tirto.id - Perasaan Nagabonar betul-betul tak karuan hari itu. Pagi-pagi, ketika baru bangun, ia mendapati baju dan tanda pangkat kebanggaannya raib. Tentu Naga geram bukan main, sebab baju itu adalah kunci untuk menunaikan hajat penting: membujuk ibunya agar melamarkan gadis pujaan hatinya, Kirana. Tanpa baju itu, ibunya tak akan percaya bahwa ia kini sudah menjadi sosok pemimpin yang disegani. Sebagai pengganti, demi meluluhkan hati sang ibu, Naga membawakan seperangkat sirih dan pinang.
Meski sudah dibawakan “pelicin” oleh putranya, jalan Naga hari itu tak mulus. Ibunya tidak percaya jika ia sudah menjadi seorang yang dihormati. Bukannya melamarkan, ibunya justru memperingatkan gadis pujaannya supaya “....jangan percaya apa yang dia (Nagabonar) bilang. Pangkatnya itu pun tak benar, bikin-bikinan saja.”
Alhasil, gadis pujaan itu terdiam, dan sang ibu pulang tanpa menyampaikan lamaran yang telah dititipkan Naga. Malah, ketika putra semata wayangnya menanyakan hasil lamaran, ibunya setengah mengejek berkata, “Kataku [kepada gadis itu], ‘Kau jangan percaya sama mulut Si Naga. Dia suka bohong, nanti kau rusak dia bikin!’”
Sebagai pamungkas kekalutan, Naga menerima dua berita sekaligus: pencuri baju kebanggaannya tak lain adalah sahabatnya, Bujang, dan ia telah tewas dalam sebuah penyerangan ke markas musuh. Baju kebanggaan Nagabonar kembali kepada tuannya dengan bercak darah di dada sebelah kiri dan lubang tembus peluru.
Tanpa sempat dicuci, baju itu dikenakan kembali, Naga melaksanakan kewajibannya memberi sambutan perpisahan di persemayaman sahabatnya. Kecamuk perasaan yang tidak sanggup ia tutupi membuat pidato Naga hanya keluar lima kalimat, “Kau sudah kularang bertempur. Tapi kau bilang, kau mau bertempur. Kubilangi jangan bertempur, tapi kau bertempur juga. Itulah. Sekarang, matilah kau!”
Cuplikan film Nagabonar (1987) yang disutradarai M.T. Risyaf barangkali sudah jarang diingat orang. Film berlatar revolusi fisik 1945-1949 itu mengangkat potret sosok pejuang kemerdekaan yang berangkat dari latar belakang yang amat jauh dari politik: seorang pencopet. Bersama kawan-kawannya, seperti Lukman (tamatan HBS—setingkat SMA—yang berdagang beras), Murad (pelapak warung kopi langganan Naga), Bardjo (mantan guru sekolah), dan Bujang, sahabat senasibnya, Nagabonar mengorganisasi laskar rakyat di pelosok Sumatra Utara.
Perjuangannya antara lain dimulai dengan membongkar gudang amunisi Jepang serta menguras isinya untuk mereka pakai menggempur NICA. Berkat kepeloporannya, teman-temannya menunjuk Nagabonar sebagai pemimpin dalam sebuah rapat koboi, dan memberinya pangkat tertinggi. Maka Nagabonar si pencopet sekejap berubah jadi “Jenderal Nagabonar”.
Transformasi Nagabonar, dari seorang copet yang beroperasi di daerah Kesawan, Medan, menjadi seorang “jenderal” di tengah laskar rakyat di Sumatra Utara, tersaji dalam film berdurasi 101 menit sebagai suatu karikatur revolusi fisik yang jenaka namun tetap memiliki komposisi historis yang mengena dan otentik, termasuk dengan ungkapannya yang melegenda, “Apa kata dunia!?”
Gambaran cerdas menyulap seorang pencopet menjadi “jenderal” di tengah revolusi fisik itu tercipta dari tangan dingin Asrul Sani. Ia adalah pengarang yang berkiprah dalam kesusastraan Indonesia sejak awal 1940-an, mendobrak kebakuan sastra yang dicetuskan majalah Poedjangga Baroe, dan aktif dalam pergolakan kebudayaan era 1950-1960-an, untuk kemudian menekuni jalan kebudayaan hingga usia senja.
Tak Berbakat di Sekolah Teknik
Kepiawaian Asrul Sani dalam kesusastraan Indonesia bermula dari ketidaksengajaan. Terlahir sebagai putra kedua keluarga raja Sutan Marah Sani Syair Alamsyah di Rao, Sumatra Barat, pada 10 Juni 1927, Asrul beroleh banyak dukungan dari keluarga untuk pengembangan intelektualitasnya. Buku, terutama, sudah akrab dengan dirinya sejak dini.
Kakak kandungnya, Chairul Basri, dalam tulisannya yang terhimpun dalam bunga rampai Asrul Sani 70 Tahun (1997), mengenang habitus membaca di keluarga mereka tumbuh karena peran ibu. Meski tidak mengenyam pendidikan formal, tetapi ibunya mempunyai kemauan belajar yang gigih, sampai membuatkan perpustakaan yang diisi buku-buku terbitan Balai Poestaka.
“Bayangkan, waktu itu tahun 1927, dan belum ada perpustakaan lengkap di kabupaten ataupun kecamatan. Ibu adalah orang yang sangat suka membaca,” kenang Chairul (1997: 18). Chairul menduga, kecintaan Asrul pada sastra tergugah melalui buku-buku yang ia baca sendiri maupun cerita-cerita rakyat yang didongengkan ibu mereka setiap menjelang tidur.
Kegemaran membaca ini kian terpupuk kala mereka pindah ke Bukittinggi, di sana terdapat perpustakaan yang mengoleksi buku berbahasa Belanda dan Indonesia. Perpustakaan itu melayani peminjaman buku bagi anggota-anggotanya dengan membayar lima sen sampai sebuah buku selesai dibaca. Secara kreatif, Asrul menyiasati aturan di perpustakaan dengan membuat “denda” satu sen bagi siapa saja yang menyenggol buku pinjamannya. Dengan uang “denda” itulah ia membayar uang pinjaman buku perpustakaan.
Kecemerlangan Asrul dalam menyerap informasi yang ia peroleh dari bacaan pulalah yang kiranya mendorong kecerdasannya di sekolah. “Angka berhitungnya sangat tinggi,” ujar Chairul saat mengingat prestasi adik kandungnya semasa sekolah. Gelagat Asrul yang sewaktu remaja pernah mengotak-atik sebuah gramofon membuat Chairul mendorong adiknya agar melanjutkan pelajaran di Koningin Willem School (KWS)di Batavia, sekolah teknik yang dikenal membutuhkan nilai berhitung yang tinggi. Asrul ikut ujian masuk KWS, dan nilai yang ia dapat ternyata memuaskan. Dengan bekal ijazah HIS, ia berangkat ke Batavia pada 1939 bersama ibunya.
Kendati demikian, nilai ujian tinggi dan pengalaman membedah gramofon tidak serta-merta menjadi bukti minat Asrul dalam teknik. Angka-angkanya buruk untuk ilmu-ilmu pertukangan dan teknik mesin. Asrul sempat mau pindah sekolah, tetapi abangnya mengatakan bahwa sekolah di manapun sama. Secara kebetulan, Perang Pasifik mulai berkecamuk dan ibunya meminta ia pulang Rao karena takut hubungan dengan Sumatra akan putus sewaktu-waktu karena perang. Asrul mula-mula ingin tinggal di Rao saja, tetapi ibunya merasa anak bungsunya itu tak akan dapat bekerja apa-apa di Rao, sehingga ia lebih baik kembali ke Batavia.
