Menuju konten utama

Hipokondria, Kecemasan yang Malah Memicu Penyakit

Ketika pemeriksaan tubuh dilakukan berulang dan terus menerus hanya karena cemas yang berlebihan.

Hipokondria, Kecemasan yang Malah Memicu Penyakit
Ilustrasi hipokondria. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - David Letterman, pembawa acara temu wicara di Amerika Serikat, punya kecemasan berlebihan tentang kesehatannya. Hal ini terungkap dalam biografi laki-laki 70 tahun tersebut, Letterman: the Last Giant of Late Night, yang ditulis oleh Jason Zinoman. Dilansir People, Zinoman bercerita, “Di kantor, dia [Letterman] akan mempelajari buku The Merck Manual, mencari tahu gejala-gejala dengan tujuan menemukan penyakit apa yang akan mengancam hidupnya.”

Kecemasan berlebihan yang dialami Letterman ini dikenal dengan sebutan hipokondria. Dalam versi teranyar kitab pegangan pakar psikologi—DSM-5—istilah hipokondria sebenarnya telah diubah menjadi dua diagnosis: somatic symptom disorder (SSD) dan illness anxiety disorder (IAD). Namun, istilah lama masih lebih sering digunakan.

Kecemasan berlebihan bisa dikatakan hipokondria bila berlangsung dalam jangka waktu lama. Jika kecemasan ini sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, maka ia bisa digolongkan sebagai gangguan psikologis. Orang yang mengidap hipokondria akan terus berpikir ada masalah dalam tubuhnya, sekalipun dokter mengatakan ia tidak mengidap penyakit-penyakit serius.

Misalkan, orang yang sakit kepala biasa lalu menduga dirinya mengidap tumor otak. Karena kecemasan berlebihan ini, bukan tidak mungkin pula pengidap hipokondria menghindari orang-orang atau tempat-tempat tertentu yang dianggapnya berisiko mendatangkan penyakit berat baginya.

Baca juga Keluar dari Bayang-Bayang Gangguan Kecemasan

Hipokondria yang diderita Letterman bukan hanya hasil pengamatan Zinoman semata. Dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone, Letterman mengakui dirinya memiliki sejumlah problem.

“Selama 30-40an tahun, saya memiliki kecemasan dan hipokondria, saya alkoholik, dan masih banyak hal lain yang membuat saya berbeda dari orang-orang,” ujarnya.

Pikiran-pikiran buruk tentang kesehatan tidak hanya mengendap di kepala. Suatu waktu, Letterman pernah menelepon agennya dalam keadaan panik karena ia berpikir telah kebanyakan mengonsumsi aspirin. Kali lain, Letterman terobsesi selama berminggu-minggu terhadap merkuri di giginya, sehingga tak bosan-bosan ia mengeceknya ke dokter. Sempat pula Letterman membaca-baca buku kesehatan yang akhirnya membuatnya berpikir: ia mengidap “tumor jantung”. Begitu datang ke dokter karena didorong rasa cemas yang membuncah, jawaban yang ia dapatkan adalah, sang dokter tidak pernah mendengar istilah “tumor jantung”.

Berkali-kali mendatangi dokter untuk memastikan penyakit apa yang diderita adalah gejala paling umum yang ditemukan dalam diri para pengidap hipokondria. Bukan hanya pesohor macam Letterman saja yang punya cerita soal ini. Financial Times mencatat, penduduk Korea Selatan pun cenderung mengalami masalah serupa. Mereka akan mengunjungi dokter begitu menemukan gejala tubuh yang dirasa tidak normal, sekecil apa pun itu. Sebuah studi bahkan menyebutkan, saat ditanya opini personal mengenai seberapa sehat tubuh mereka, hanya 33 persen penduduk Korea Selatan yang merasa diri mereka cukup sehat.

Kecenderungan untuk terus menerus memeriksakan diri ke dokter dipandang menguntungkan bagi penduduk Korea Selatan. Karena sering mengecek tekanan darah, apakah diri mereka mengalami obesitas atau penyakit-penyakit kronis, mereka justru berpotensi terhindar dari hal-hal tersebut. Kemungkinan untuk sering-sering memeriksakan kesehatan juga disokong oleh asuransi kesehatan nasional yang dipotong dari gaji mereka. Bagi penduduk berumur 40 ke atas, ada privilese untuk mengakses pemeriksaan kesehatan gratis setiap dua tahun dan pengurangan biaya berkonsultasi dengan dokter.

Infografik Cemas Dulu Sakit Belakangan

Jika Financial Times memotret efek menguntungkan dari hipokondria, lain cerita dengan temuan studi di Norwegia yang dilakukan Berge et. al. (2016). Berdasarkan penelitian mereka, terdapat peningkatan risiko mengalami ischaemic heart disease atau penyakit jantung pada orang-orang yang memiliki masalah kecemasan kesehatan.

Saat merasa cemas, sangat mungkin level stres dalam diri seseorang menanjak. Ian Robertson, psikolog klinis dan neurosaintis kognitif, menyatakan dalam Science of Us, “Stres bisa memicu keluarnya kortisol, hormon yang dapat memberikan kita energi, tetapi dalam dosis tinggi, bisa menimbulkan efek merugikan bagi organ-organ tubuh. Kondisi kortisol yang tinggi juga meningkatkan kemungkinan aterosklerosis [penumpukan zat-zat tertentu di dinding arteri] yang merupakan faktor risiko penyakit jantung.”

Baca juga Depresi Berbahaya Bagi Kesehatan Jantung

Ada alasan lain mengapa hipokondria justru bisa membuat orang mengidap penyakit lebih berat. Menurut profesor psikiatri dari University of Nottingham, Richard Morriss, pengidap hipokondria kerap sangat terobsesi pada gejala-gejala remeh yang mereka pikir berkaitan dengan penyakit berat. Akibatnya, mereka hanya berfokus dan melaporkan gejala-gejala tersebut. Sementara, potensi penyakit yang lebih berat luput dari perhatian si pasien dan si dokter lantaran tidak ada keluhan yang mengarah pada diagnosis dan pengobatan penyakit tersebut.

Kondisi hipokondria dapat pula diperparah dengan mudahnya mengakses informasi kesehatan di dunia digital. Saat mengalami batuk-batuk ringan misalnya, pengidap hipokondria tak akan menunggu waktu lama untuk berselancar di dunia virtual untuk mendiagnosis dirinya sendiri. Dengan mencocok-cocokkan gejala, bisa saja ia berpikir dirinya mengidap pneumonia.

Baca juga Mengenal Pneumonia yang Menggerogoti Hillary Clinton

Atau bila pengidap hipokondria mengalami sakit kepala, yang terlintas di benaknya adalah ia mengalami tumor otak. Kewaspadaan tertimbun oleh kecemasan berlebih, yang salah-salah, bisa memicu tindakan yang tidak tepat saat berusaha mengobati diri sendiri.

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono