tirto.id - Biru adalah warna surga. Di dunia kuno, warna itu begitu berharga karena ia melambangkan dua ketidakterbatasan yang mengungkung manusia, laut dan langit. Siapa saja yang bisa merengkuh biru akan menggapai jagat yang setara dengan para dewa.
Namun, tidak ada yang tahu bagaimana caranya mendapatkan warna biru dari alam. Laut ternyata berwarna transparan jika didekati, dan tidak ada satu pun manusia bisa mencukil langit. Biru juga tidak bisa didapatkan dari sekadar memeras tanaman, menggiling serangga, atau menumbuk tanah seperti warna-warna lain.
Penduduk wilayah Mesopotamia kemudian menemukan satu daerah di mana surga lumer ke bumi dan tintanya mewarnai pegunungan dengan bercak biru. Para raja lokal segera membasuh takhta mereka dengan bercak tersebut.
Pigmen biru itu mewarnai topeng peti Firaun Tutankhamun, cap segel Asiria, dan patung banteng penjaga makam Ur. Artefak-artefak tersebut berumur ratusan, bahkan ribuan tahun sebelum Masehi.
Mereka menamai bercak biru tersebut sebagai lajvard, lazuward, lazuardi. Surga di Bumi.
Orang-Orang yang Berdagang Surga
Dalam bahasa Persia Kuno, lajvard berarti “surga” maupun “langit”. Istilah lajvard juga mengacu pada batu biru yang terkonsentrasi di sekitar Desa Laj, Badakhshan, provinsi paling timur Afganistan.
Satu lokasi mencuat dengan warna biru yang sangat pekat, Sar-e-Sang, tambang penghasil batu biru lajvard terbesar. Dari sana, bongkah-bongkah langit dibawa ke berbagai pelabuhan dan pasar, dekat maupun jauh, dari Mesir hingga Romawi Kuno.
Namun, Sar-e-Sang di Badakhshan bukan satu-satunya penghasil lajvard. Sumber lain ditemukan di Qamsar, sebuah lokasi di dekat Kota Kashan, Iran. Lajvard dari Kashan, atau lajvard-e-Kashi, punya harga yang lebih murah daripada lajvard Badakhshan.
Lajvard-e-Kashi punya persebaran dagang yang luas, terkhusus di Asia Timur. Pigmen yang ia hasilkan menjadi bahan penting dalam budaya Tiongkok. Mereka menamai pigmen tersebut sebagai biru Muslim atau biru Muhammadan.
Sekarang kita mengetahui kalau kedua lajvard itu tidak jatuh dari surga, tapi merangkak dari 'neraka'.
Lajvard Badakhshan terbentuk dari pertemuan antara terobosan magma panas dan hamparan gamping yang menyulam sabuk Himalaya. Fenomena ini serupa dengan proses yang memberikan kita marmer: gamping yang dididihkan ribuan meter di bawah tanah, pada suhu ratusan derajat celcius, dalam rentang jutaan tahun.
Proses ini begitu langka, hanya dua tempat lain di dunia yang punya kelayakan tambang seperti Sar-e-Sang, yaitu di dekat Danau Baikal, Siberia dan Pegunungan Andes, Chili. Batuan ini sekarang jauh lebih dikenal dengan nama lapis lazuli, bahasa Latin dari lajvard.
Sementara itu, lajvard-e-Kashi dari Iran ternyata adalah batuan yang berbeda dengan lapis lazuli, baik dari penampakannya maupun proses pembentukannya. Ia merupakan bijih kobalt, logam yang dalam bentuk alaminya menyerupai butir-butir perak. Warna birunya baru merekah ketika logam tersebut diolah.
Jumlah tambang kobalt lebih banyak daripada lapis lazuli. Tionghoa Kuno bahkan menemukan kobaltnya sendiri di Xinjiang dan Yunnan yang bersinggungan dengan Asia Tengah. Mereka memanfaatkan sumber lokal tersebut ketika mengalami pembatasan impor dari Persia pada masa pemerintahan Kaisar Hongwu (1368 - 1398).
Meskipun begitu, secara umum tambang kobalt tetap merupakan sumber pewarna yang jarang ditemui jika dibandingkan dengan warna-warna lain.
Biru di Kanvas, Biru di Tembikar
Karena kelangkaannya, pigmen biru merupakan barang yang dihargai di seluruh penjuru dunia kuno. Lapis lazuli terutama sangat diburu oleh para seniman dan pengrajin Eropa. Popularitasnya tidak pernah pudar sejak masa Romawi Kuno hingga periode Renaisans.
Pada 1464, Antonio Filarete, seorang arsitek Frezinia, menuliskan, “warna biru itu dihasilkan dari batu yang datang dari seberang lautan, dan oleh karenanya ia disebut sebagai ultramarine." Hal ini sebagaimana dicatat dalam artikel Plesters (1966) dengan judul Ultramarine Blue, Natural and Artificial.
Di lukisan, biru ultramarinumumnya hanya digunakan untuk mewarnai sesuatu yang agung dan suci. Salah satu objek yang sering dijumpai dengan warna biru ultramarinadalah jubah Bunda Maria. Selain itu, Michelangelo konon memesan lapis lazuli dalam jumlah besar untuk melukis The Last Judgement (1536-1541) di langit-langit Kapel Sistina, Vatikan.
Karena harganya yang begitu mahal, banyak seniman memilih bahan lain, khususnya azurit, mineral biru yang kerap ditemukan di tambang tembaga. Hungaria merupakan salah satu produsen azurit terbesar kala itu.
Pigmen yang dihasilkan azurit juga mendapatkan gelar, azzurro citramarine–diterjemahkan secara kasar menjadi “biru dari sisi lautan yang sama”–mengindikasikan sumbernya yang masih berasal dari Eropa, membedakannya dari azzurro ultramarine.
Alternatif lain adalah mencampur keduanya. Biru azurit digunakan sebagai pewarna dasar, sementara biru ultramarin dipakai untuk bagian-bagian yang perlu dibuat mencolok. Dengan begitu, pelukis dapat mengirit uang sembari tetap membanggakan keberadaan lapis lazuli di kanvas mereka.
Di balik puja-pujinya, lapis lazuli punya kelemahan. Ia sangat rentan terhadap panas dan tidak bisa jadi pewarna kerajinan tembikar. Di sektor inilah biru kobalt mengklaim kejayaannya. Warna biru kobalt tidak akan pudar ketika menghadapi suhu tinggi. Alhasil, pigmen itu dipakai dalam membuat perabotan, ubin, bahkan kaca.
Contoh terkenalnya adalah ubin kashi yang namanya lagi-lagi berasal dari Kota Kashan, Iran. Ubin ini memiliki pola geometri kompleks yang biasanya menghiasi lantai, dinding, dan kubah masjid dan madrasah Asia Tengah. Salah satu bangunan pertama dengan ornamen ubin kashi adalah Masjid Jami Qazvin di Iran yang dibangun pada abad ke-12.
Saat ini, lokasi paling populer karena biru kobaltnya adalah Kota Samarkand, Uzbekistan. Menara-menara megah bersanding dengan kubah dan gerbang raksasa, dihiasi oleh dua warna ubin yang menyala, lajvard dan fairuz. Sementara lajvard menjadi lazuardi dalam bahasa Indonesia, fairuz menjadi pirus–turquoise.
Di samping bahan bangunan, tentu tidak lengkap jika membahas biru kobalt tanpa menyinggung porselen putih-biru Tiongkok, perabot makan yang begitu mahal sampai tidak pernah dipakai untuk makan. Saking identiknya dengan Tionghoa, para penutur bahasa Inggris menyebut porselen tersebut sebagai “china”.
Porselen Tiongkok mulai diproduksi secara besar-besaran pada Dinasti Yuan, pasca invasi Mongolia abad ke-13. Kobalt dari Kashan dikirim lewat laut melalui Kota Basra, Irak dan lewat darat melalui Jalur Sutra. Sementara itu, porselen dikirim ke seluruh dunia, termasuk Semenanjung Malaya. Gaya lukisnya ditemukan di berbagai kendi di Malaysia maupun Indonesia, umumnya merupakan kepunyaan para koloni Eropa.
Karena ketenarannya, berbagai usaha dilakukan oleh bangsa lain untuk membajak gaya porselen Tiongkok. DelftwareBelanda adalah satu contoh yang paling sukses. Bentuknya sangat mirip porselen Tiongkok, tetapi dengan gambar yang melukiskan kincir angin, kebun tulip, dan Yesus.
Pencapaian Belanda dalam memalsukan porselen Tiongkok tidak lepas dengan penemuan pigmen biru mutakhir bernama smalt, campuran bijih kobalt dan lelehan gelas. Smalt Eropa menandai rezim baru warna biru yang dicirikan oleh pigmen sintetis dengan produksi berskala industrial.
Ketika Prusia Membunuh Nirwana
Adalah ketidaksengajaan yang awalnya membumihanguskan surga. Pada 1706, seorang pengrajin warna asal Berlin, Prusia, bernama Diesbach secara tak sadar menambahkan darah hewan ketika membuat pigmen merah Florentine. Tanpa ia kira, yang mekar dari campurannya justru adalah warna biru pekat. Lahirlah biru Prusia.
Karena proses pembuatannya yang mudah, harga biru Prusia jadi murah meriah. Ditambah lagi, kualitasnya bisa bersaing dengan biru azurit bahkan ultramarin. Mulai 1724, biru Prusia dengan cepat merambat di pasar Eropa, kemudian merambah ke pasar dunia.
Banyak karya kondang mengandalkan biru Prusia. Vincent van Gogh menggunakannya ketika melukiskan lika-liku langit di The Starry Night (1889), lukisan yang popularitasnya barangkali hanya disaingi oleh Mona Lisa.
Biru Prusia juga tenar di Timur, khususnya Jepang. Katsushika Hokusai memakai biru Prusia untuk menampilkan gelora ombak yang ganas di lukisan cetak kayunya Kanagawa-oki Nami Ura (1831) yang sering diasosiasikan dengan potret tsunami.
Di samping bahan pewarna, biru Prusia menjadi cikal bakal penemuan-penemuan modern lain. Ilmuwan Inggris bernama John Herschel menemukan metode fotokopi industrial pertama di dunia pada 1842 dengan pigmen tersebut. Hasilnya adalah kertas biru dengan tulisan putih. Ia menyebutnya blueprint, cetak biru.
Selain itu, biru Prusia menjadi bahan dasar salah satu substrat paling mematikan bagi manusia. Jika pigmen tersebut dicampur dengan asam sulfida, ia akan menghasilkan gas beracun yang tak berwarna dan dapat larut dalam air. Kita menamainya asam sianida.
Biru Prusia, yang membunuh jutaan manusia, akhirnya juga membunuh nirwana. Lapis lazuli Badakhshan dan bijih kobalt Kashan jatuh pamornya. Tanpa pelanggan, pekerjanya bubar jalan dan tambangnya gulung tikar.
Keluarga Lajvardi yang mengklaim diri sebagai pemilik sah tambang kobalt di Qamsar meratapi hilangnya sumber kekayaan mereka selama berabad-abad akibat biru sintetis Eropa.
“Sebelumnya, produk tambang itu … menghidupi diri [kami] ... sampai beberapa waktu lalu, ketika pigmen [biru Prusia] diimpor dari Eropa… Keluarga Lajvardi sudah tidak bisa menggunakan tambang tersebut selama 30 tahun,” keluh mereka pada 1923, dikutip dari artikel oleh Matin dan Pollard (2015) berjudulHistorical Accounts of Cobalt Ore Processing from the Kashan Mine, Iran.
Beragam zat pewarna biru sintetis bermunculan setelahnya, dengan nama-nama ilmiah yang tidak lagi merujuk kepada langit dan surga, melainkan kepada gugus-gugus hidrokarbon seperti triarylmethane dan phthalocyanine. Produksinya tidak lagi mengandalkan penambang dan pengrajin artisan, tetapi mesin-mesin pabrik.
Namun, kobalt dan lapis lazuli tidak serta merta raib dari peradaban. Dua bahan pigmen biru kuno itu menemukan tujuan hidup baru pasca lapaknya digusur oleh pigmen sintetis.
Kobalt sekarang berkancah di industri baterai ion litium yang menjalankan laptop, smartphone, sampai mobil elektrik. Ia sukses beradaptasi dalam dunia berbasis teknologi bersama dengan kerabat-kerabat logamnya yang lain seperti emas, perak, dan tembaga.
Belakangan, sentra tambang kobalt bergeser dari Timur Tengah ke Afrika, khususnya Republik Kongo. Delapan tambang kobalt terbesar dunia per 2022 berada di negara tersebut.
Sementara lapis lazuli mendapati dirinya di garda depan peperangan. Ia dijual secara ilegal sebagai perhiasan mahal untuk membiayai Taliban, kelompok nasionalis militan Bangsa Pashtun yang pada 2021 berhasil menduduki kursi pemerintahan Afganistan.
Sejak 2016, lapis lazuli mendapatkan label “mineral konflik”. Ia masih berkeliaran di pasar gelap sebagai perpanjangan tangan cita-cita Taliban menegakkan hukum agama versi mereka di Afganistan.
Karena pada akhirnya, biru adalah warna surga.
Penulis: Finlan Aldan
Editor: Dwi Ayuningtyas