Keluar dari sekolah teknik, Asrul segera masuk ke Taman Dewasa Jakarta yang juga ditutup, tidak lama setelah Jepang masuk Batavia. Banting setir dari rumpun ilmu teknik, Asrul segera menancapkan perhatian dan minatnya pada sastra. Ia termotivasi menulis, terutama saat ia tidak sengaja menemukan puisi penyair Yunani, Sappho, di lemari buku keluarganya.
Asrul yang sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer di Taman Dewasa, mengawali kepenulisannya dengan sebuah sajak berjudul “Kekasih Prajurit” yang dimuat dalam majalah Pemandangan. Mulailah ia gemar menggali berbagai macam bentuk puisi dari buku-buku yang tersedia di Perpustakaan Gedung Gajah maupun pasar loak. Semangat Asrul yang menjadi-jadi dan dimatangkan dalam penjelajahan berbagai buku itulah yang mendorongnya mengkreasikan sebuah gaya baru dalam sastra yang mendobrak pakem sastra zaman itu, yang masih dominan dengan corak Sutan Takdir Alisjahbana dan majalah yang dipimpinnya, Poedjangga Baroe.
Matang Bersama Si Binatang Jalang
Pendudukan militer Jepang terjadi persis di usia peralihan Asrul dari remaja ke dewasa. Ia baru 15 tahun saat Jepang mulai berkuasa. Tak pelak, kurun remaja Asrul ditempa pergantian zaman ini, yang sekaligus membuka jalan bagi kiprahnya di kemudian hari. Selain menggali ilmu secara otodidak melalui buku bacaan, zaman Jepang juga menjadi awal perkenalan Asrul dengan sejumlah seniman dari berbagai disiplin, mulai dari Cornel Simandjuntak, Rivai Apin, Baharuddin M.S, Affandi, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, hingga sahabat karib yang tidak terpisah dengan namanya, Chairil Anwar.
Perkenalan Asrul dan Chairil dilukiskan amat cair dan spontan dalam biografi berjudul Chairil yang dianggit Hasan Aspahani (2016). Mereka berjumpa saat tengah memilih-milih buku di sebuah lapak di daerah Senen, kira-kira pada awal masuknya Jepang ke Jakarta. Chairil yang segera akrab dengan Asrul kemudian mulai berdiskusi tentang pentingnya membentuk suatu angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia. Terlebih sesudah Chairil mengetahui kesamaan pandangannya dengan pandangan Asrul, yang antara lain terlihat dari sajak-sajak Asrul yang membuat Chairil berseri-seri saat membacanya.
Keakraban Chairil dan Asrul berlanjut sebagai sahabat sekaligus lawan diskusi yang tangguh. Asrul mengagumi kemampuan Chairil mengolah bahasa Indonesia yang masih sangat jauh dari sempurna menjadi bertenaga dan penuh vitalitas. “‘Kau punya rasa bahasa yang luar biasa. Kekuatanmu adalah kemampuan memberi nama pada kosakata Indonesia, yang masih baru dan mentah ini,’ kata Asrul pada Chairil pada suatu malam,” catat Aspahani (2016: 144).
Cara Chairil menguji ketangguhan kawan yang berselang umur lima tahun dengannya ini pun dahsyat. Suatu kali, Chairil membangunkan Asrul di rumahnya pukul tiga pagi, lantas mengajaknya berjalan kaki tanpa tujuan, semata untuk mendengar Chairil mengoceh sepanjang jalan. Untungnya, obrolan dengan Chairil tak pernah membosankan dan selalu berbobot. Salah satu topik pembicaraan mereka adalah kegelisahan Chairil tentang puisi-puisinya, yang dalam pandangan Said Reksohadiprodjo, guru Asrul di Taman Dewasa, telah merusak tata bahasa.
Menjawab kegelisahan sahabatnya, Asrul membenarkan pendirian Chairil, “Kepala sekolahku itu tidak mengajar bahasa. Mana mengerti dia sajak. Dia mengajar Teori Mendel. Kita penyair, bukan guru. Kita harus merebut bahasa dari tangan guru bahasa itu. Peduli apa dengan tata bahasa? Dengan sajak kita menjelaskan apa yang ingin kita utarakan. Kalau tata bahasa menghalangi maksud kita, ya, kita bengkokkan saja. Kita belokkan saja. Itu yang kulihat kau lakukan dengan sajak-sajakmu.”
Persahabatan Chairil dan Asrul berlanjut saat kekuasaan Jepang rontok dan Republik Indonesia berdiri. Asrul yang kemudian sempat bergabung dalam ketentaraan lewat Pasukan 0001 di bawah kepemimpinan Zulkifli Lubis, tidak serta-merta meninggalkan kesenian. Bersama Chairil, Rivai Apin, dan Mochtar Apin, mereka mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” yang menerbitkan lembar sisipan “Gelanggang” di mingguan Siasat yang dipimpin Rosihan Anwar dan Soedjatmoko.
Sentuhan pembaharuan dalam kesusastraan Indonesia yang dimotori triumvirat Asrul Sani-Chairil Anwar-Rivai Apin terlihat dalam dua karya mereka: kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir (1950) dan dokumen “Surat Kepertjajaan Gelanggang”. Tiga Menguak Takdir yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Poestaka dianggap sebagai tonggak pencapaian sebuah gerakan baru yang dijuluki H.B. Jassin sebagai “Angkatan 45”.
Antologi yang kemudian memperoleh tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia, menurut A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980), menggunakan judul yang mirip dengan kumpulan puisi tiga penyair Belanda, Drie op een Perron (Tiga di Atas Perron), yang terbit pada 1938. Kata “Takdir” dalam judul Tiga Menguak Takdir, agak mirip dengan “Perron” dalam Drie op een Perron. Ia bisa bermakna literal, yaitu nasib, tetapi bisa juga mengarah pada sosok Sutan Takdir Alisjahbana, patron Poedjangga Baroe yang hendak “dikuak” para penyair muda karena dianggap menghalangi jalan mereka. Sementara “Perron” bisa dimaknai sebagai pelantar tempat menunggu kereta api, tetapi sejatinya mengarah pada Charles Edgar Du Perron, esais dan kritikus sastra yang pandangannya dilawan tiga penyair dalam Drie op een Perron.
Sementara Tiga Menguak Takdir ditandai sebagai mahakarya Angkatan 45, dokumen “Surat Kepertjajaan Gelanggang” yang terbit di mingguan Siasat pada 22 Oktober 1950 dinilai sebagai manifesto sekaligus pernyataan ideologis Angkatan 45. Asrul yang mengonsep naskah itu, dan sebelumnya sudah ditandatangani pada 18 Februari 1950, sepuluh bulan setelah Chairil Anwar meninggal dunia.
Dalam naskah tersebut, Asrul antara lain mengungkap jati diri dan komitmen seniman Indonesia sesudah merdeka untuk mematahkan arus kebudayaan lama yang dibangun selama masa penjajahan:
“Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang jang harus dihantjurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masjarakat) adalah penghargaan orang-orang jang mengetahui adanja saling-pengaruh di antara masjarakat dan seniman.”
Menjajal Panggung dan Layar Putih
Setelah Pengakuan Kedaulatan, Asrul memutuskan hengkang dari ketentaraan karena menganggap perjuangan sudah selesai. Ia kembali fokus ke bidang sastra dan kebudayaan, antara lain dengan terus mengasuh rubrik “Gelanggang”, meski organ asli pengasuhnya, Gelanggang Seniman Merdeka, sudah ringkih karena pentolan-pentolannya banyak bergabung ke Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) yang didirikan pada 17 Agustus 1950.
Sembari mengasuh rubrik “Gelanggang” yang dikenal berbobot namun sukar dibaca umum itu, Asrul meneruskan pendidikan formalnya yang terputus di awal pendudukan Jepang di Sekolah Kedokteran Hewan Bogor (kemudian berubah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, kini IPB) hingga tamat pada 1955. Pendidikannya ini menjadikan Asrul berhak menyandang gelar dokter hewan, meski dalam wawancara dengan majalah Vista tahun 1988, Asrul mengaku ilmunya benar-benar tidak bermanfaat, sementara dasar-dasar keilmuan dokter hewan sudah dilupakannya sama sekali.
Pada 1952, atas undangan Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa), Asrul ikut diundang sebagai tamu dalam “Simposium Kesusastraan Modern Indonesia” yang diadakan di Amsterdam, Belanda. Sebagai penerjemah yang juga bekerja dalam Biro Penerjemahan Sticusa di Jakarta, Asrul didapuk menjadi pembicara bersama Sutan Takdir Alisjahbana. Simposium ini, menurut Liesbeth Dolk dalam artikel “An Entangled Affair” yang dimuat kumpulan Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (2011), bertujuan sebagai ruang diskusi antar-kolega sesama pengarang, dan dianggap cukup berhasil karena mempertemukan ratusan orang penulis dari dua negara Belanda dan Indonesia, termasuk G.J. Resink dan Andries Teeuw yang mewakili pengarang Belanda kala itu (2011: 69).
Hasil kunjungannya ke Belanda tidak ia tinggalkan sebagai pengalaman melancong belaka. Asrul kemudian mengangsu ilmu di Akademi Senidrama Amsterdam guna melengkapi pengetahuannya mengenai teater secara konkret, terutama garis-garis besar tentang dunia teater dan keaktoran yang ia peroleh dari kitab klasik Konstantin Stanislavsky. Belum merasa lengkap dengan ilmu yang didapat di Negeri Kincir Angin, Asrul--yang mengunjungi Harvard University untuk menghadiri seminar kebudayaan pada 1954--juga tak menyia-nyiakan kunjungannya itu dengan menyempatkan memperdalam ilmu seni panggung, bahkan mengikuti dari dekat sebuah grup teater bernama “Playwrights Theatre”.
Bekal inilah yang diwujudkannya bersama Usmar Ismail dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada 1955. Mereka memanggungkan naskah saduran dan terjemahan dari teater Eropa di Aula Universitas Indonesia, dan mendidik sejumlah punggawa seni drama Indonesia di kemudian hari, antara lain Teguh Karya, Wahyu Sihombing, dan Soekarno M. Noor.
Tak puas dengan teater, di pertengahan 1950-an pula, Asrul mengawali debut sebagai penulis skenario film. Skenario pertamanya yang menjadi klasik, Lewat Djam Malam, berhasil digubah menjadi film oleh Usmar Ismail dan menyabet penghargaan Film Terbaik di Festival Film Indonesia pertama tahun 1955. Sesudah melawat sekali lagi ke Amerika Serikat antara 1956—1957, Asrul mulai menekuni dunia film, dibuktikan melalui penyutradaraan film pertamanya, Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959) dan Pagar Kawat Berduri (1962).
Tanpa Gentar Mengadang Lekra
Ketika konstelasi politik nasional memanas sampai ke ranah kesenian, Asrul memilih enggan untuk bungkam. Walaupun ia dekat dan sempat mendapat dukungan Joebaar Ajoeb agar bergabung ke LEKRA, panggilan hati Asrul menjatuhkan pilihannya pada rival dan kemudian seteru LEKRA yang memiliki kecenderungan antikomunis kuat, yakni para seniman yang membawa panji-panji kebudayaan bernapas Islam. Pilihan ini diambil Asrul lantaran ide agar PSI membentuk lembaga kebudayaan diblokir Soedjatmoko yang mempertanyakan model “kebudayaan sosialis” yang diusung lembaga itu.
Dalam situasi itu, Asrul juga mendapat dukungan dari seniman-seniman yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama untuk mengadang LEKRA. Maka berdirilah Lembaga Seniman dan Budajawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) pada 1962, yang dipimpin Asrul dan Usmar Ismail. Pendekatan kepada para ulama dan kiai-kiai di pesantren, Asrul memercayakannya pada Djamaluddin Malik, produser film dan rekannya di Persatuan Artis Republik Indonesia, yang saat itu menjadi Ketua I Nahdlatul Ulama. Aspirasi yang dibawa oleh Asrul melalui Djamaluddin Malik antara lain pentingnya dukungan dari para ulama terhadap kesenian, serta fungsi vitalnya terhadap kemajuan masyarakat dan bangsa.
Pendirian Asrul yang mengorganisasi lembaga kebudayaan dengan corak antikomunis tentu saja membuat karya-karyanya disorot dan sempat diserang oleh kelompok kiri. Jika film pertamanya relatif sepi dan “aman” dari serangan, maka film keduanya, Pagar Kawat Berduri, dituding mempromosikan simpati terhadap kolonial Belanda yang menjadi korban di film itu—sesuatu yang tabu bagi masa-masa darurat Trikora. Eskalasi serangan terhadap film ini teramat besar sampai-sampai Presiden Sukarno turun tangan. Sesudah menyaksikan film tersebut dan menyatakan muatannya tak bertentangan dengan revolusi, maka serangan terbuka pun mereda, meski peredarannya tetap macet karena dihalang-halangi (1997: 120).
Pencapaian LESBUMI di bawah kepemimpinan Asrul dan Usmar Ismail ialah saat memproduksi film Tauhid pada 1964. Film yang mengisahkan pergulatan spiritual seorang dokter dalam perlawatannya ke Makkah ini terhitung proyek besar masa itu, karena selain harus didanai dua kementerian sekaligus, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan, juga membutuhkan pengambilan gambar di Arab Saudi. Amanat Presiden Sukarno yang tak mau film ini menjadi sekadar film dakwah medioker, tetapi mampu mencerminkan “api Islam”, menambah beban berat awak produksi untuk memenuhi ekspektasi presiden.
Selain itu, politik luar negeri Indonesia yang dinilai Arab Saudi agak condong ke Blok Timur, menyulitkan perizinan pemakaian Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebagai tempat pengambilan gambar. Pejabat Arab Saudi merasa riskan jika produksi film ini—saat Arab Saudi masih konservatif dan melarang semua ekspresi kesenian—akan memantik perseteruan di segelintir kalangan agama. Setelah kerja keras, akhirnya film ini berhasil beredar, meski respons pasar jauh dari harapan, terutama karena kesulitan ekonomi dan dominasi kelompok kiri di berbagai bidang. Alhasil, dengan kopi film yang rusak karena tidak disimpan cukup baik, film Tauhid kini tidak bisa disaksikan lagi.
"Amatir" yang Serba Bisa
Setelah berakhirnya ontran-ontran politik yang menggulingkan Presiden Sukarno, iklim kebudayaan di tanah air praktis kurang darah. Garis kesenian LEKRA yang ikut dibabat dalam pembantaian massal terhadap orang-orang tertuduh komunis menjadi pukulan telak bagi dominasi kebudayaan yang mendadak sepi dan lesu.
Menurut Misbach Yusa Biran dalam catatannya “Asrul dalam Film”, yang dihimpun dalam Asrul Sani 70 Tahun, lesunya alam kebudayaan sesudah Orde Baru merebut kekuasaan ini baru menemukan titik terang sesudah pemerintah turun tangan mensponsori pembuatan film percontohan dengan sutradara papan atas, demi menggugah minat para penonton dan produser film. Asrul termasuk satu dari sekian banyak “orang film” yang tertarik dengan tawaran ini dan menikmati pendanaan untuk film ketiga yang disutradarainya, Apa jang Kautjari Palupi? yang beredar pada 1970, dan meraih penghargaan Film Terbaik dalam Festival Film Asia 1970 yang diadakan di Jakarta.
Akan tetapi, menghidupkan perfilman tanah air bukan usaha yang cukup menyengat kembali gairah kebudayaan. Dengan dasar itulah Asrul diundang Gubernur Jakarta Ali Sadikin bersama sejumlah seniman lain untuk mengolah gagasan tentang perlunya organ yang memotori dan menampung kegiatan kesenian. Maka terbentuklah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1968, dengan Asrul sebagai ketua pertamanya. Inisiatif Gubernur yang disambut hangat oleh para seniman ini membuat DKJ leluasa melahirkan organisasi anakannya seperti Akademi Jakarta (AJ), Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, kini Institut Kesenian Jakarta), dan Taman Ismail Marzuki sebagai panggung ekspresi. Semua lembaga itu dipusatkan di satu kawasan bernama Pusat Kesenian Jakarta (PKJ).
Dasawarsa 1970-1980-an menjadi masa-masa prolifik Asrul menulis berbagai skenario dan menyutradarai film. Skenario karya Asrul yang memiliki ciri khas pada kekuatan watak tokoh-tokoh dan struktur cerita yang padat difilmkan menjadi Al-Kautsar (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1983, pembuatan ulang dari skenario yang difilmkan pada 1959) Kejar Daku Kau Kutangkap (1985), dan Nagabonar (1987).
Asrul juga aktif menulis skenario dan menyutradarai alih-wahana karya-karya sastra sebagai film, seperti Salah Asuhan karya Abdoel Moeisyang difilmkan pada 1972, Bulan di Atas Kuburan karya Sitor Situmorang pada 1973, dan Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H. yang naik layar putih pada 1977. Belakangan, ketika gairah perfilman meredup, Asrul tak habis akal dan menulis skenario untuk sinetron, yang juga diangkat dari karya sastra Balai Poestaka, seperti Siti Nurbaya (1991) dan Sengsara Membawa Nikmat (1991). Alih-wahana ini, menurut Asrul, diharapkan akan memantik keinginan penonton untuk membaca buku-buku asal cerita itu, yang diharapkan membangkitkan gairah terhadap sastra Indonesia periode awal.
Di luar perfilman, Asrul tetap bersetia pada pekerjaan lamanya, yaitu menulis esai dan menerjemahkan naskah lakon dari berbagai pengarang dunia: Albert Camus, Anton Chekhov, Jean Paul Sartre, Nikolai Gogol, Federico Garcia Lorca, Fyodor Dostoyevsky, Joseph Conrad, Franz Kafka, Henrik Ibsen, dan lain-lain. Ajip Rosidi memperkirakan naskah lakon terjemahan Asrul berjumlah lebih dari 100 judul, tetapi belum semua dipanggungkan dan masih tersimpan sebagai bank naskah pribadi Asrul. Produktivitas di beragam bidang itu karena ia senantiasa merasakan diri sebagai seorang amatir, bukan sosok profesional yang harus bekerja dalam kantor, tetapi bisa menulis apa, kapan, dan di mana saja, sesuai pembawaan hati dan suasananya.
Terhadap sumbangsih dan kiprah besar Asrul dalam kesusastraan modern Indonesia, Ajip Rosidi sempat menyurati Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, pada 1994, agar ada perguruan tinggi negeri di Indonesia bersedia menyematkan gelar Doctor Honoris Causa kepada Asrul Sani. Ide Ajip Rosidi ditanggapi hangat oleh Menteri Wardiman, tetapi karena panjangnya prosedur birokrasi yang berganti-ganti pejabat, maka Asrul tak kunjung menerima gelar kehormatan itu.
Pada pertengahan tahun 2002, Asrul terjatuh di kamar mandi dan harus operasi tulang pinggul yang diganti logam. Pemulihan sakitnya berjalan cukup lambat, maka itu ia tidak mau dijenguk rekan-rekannya, termasuk Ajip yang menyunting sejumlah buku dan aktif dalam menerbitkan himpunan karya Asrul yang tersebar di banyak media.
“Mungkinkah ia tidak ingin diketahui dalam keadaan sakit sehingga saya akan selalu mengenangnya sebagai seorang yang tampan dan bijak?” tanya Ajip dalam hati. Meninggalkan seorang istri dan enam anak, Asrul Sani berpulang pada 11 Januari 2004, tepat hari ini, 18 tahun lalu.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi