tirto.id - "Aneh, negara zonder tentara," ucap Oerip Soemohardjo yang saat itu masih bertugas di Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Ia resah dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin suatu negara yang telah memproklamasikan kemerdekaannya tapi tak memiliki angkatan perang?
Sebagaimana ditulis Wahjudi Djaja dalam TNI Masa Revolusi (2018), Oerip Soemohardjo adalah salah satu penggagas terbentuknya tentara nasional. Ia berpendapat, setidaknya ada dua alasan penting dan perlu agar negara segera membentuk organisasi ketentaraan.
Pertama, ancaman terhadap kelangsungan kedaulatan dari pihak asing belum rampung. Sat iru, di waktu yang hampir bersamaan, Indonesia harus menghadapi tiga musuh sekaligus: tentara Jepang yang belum dipulangkan, tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) mendarat kembali dengan membonceng Sekutu, dan konflik dalam negeri yang dilandasi perbedaan kepentingan.
Kedua, laskar-laskar pejuang masih acap berkeliaran di segala penjuru. Keadaan ini menjadikan stabilitas militer tidak terfokus pada satu komando. Perang kerap diinisiasi laskar di daerah yang bergerak sporadis tanpa konsep matang, sehingga mudah ditumpas musuh. Terlebih dalam beberapa hal, laskar-laskar ini kerap merepotkan dan tidak tahu diri.
Menindaklanjuti pertimbangan itu, pada 5 Oktober 1945, Sukarno mengeluarkan maklumat lewat radio dan surat kabar yang berbunyi, "untuk memperkuat perasaan umum, maka diadakanlah satu Tentara Keamanan Rakyat (TKR)."
Lewat maklumat itu, Sukarno memerintahkan seluruh laskar dan bekas anggota organisasi ketentaraan macam KNIL, Pembela Tanah Air (PETA), Heiho, Badan Keamanan Rakyat (BKR), dan Barisan Pelopor, untuk merapat dan menggabungkan diri ke dalam TKR.
Oerip Soemohardjo diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR yang pertama. Ini bukan perkara mudah. Sebabnya, negara yang baru mentas tentu dilanda banyak urusan yang belum tuntas.
Maka itu, dapat dimaklum apabila dalam perjalanan awalnya, TKR belum demikian sempurna. Salah satu yang vital ialah sistematika pengangkatan jabatan dan pemberian pangkat militer. Acap kali, pangkat militer disusun mengangkangi prosedur resmi dan ilegal.
Kisah Timur Pane dan Laskarnya
Mari bernostalgia sejenak, mundur ke era 1980-an. Masih ingat dengan film Naga Bonar (1986)? Film ini mengisahkan Naga Bonar, tukang copet asal Medan di era revolusi yang mengangkat dirinya sebagai jenderal. Tak hanya dia, hal yang sama juga dilakukan para kombatan lain yang mendukung perlawanannya dalam menghalau Belanda yang berusaha merebut sejumlah wilayah di Sumatra.
Sekali waktu, Naga Bonar dkk. berembuk untuk menentukan pangkat. Semua yang hadir kemudian segera mempunyai pangkat. Murad berpangkat kolonel, Barjo sebagai letnan kolonel, dan Lukman berpangkat mayor.
Semua setuju, kecuali Bujang, orang kepercayaan Naga Bonar yang belum mendapat pangkat. Lukman berpendapat, karena Bujang hanya melakoni kerja-kerja domestik seperti membawa bangku, mencabut pedang, menyiapkan kuda untuk Naga Bonar, dan sebagainya, maka pangkat kopral dianggap cukup baginya.
Berbeda dengan Lukman, Naga Bonar tak mau tangan kanannya cuma diberi pangkat kopral. Begitu pula dengan Bujang yang turut merajuk. Naga Bonar kemudian menegosiasi keputusan rapat, "bagaimana kalau kita naikkan dia (Bujang) jadi sersan?"
"Belum pernah terjadi dalam sejarah tentara di mana pun di dunia ini, orang naik pangkat sekali dalam lima menit,” sela Lukman menyanggah.
Saat Nurdin Pohan, senior Naga Bonar di TKR, mendengar desas-desus Naga Bonar dan para kombatannya memberi pangkat semena-mena, ia protes.
“Susah kalau setiap orang bikin pangkat semaunya... Tapi ini akan segera dihentikan. Semuanya akan diatur, semuanya akan ditentarakan. Disiplin akan diterapkan keras. Dan pangkat-pangkat akan diteliliti kembali. [Tentara] yang pantas jadi prajurit akan dikembalikan menjadi prajurit. Biarpun sekarang pangkatnya kapten atau sersan. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi apa yang sudah dilakukan oleh pasukanmu,” terang Nurdin Pohan kepada Naga Bonar.
Kisah yang ditulis Asrul Sani ini disebut-sebut terinspirasi dari sosok Timur Pane, pejuang asal Tapanuli yang mengorganisasi laskar bersenjata.
Menurut Muhammad Radjab dalam Tjatatan di Sumatra (1958), Timur Pane mulanya adalah seorang pedagang jengkol dan sayuran di Pasar Sambu, Medan. Di tengah kesibukannya berdagang, ia sesekali mencopet dan menjadi jagoan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Timur Pane bergabung dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), organ bersenjata Partai Nasional Indonesia (PNI) di Sumatra Utara. Ia mengorganisasi pasukan Laskar Negara Terbang yang terdiri dari para bandit dan bajingan.
