, yang sejak 5 Oktober lalu sudah berstatus undang-undang.

“Penangkapan ini dilakukan untuk menyebar ketakutan di antara mereka yang mengkritik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.” kata Usman lewat keterangan tertulis, Selasa (13/10/2020).

Karenanya ia menuntut polisi segera membebaskan para pentolan KAMI tersebut. Negara harus memastikan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia sebagaimana dijanjikan oleh Presiden.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai rentetan penangkapan itu adalah ujian bagi demokrasi. Selama ini UU ITE kerap digunakan untuk menangkap orang-orang yang berpendapat di media sosial, padahal semestinya UU ITE ditegakkan dengan menghormati prinsip kebebasan berpendapat.

"Kami, PKS, sudah menggagas agar ada revisi dalam pasal UU ITE khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di sosial media," kata Mardani lewat keterangan tertulis, Rabu (14/10/2020).

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Nasional Demokrat Ahmad Sahroni menyerahkan proses hukum kepada kepolisian. Menurutnya, ada cara lain untuk menyampaikan keberatan atas UU Cipta Kerja, yakni melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.

"Kalau Polri sudah tangkap berarti ada bukti menguatkan tentang yang bersangkutan. Mari kita tunggu press relase dari Polri," kata Sahroni lewat keterangan tertulis, Selasa (13/10/2020).

Baca juga artikel terkait DEMO UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino