tirto.id - Propaganda berasal dari bahasa latih “propagare” yang kurang lebih berarti memekarkan atau mengembangkan. Pesan yang dikandung propaganda tidak objektif dan bertujuan untuk mempengaruhi psikologi sekelompok orang atau masyarakat demi agenda khusus yang terselip di baliknya.
Rezim Orde Baru, misalnya, menggunakan medium film bertajuk Pengkhianatan G30S PKI untuk propaganda anti-komunis. Sesuai ciri propaganda, potongan sejarah dalam film dipilih, didramatisasi, atau dipelintir secara bias. Bahkan ada yang terbukti sebagai informasi palsu alias hoaks.
Amerika Serikat pernah melakukan hal yang sama pada era pasca Perang Dunia II, tepatnya ketika AS dan Uni Soviet pecah kongsi dan memasuki masa Perang Dingin.
Mengutip arsip perpustakaan University of Wahington, periode awal Perang Dingin melahirkan film-film propaganda seperti The Red Danube (1948), The Red Menace (1949), I Was A Communist for the F.B.I (1951), atau Invasion, U.S.A. (1952).
Ada yang digolongkan sebagai film drama, romansa, hingga misteri-detektif bergaya noir. Semuanya mengandung cerita yang mendiskreditkan komunis dalam narasi amat bias, hiperbolis, atau palsu. Selaras tujuan propaganda, yang dicari adalah reaksi emosional, bukan rasional.
Pemerintah AS pernah menerbitkan panduan “Kiat Mendeteksi Komunis” yang dicetak ulang oleh majalah-majalah era 1950-an. Sama seperti rezim Orba, yang disebarkan sebenarnya ketakutan delusional atas bahaya laten komunisme, termasuk ancaman kudeta pemerintahan AS.
Merujuk arsip Northern Illinois University (PDF), isinya panduan tersebut tipikal propaganda yang tidak didasarkan pada riset yang jelas, sekaligus mengandung generalisasi yang keterlaluan. Beberapa di antaranya bisa dibilang konyol belaka.
Pemerintah AS misalnya meminta warganya agar waspada dengan orang yang punya hobi menari dan menikmati musik folk, sebab tarian dan musik folk “biasanya diasosiasikan dengan gerakan Komunis di Amerika Serikat”.
Ada semacam “disclaimer” bahwa penggunaan kiat-kiat tersebut mesti bebas dari prasangka dan menggunakan pendekatan faktual. Meski demikian panduan tersebut tetap membuat banyak warga AS tidak nyaman sebab, sekali lagi, metodenya adalah generalisasi yang tidak jelas.
Contohnya, panduan tersebut juga mengatakan bahwa mereka yang patut dicurigai sebagai komunis adalah siapapun yang suka membicarakan topik-topik kontroversial atau yang senang menghadiri acara yang isinya kritis terhadap pemerintahan AS. Di era tersebut, ada banyak kelompok kritis, dan tidak semuanya komunis.
Salah satu politisi yang paling bersemangat menebar ketakutan atas komunisme di Negeri Paman Sam adalah Joseph McCharty, seorang senator dari Partai Republikan. Ia dikenal sering melempar tuduhan liar, rumor, dan hoaks ke banyak pihak.
McCarthy menuduh ratusan anggota Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai kader atau simpatisan komunis. Ia juga menyatakan bahwa Angkatan Darat AS telah memberikan perlindungan bagi komunis.
Paranoia atas dasar hoaks yang ia sebarkan tak lain dipakai untuk menaikkan popularitas diri. Namun harganya mahal bagi warga AS. Banyak pejabat pemerintahan, intelektual, hingga orang-orang film yang kehilangan nama baik, dipecat dari pekerjaan, dan sulit mendapatkan pekerjaan baru.
McCarthy mempropagandakan Paranoia Komunis (Red Scare) jilid II di tengah-tengah masyarakat AS. Ia menjual ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau komunis, anarkis, atau kiri radikal. Selain McCarthy, politisi maupun institusi negara turut berkontribusi atas berkembangnya Red Scare.
Salah satunya Biro Investigasi Federal AS atau FBI, sebagaimana ditulis Austin Yost dalam makalahnya yang berjudul "Seeing Red in Double Vision" (2013).
FBI memecat ribuan pegawai pemerintah atas tuduhan komunis. Mereka juga melabeli banyak pejabat dan petugas penanggung jawab kesehatan masyarakat, khususnya vaksinasi dan layanan perawatan kesehatan mental, sebagai agen komunis yang bertugas meracuni serta mencuci otak rakyat Amerika.
Badan Intelijen Pusat AS alias CIA tidak mau ketinggalan. Kenneth Osgood, profesor sejarah di Colorado School of Mines, pernah menulis perkara ini untuk New York Times. Ia menyebut CIA sebagai dalang di balik propaganda dalam bentuk pemberitaan maupun iklan selama dua dekade Perang Dingin.
Mengekspor Perang Ideologi
Pada di satu titik, CIA menyadari pertarungan ideologi yang harus mereka menangkan tidak hanya mencangkup masyarakat AS saja, tapi juga dunia. Mereka pun memutuskan untuk melebarkan sayap propaganda ke negara-negara yang baru merdeka. Beberapa negara ini berada di bawah pemerintahan komunis. Beberapa lainnya komunis, namun berusaha lepas dari pengaruh Moskow. Sisanya memiliki pemerintahan populis sayap kiri yang didukung partai komunis setempat.
Pada 1950, CIA mendirikan Radio Free Europe (RFE). Klaimnya, RFE akan menyediakan berita yang berimbang di Eropa Timur. Kenyataannya, mereka memproduksi konten bias atau palsu untuk melemahkan pemerintahan Komunis di balik “Tirai Besi”.
Guna menangkal kecurigaan atas transfer jutaan dolar AS ke kantor RFE yang berpusat di Munich, Jerman Barat, CIA berkilah bahwa uang tersebut berasal dari sumbangan rakyat Amerika.
Dana besar dikelola oleh National Committee for a Free Europe yang dipimpin tukang pelintir nomor satu CIA, Frank Wisner. Kampanye penggalangan dana tahunan bernama Crusade for Freedom (kemudian jadi Radio Free Europe Fund) didukung oleh banyak elite AS.
Presiden Harry Truman dan Richard Nixon adalah dua di antara pendukung tersebut. Ada pula pesohor Ronald Reagan (sebelum jadi presiden), Rock Hudson, Jerry Lewis, dan lain sebagainya. Produser Hollywood turut berkontribusi, demikian juga para pemilik saham media nasional.
Pesan utama RFE sederhana: Rusia itu agresif, Komunis itu jahat, musuh itu tidak bisa dipercaya. RFE mengilustrasikan hidup di Soviet dengan brutal, seakan-akan tidak ada kebahagiaan secuil pun. Rakyat Amerika banyak yang termakan propaganda ini.
Melissa Feinberg, asisten profesor sejarah untuk Ritgers University di New Jersey, akhir tahun lalu juga pernah menulis esai perihal manuver RFE di kanal Aeon. Yang lucu sekaligus ironis, menurut Feinberg, RFE menyatakan berita dari Soviet sebagai hoaks.
RFE tidak sepenuhnya keliru. Soviet juga menyebarkan propaganda selama Perang Dingin. Namun, menariknya, RFE secara khusus maupun pemerintah AS secara umum juga membalasnya dengan propaganda serupa.
RFE giat menggambarkan bagaimana warga Eropa Timur adalah korban tak berdaya dari pemerintahan Komunis yang, sekali lagi, digambarkan brutal dan buas, sehingga sama sekali tidak bahagia.
RFE punya program laris yang berasal dari orang yang mengaku sebagai informan di Eropa Timur. Apakah yang keluar dari mulutnya adalah sebuah kebenaran? Feinberg menyatakan tidak ada cara untuk memastikannya.
RFE tidak melakukan konfirmasi lanjutan atas omongan informan. Inilah contoh manifestasi propaganda AS: asal infonya mendiskreditkan Soviet, maka segera tayang. Sikap anti-Komunis membuat mereka kerap menerima testimoni yang tidak punya dasar kuat sebagai sebuah fakta.
RFE, dalam kata lain, adalah penyebar hoaks. Tidak semua, namun berita non-hoaks pun akan diragukan kredibilitasnya, kata Feinberg, sebab sikap bias telah tertanam sejak pendirian lembaga.
Dalam laporan terkait polisi rahasia di Cekoslowakia, misalnya, RFE mengandalkan narasumber yang bilang bahwa jumlah polisi rahasia amat sangat banyak. Polisi rahasia diklaim ada di tempat kerja, kedai kopi, pub, restoran, bioskop, dan tempat-tempat rekreasi. Katanya “lebih banyak polisi rahasia ketimbang lalat”.
Dampak dari kerja RFE tidak mereka duga: orang-orang di Eropa Timur justru mengamini dirinya sebagai orang-orang yang tak berdaya dalam sebuah tirani Komunis. Efek lanjutannya, cita-cita CIA agar mereka melakukan pemberontakan dari dalam makin pupus.
Alih-alih makin kuat, mereka justru makin lemah. Warga Eropa Timur, lanjut Fienberg, justru terlena dengan imajinasi bahwa suatu hari Washington melakukan operasi militer ke Moskow, menang, dan “membebaskan” mereka. Sesuatu yang tak pernah terwujud hingga hari ini.
Satu imajinasi lain membuat mereka pasrah adalah teori bahwa rezim komunis akan runtuh. Kali ini mereka benar. Tapi, mereka mesti menunggu selama lebih dari tiga dekade hingga Soviet bubar pada awal dekade 1990-an.
Editor: Windu Jusuf