Saat terjadi Pertempuran Medan Area, ia gelisah. Timur Pane sesumbar sanggup merebut Kota Medan dari tentara Belanda hanya dalam waktu 24 jam.
Namun, pernyataan ini berkebalikan dengan anggapan Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (1979). Menurutnya, sebagian besar pasukan Timur Pane justru lebih sering bersembunyi di barisan belakang. Mereka memilih menjarah harta orang-orang Cina dan India kaya daripada harus repot berdarah-darah menghadapi Belanda.
Setahun setelahnya, Timur Pane keluar dari Napindo dan membentuk satuannya bernam Brigade Marsose. Ia mengangkat dirinya sebagai jenderal mayor. Anak buahnya yang kecipratan diangkat sebagai kolonel dan berbagai pangkat opsir lainnya.
Kementerian Penerangan dalam Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara (1952) menulis bahwa Timur Pane menodong anggaran sebesar ƒ 120 juta per bulan kepada S. M. Amin, Gubernur Sumatra Utara untuk membiayai Brigade Marsose. Ia bahkan mengancam akan membanjiri seisi kota dengan darah apabila permintaannya tak diindahkan.
Ulahnya membikin Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardjojo meradang. Namun, Timur Pane tetap ngeyel dengan pangkat jenderal mayor yang ia bangga-banggakan. Ia bersikeras tak ingin kuasanya dicopot atau pangkatnya diturunkan.
Akhirnya, ia diiming-imingi bahwa Brigade Marsose akan dilebur ke dalam TNI, dengan syarat pasukannya dibubarkan. Suhardjo diutus untuk memindahkan bekas pasukannya ke Legiun Penggempur Komandemen Sumatera, dan Timur Pane diangkat sebagai panglimanya.
Tanggal 27 Juli 1947, militer Belanda menggeruduk Medan dengan 500 prajurit. Serangan ini sehubungan dengan agresi militer yang bertujuan merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Mohammad Hatta, sebagaimana ditulis dalam buku Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (1950), meminta bantuan kepada Legiun Penggempur Komandemen Sumatera untuk mengadang pasukan Belanda yang telah mendarat di Pantai Cermin, yang lantas merangsek ke Lubukpakam.
Namun, sesumbar yang pernah dilontarkan Jenderal Mayor Timur Pane hanyalah omong kosong. Pasukannya justru kocar-kacir.
Saat Hatta menginisiasi kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tahun 1948, Legiun Penggempur kena imbasnya. Sebagian besar pasukannya dilikuidasi. Sedangkan Timur Pane harus rela menanggalkan pangkatnya. Gelar Jenderal Mayor kebanggaannya dilucuti.
Masa Revolusi, Era Kisruh Pangkat Militer
Kembali ke maklumat yang dikeluarkan Sukarno pada 5 Oktober 1945, salah satu pemicunya adalah kisruh kepangkatan militer pada masa awal revolusi. Di waktu mula-mula, koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dengan laskar di daerah-daerah belum terjalin dengan baik.
Tak aneh apabila Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah-daerah menyusun sendiri kepengurusan dan struktur organisasi mereka. Pangkat militer dilabeli seenak jidat. Bahkan banyak di antara satuan BKR yang menjalankan operasi militer hanya berdasar keputusan satu dua pimpinan. Alasannya, darurat tindak cepat lantaran musuh masih bercokol di beberapa daerah.
Salah satu kesaksian yang menggemparkan adalah yang disampaikan A. H. Nasution dalam TNI: Tentara Nasional Indonesia Jilid 1 (1970). Ia menyatakan bahwa Indonesia, negara yang baru seumur jagung itu dipaksa memelihara lebih dari setengah juta tentara dan laskar, 60 di antaranya jenderal.
Menurut Hendi Johari, penyebab utama meledaknya jenderal saat masa revolusi Perang Kemerdekaan (1945-1949) adalah karena kekacauan manajemen organisasi TNI. Belum ada sistematika baku yang mengatur pengangkatan jenderal militer.
Siapa pun yang merasa kuat dan mengomandoi banyak anak buah akan merasa berhak mengangkat dirinya menjadi jenderal. Sebuah realitas yang mirip hukum rimba.
Masih menurut Hendi Johari dalam Harian Massa, Nasution pernah menceritakan kisah tentang sersan mayor yang “menyumbang” beberapa ban mobil (barang langka di zamannya) kepada seorang jenderal. Sekonyong-konyong, mayor itu mendapat kenaikan pangkat dari jenderal tanpa melewati prosedur resmi. Sebuah loncatan ajaib di dunia militer.
Dikutip dari Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989) karya Harsya Bachtiar, seorang perwira KNIL baru bisa mendapat titel mayor setelah bertugas lebih dari 20 tahun. Perwira yang berdinas 12 tahun biasanya berpangkat kapten. Pangkat letnan satu disandang setelah menempuh 7 tahun masa pengabdian, atau bahkan bisa lebih hingga 10 tahun.
Apabila ada orang Indonesia mendapat titel mayor pada masa kolonial, hal ini dapat dimaknai sebagai hibah tituler, bukan lantaran dinas ketentaraan. Kebanyakan yang menyandang pangkat ini adalah raja-raja lokal pribumi yang mendapat pengakuan dari Ratu Belanda.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi