tirto.id - Bagi Sadie Newman, 8 September 2018 akan diingat sebagai hari yang istimewa. Pasalnya, ia resmi ditunjuk menjadi model dalam gelaran Victoria’s Secret Fashion Show 2018 yang rencananya diselenggarakan pada November mendatang.
Kabar gembira tersebut lantas ia tuangkan dalam unggahan di Instagram. Model kelahiran Inggris ini menulis: “Aku sangat bahagia dan emosional untuk mengumumkan bahwa aku akan pergi ke Victoria’s Secret Fashion Show!!!!! 10 tahun bermodel, ini selalu menjadi mimpiku dan aku berhasil melakukannya.”
Turun ke gelanggang Victoria’s Secret Show merupakan impian bagi banyak model. Ajang Victoria’s Secret Show adalah ajang bergengsi—atau malah pencapaian tertinggi—yang kehadirannya senantiasa dinanti oleh seluruh model di dunia.
Singkat kata, Victoria’s Secret Show ialah kombinasi dari gengsi, perputaran uang yang besar, hingga jaminan untuk tenar di masa depan. Dan wajar rasanya apabila Sadie begitu senang.
Karena Takut Dikira Cabul
Ajang Victoria’s Secret Show, catat Teen Vogue, dimulai pertama kali pada 1995 di Plaza Hotel, New York. Hajatan ini menampilkan parade pakaian dalam milik jenama Victoria’s Secret. Sejak debutnya itu, Victoria’s Secret Show menjadi salah satu acara fesyen elite tahunan yang menjamah kota-kota besar macam Milan, London, sampai Paris.
Ada beberapa indikator yang membuktikan betapa elitenya Victoria’s Secret Show. Pertama, acara ini, mengutip Forbes, ditayangkan di 185 negara. Kedua, Victoria’s Secret Show rutin dihadiri model-model papan atas dengan bayaran yang tinggi seperti Gigi Hadid sampai Elsa Hosk.
Ed Razek, Kepala Pemasaran Victoria's Secret, menyebut Victoria’s Show merupakan acara fesyen yang paling banyak ditonton dibanding acara lainnya. Lewat Victoria’s Show, kata Ed, para model bisa mendapatkan kontrak kerja yang mengesankan dengan produk fesyen di seluruh dunia, mengingat acara ini “punya publisitas yang tinggi.”
Kebesaran Victoria’s Show tak datang dalam waktu sekejap. Proses menuju keberhasilan terbentang sejak lama, tepatnya pada 1970an ketika jenama Victoria’s Secret didirikan.
Naomi Barr dalam “The Tragic Story Behind Victoria’s Secret” menceritakan bahwa satu hari, seseorang bernama Roy Raymond, yang juga lulusan Standford, datang ke toko perbelanjaan guna membelikan pakaian dalam untuk istrinya. Di tengah pencarian itu, ia terintimidasi oleh pegawai toko yang seperti mempertanyakan apa motivasinya mencari pakaian dalam.
Pengalaman “diintimidasi” tersebut terus terpatri dalam pikirannya. Dari situ, Raymond lantas memunculkan ide untuk membikin toko pakaian dalam yang dirancang agar membuat “pria merasa nyaman berbelanja di sana.” Nama “Victoria” pun, yang terinsipirasi dari Monarki Inggris, dipilih sebagai nama toko supaya kesan elegan bisa dimunculkan.
Pada 1977, berbekal modal yang didapat dari tabungan serta pinjaman keluarga sebesar 80 ribu dolar, Raymond dan sang istri menyewa ruang di pusat perbelanjaan di Palo Alto, California. Di lokasi inilah Victoria’s Secret lahir.
Tak dinyana, Victoria’s Secret tumbuh cepat. Penjualan mereka terus meningkat. Tujuan Raymond untuk menyediakan toko belanja pakaian dalam yang tidak membikin para pria canggung, perlahan berhasil. Pada 1982, Victoria’s Secret punya omset tahunan senilai 4 juta dolar.
Namun, masih mengutip laporan Naomi, “ada sesuatu yang salah” dalam strategi dan kepemimpinan Raymond yang perlahan berdampak pada kondisi keuangan perusahaan. Di momen ini, datanglah Leslie Wexner, pengusaha perkakas olahraga bernama The Limited—perusahaan yang pada 1977 punya nilai kapitalisasi sebesar 50 juta dolar.
Kedatangan Wexner di Victoria’s bertepatan dengan rencana ekspansi perusahaannya ke produk yang lain. Pada awal 1980-an, ketika mengunjungi toko The Limited di San Fransisco, ia menemukan Victoria’s Secret. Wexner seketika dibuat tertarik. Tanpa pikir panjang, lebih-lebih setelah mendengar kabar Victoria’s yang berpotensi bangkrut, Wexner langsung menyodorkan tawaran pembelian seharga 1 juta dolar kepada Victoria’s. Gayung bersambut; Raymond bersedia menjual Victoria’s ke Wexner.
Wexner kemudian segera menyusun langkah-langkah perbaikan untuk perusahaan. Ia menganggap bahwa salah satu kegagalan Victoria’s di era Raymond adalah mereka tak punya produk yang “ramah terhadap perempuan”—baik secara kualitas maupun kuantitas. Wexner pun terbang ke Eropa guna mempelajari bagaimana butik-butik di sana menghasilkan pakaian dalam yang nampak seksi, tidak murahan, tetap elegan, dan mampu dibeli dengan harga terjangkau.
Sepulangnya dari perjalanan dinas tersebut, Wexner lalu membikin model pakaian dalam yang sesuai amatannya di Eropa. Hasilnya tokcer. Produk-produk Victoria’s Secret mulai mencerminkan citra baru perusahaan. Misalnya, “Miracle Bra” yang laris manis di pasaran. Kesuksesan tersebut membuat Victoria’s Secret jadi jenama yang unggul. Produknya menghiasi sampul Vogue hingga Glamour dan dirayakan jutaan perempuan. Pada 1995, Victoria’s Secret menjadi perusahaan senilai 1,9 miliar dolar dengan total toko sebanyak 670 buah. Memasuki 2000-an, pendapatan mereka hampir mencapai 5 miliar dolar.
Tapi, ada harga yang harus dibayar dari kesuksesan itu. Kala Victoria’s melesat maju dengan segala pencapaiannya, hidup peletak dasar perusahaan, Raymond, justru berantakan. Lini bisnis barunya, My Child’s Destiny, yang menyasar anak-anak kalangan atas, gagal, pernikahannya kandas, dan akhirnya ia bunuh diri dengan melompat dari jembatan Golden State pada 1993.
‘Ayo, Lebih Kurus Lagi!’
Ada banyak model-model ternama yang dilahirkan—atau kian berkembang—bersama Victoria’s Secret. Eva Herzigova, Behati Prinsloo, Helena Christensen, Karen Mulder, Naomi Campbell, Karolina Kurkova, sampai Adriana Lima adalah beberapa contohnya.
Menjadi model Victoria’s Secret, sekali lagi, merupakan impian yang diletakkan di langit oleh banyak model. Selain jaminan popularitas, para model Victoria’s Secret juga bakal memperoleh pundi-pundi uang yang menggiurkan. Tengok saja ketika Taylor Hill, generasi baru Victoria’s, yang bisa mendapatkan 4 juta dolar tiap tahun. Atau Alessandra Ambrosio yang mampu mendapatkan bayaran 5 juta dolar per tahun.
Memang terdapat banyak hal duniawi yang dijanjikan Victoria’s Secret. Masalahnya, tidak semua janji duniawi itu berujung manis. Kasus Erin Heatherton bisa dijadikan contohnya. Dua tahun silam, Heatherton, yang menjadi bagian Victoria's Secret Fashion Show edisi 2008 hingga 2013, mengungkapkan alasannya mengapa ia keluar dari Victoria’s. Menurut Heartherton, ia “berulang kali dipaksa” untuk lebih kurus agar dapat masuk catwalk.
“Dua pertunjukan terakhir Victoria’s Secret, saya diberitahu untuk harus menurunkan berat badan,” kata model dari AS ini, sebagaimana diwartakan Sydney Morning Herald. “Aku langsung berkata, ‘Yang benar saja?’”
Heatherton mengungkapkan kendati ia sudah melahap menu makanan sehat dan rutin berolahraga, ia merasa apa yang dilakukannya “tidaklah cukup untuk membikin dirinya tetap berada di gelanggang Victoria’s Show” saking tingginya tuntutan manajemen.
Praktik semacam itu nyatanya bukanlah praktik baru, terlebih bagi Victoria’s Secret. Dalam “The Weird Atheleticsm of the Victoria’s Secret Model” yang dipublikasikan The Atlantic, Megan Garber menjelaskan bahwa agar “tampil sempurna,” model-model Victoria’s Secret tak jarang harus melakoni aktivitas fisik di luar nalar.
Mulai dari diet ekstrem, mengurangi pasokan cairan pada 12 jam sebelum pertunjukan, hingga melahap banyak pil nutrisi merupakan tiga contoh yang wajib ditempuh model Victoria’s atas nama “keindahan tubuh.” Dampak lain yang ditimbulkan dari pola semacam ini ialah turut bergesernya bagaimana mereka—dan lambat laun juga publik—memandang standar “tubuh yang ideal.” Sekarang, semakin kurus badan Anda, maka semakin besar potensi Anda untuk jadi model tenar.
Pola tersebut dikritik oleh Caryn Franklin, mantan editor majalah i-D sekaligus profesor di Kingston University. Ia menerangkan, dunia fesyen tidak memperhatikan bagaimana pola-pola “membentuk tubuh yang ideal” itu juga turut berdampak pada dunia luar.
“Perempuan didorong untuk merefleksikan diri sendiri karena mereka melihat objektifikasi dalam [dunia fesyen,” ungkapnya kepada The Guardian. “Mereka yang terjun dalam fesyen sejak kecil telah diajarkan untuk memandang diri mereka sendiri sebagai “eksterior.”
Masalah "tubuh ideal" itu hanya secuil narasi tandingan dari kehidupan model yang sekilas tampak glamor dan menyenangkan. Memang, para model mendapatkan popularitas dan tumpukan uang. Namun, apakah semua pencapaian itu bermakna ketika eksploitasi kerja, seksisme, hingga ancaman pelecehan seksual jadi sengkarut di jagat fesyen yang sampai hari ini belum bisa diurai satu per satu? Hanya mereka yang bisa menjawabnya.
Editor: Nuran Wibisono