Menuju konten utama

Perempuan Seniman Indonesia Menembus Batas-Batas Media

Lanskap seni visual perempuan Indonesia semakin berwarna berkat persembahan kontemplatif Ayu Arista Murti, Endang Lestari, dan Theresia Agustina Sitompul.

Perempuan Seniman Indonesia Menembus Batas-Batas Media
Dua pengunjung sedang mengagumi lukisan-lukisan abstrak karya Endang Lestari yang tertuang dalam pelat-pelat baja galvanis. Di depan mereka terdapat tumpukan bola-bola keramik yang diberi judul 'Breath of the Earth: Osmotic Journeys' (2024). (FOTO/Sylviana Hamdani)

tirto.id - Kiprah perempuan perupa Indonesia seakan tiada hentinya membuat kita berdecak kagum. Melalui kanvas hingga instalasi, mereka mengekspresikan identitas, pikiran, dan perasaannya menjadi karya yang kritis, kontemplatif, dan inspiratif.

Selama tiga minggu terakhir, Galeri Nasional Indonesia menjadi rumah untuk hasil kreasi lintas media karya Ayu Arista Murti, Endang Lestari, dan Theresia Agustina Sitompul dalam pameran bertajuk Tiga Sisi: Jelajah dan Media.

Dalam konferensi pers tanggal 13 Juni silam, kurator Asikin Hasan sempat berseloroh bahwa trio ini terlihat seperti sekelompok anak perempuan yang sedang asyik bermain tanah dan cat.

“Tapi penjelajahan mereka selama bertahun-tahun sangat serius,” ujar Asikin, “dan penjelajahan ini sebenarnya sangat penting bagi seorang seniman karena dari situ akan punya banyak pengalaman. Dari situ juga bisa mengembangkan teknik dan keahlian mereka.”

Ayu, Lestari atau Tari, dan Theresia menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ayu mengambil jurusan seni lukis pada 1997, Lestari atau Tari jurusan seni keramik pada 1995, sedangkan Theresia jurusan seni grafis pada 1999.

Meskipun mengeksplorasi media yang berbeda, mereka berbagi satu kesamaan: selalu berusaha untuk memanfaatkan media-media yang “tidak umum” digunakan.

Mengubah Sampah Menjadi Kreasi Bernilai Seni

Pada pameran kali ini, aula utama Gedung A dibagi menjadi tiga ruangan untuk menaungi hasil kreasi masing-masing perupa.

Ruangan Ayu terasa hidup dengan warna-warni cerah yang menggugah. Dinding-dindingnya dipenuhi kanvas dan bingkai berbagai ukuran, yang menampilkan makhluk-makhluk astral dan pemandangan transendental dalam rona lembut yang tampak hampir bening.

diajeng Pameran Tiga Sisi

Dari kiri, Asikin Hasan (kurator), Endang Lestari, Ayu Arista Murti dan Theresia Agustina Sitompul berpose untuk media di depan karya instalasi Ayu yang berjudul 'Wandering Mind' (2024). (FOTO/Sylviana Hamdani)

Ayu menuturkan, nuansa warna demikian dihasilkan dengan menuangkan air pada beberapa bagian di lukisannya.

"Saya pernah membaca penelitian menarik dari Masaru Emoto bahwa air bisa menyerap dan mentransfer energi," kata Ayu, menyinggung nama penulis buku asal Jepang The Hidden Messages in Water (2004), "Jadi ketika saya melukis, saya tuangkan air-air itu dengan segenap rasa.”

Sebagian besar inspirasi lukisan Ayu datang dari kehidupan pribadi dan lingkungan rumahnya.

"Rumah saya itu memang di pinggir sungai persis," cerita Ayu, "Jadi saya sering berkarya di luar rumah. Saya bentangkan kanvas-kanvas di pinggir sungai.”

“Dan ketika saya melukis di alam, alam juga berdialog dengan saya melalui sinar matahari, melalui angin dan melalui suara gemericik air.”

Dialog dengan alam inilah yang menumbuhkan kecintaan Ayu pada lingkungan hidup. Sejak 2017, dipicu pemogokan massal petugas sampah di Yogyakarta, Ayu mulai mengolah limbah kertas dan plastik dalam lukisannya.

“Idenya adalah bagaimana kita men-turning sesuatu yang useless dan terbuang menjadi sesuatu yang indah dan berguna,” terang Ayu, “Mungkin ini bisa menginspirasi dalam skala kecil.”

Ayu secara kreatif mengolah bungkus plastik, bubble wrap, dan lembaran kertas bekas menjadi elemen tiga dimensi pada lukisan-lukisannya yang disapu dengan cat air dan akrilik.

Kreativitas Ayu mengantarnya ke berbagai ajang penghargaan bergengsi, termasuk Bronze Award pada UOB Painting of the Year 2019.

Keseimbangan dalam Keramik dan Pelat-Pelat Baja

Berbeda dengan nuansa feminin yang menggairahkan di ruangan Ayu, area pamer Tari cenderung tegas dan maskulin dengan pelat-pelat baja berbagai ukuran berjajar pada dinding.

Tepat di tengah ruangan, terdapat bola-bola keramik warna putih, abu-abu, dan biru kehitaman yang disusun bertumpuk di lantai.

“Ini terbuat dari tanah liat Sukabumi,” jelas Tari.

Tanah liat dari Sukabumi adalah salah satu media favorit Tari karena memiliki tingkat kestabilan yang bagus sehingga jarang pecah atau berubah bentuk saat dibakar.

Selama dua dekade lebih, perempuan kelahiran Banda Aceh tahun 1976 ini gigih menekuni keramik dan tembikar.

Eksplorasi seni ini membawa Tari ke banyak wilayah di Indonesia untuk mengenal berbagai jenis tanah liat dan bereksperimen dengan teknik-teknik pembakaran dan pewarnaan.

Tak jarang, jerih payah Tari menjadi sia-sia ketika tanah liat yang sudah dicarinya ke berbagai pelosok dan dibentuknya dengan hati-hati ternyata pecah atau hancur saat proses pembakaran.

"Dalam pekerjaan saya, ketidakpastian adalah hal yang pasti. Karena itu, berkarya menjadi seperti sebuah proses perjalanan tersendiri."

Proses berkarya ini kemudian Tari tuangkan menjadi lukisan-lukisan abstrak di pelat-pelat baja galvanis. Desainnya dibuat dengan proses etsa menggunakan cat minyak. Setiap lukisan dibingkai dalam kotak kayu yang dilengkapi dengan bongkahan-bongkahan kecil keramik berlapis cat perak dan emas.

Di pameran ini, Tari juga memamerkan lukisan-lukisan terakota monokromatik yang terbuat dari hasil leburan karya-karyanya yang terdahulu.

“Ini bentuk penghargaan saya terhadap karya-karya saya yang lama,” tegas Tari. “Saya melebur karya-karya lama saya yang sudah rusak menjadi bubuk terakota dan melukiskannya pada kanvas.”

Beberapa lukisan ini juga menggambarkan perjalanan spiritual Tari dalam menekuni proses kreatifnya, seperti Symphony of Osmosis. Lukisan berukuran 160 x 120 cm ini menampilkan motif lingkaran berulang yang mengingatkan kita pada ritual tawaf.

Karya menarik lainnya adalah Balancing Act, instalasi setinggi nyaris hampir tiga setengah meter yang memadankan kurva-kurva porselen putih dengan lima panel terakota identik. Karya ini melambangkan pencarian manusia yang berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara fisik dan spiritual dalam kehidupannya.

Sepanjang kariernya, Tari sudah mengadakan delapan pameran tunggal, baik di Indonesia dan luar negeri. Tiga instalasi keramik Tari juga pernah dianalisis oleh etnografer Marjaana Jauhola sebagai cerminan kritis terhadap kekerasan politik di Aceh di bukuGendered Wars, Gendered Memories: Feminist Conversations on War, Genocide and Political Violence (2016).

diajeng Pameran Tiga Sisi

'Jagad Ingatan' (2023) karya Theresia Agustina Sitompul yang merekam jejak pakaian-pakaian bekas sebelum dilepaskan. (FOTO/Sylviana Hamdani)

Kenangan dalam Lembaran Kertas Karbon

Ruangan pameran ketiga, persembahan dari Theresia, didominasi dengan warna tarum dan putih yang menimbulkan perasaan lega dan menenangkan. Terpampang ragam busana harian pada cetak biru di atas kertas-kertas yang tergantung pada dinding-dinding. Suasananya sungguh kaya nostalgia.

Salah satu sudut ruangan memajang tiga baris cetak karbon pakaian dalam bekas dengan berbagai lipatan dan posisi. Kertas-kertas yang digantungkan pada tali dengan jepit jemuran ini nampak melambai-lambai ditiup angin dari penyejuk ruangan.

"Di rumah, saya suka mengumpulkan pakaian-pakaian yang sudah tidak digunakan lagi dan merekam jejaknya dengan kertas karbon," jelas Theresia tentang instalasi unik yang diberi judul Menjemur Bungkus (2023) tersebut.

Eksperimen Theresia dengan kertas karbon dimulai sejak tahun 2011.

"Anak-anak saya masih sangat kecil saat itu," kenang ibu dua anak ini, "Mereka sering menemani saya di studio."

Sebagai seniman cetak, Theresia sering menggunakan bahan-bahan kimia, seperti asam klorida (HCl) dan ferik klorida, yang mengeluarkan uap beracun sehingga berbahaya apabila terpapar anak-anak kecil.

Maka dari itu, Theresia mencari cara agar tetap dapat menyalurkan kreativitasnya tanpa membahayakan kesehatan anak-anaknya.

Pikiran Theresia mengembara ke masa kecilnya. Ayah Theresia, seorang pegawai negeri, dulu sering menggunakan kertas karbon saat menulis surat dan dokumen dengan mesin tik. Ibunya, yang gemar menjahit, juga memanfaatkan kertas karbon untuk menggambar pola-pola busana.

Saat mengerjakan karya-karyanya, Theresia menyelipkan pakaian yang hendak digambarnya di antara dua kertas old-mill dengan kertas karbon di antaranya. Ia lalu menggosok kertas tersebut dengan sendok hingga menghasilkan gambar yang detail hingga terlihat garis-garis jahitannya.

Metode tersebut Theresia pandang lebih aman bagi kesehatan, dan tentu dapat dikerjakan di mana saja, tidak terbatas di studio.

"Ini seperti merekam memori terhadap barang tersebut sebelum melepaskannya.”

Karya Theresia yang berjudul Penghargaan Kepada Kaos Kaki (2024) merupakan bentuk penghormatan kepada kaos kaki bekas yang dikumpulkan dari anggota keluarga dan teman-temannya.

“Kita pakai kaos kaki sampai bolong dan rusak karena kita nyaman,” ujar Theresia, “Saya rasa kita perlu memberikan tribute untuk mereka.”

Pada tahun 2022, instalasi cetak karbon Theresia yang berjudul Kembara Biru pernah ditampilkan di ruang seni anak di Museum Macan, Jakarta Barat.

"Sebagai seniman, saya ingin berbagi bahwa membuat karya itu bisa melalui hal-hal yang terdekat,” Theresia menekankan, "Tidak perlu berpikir terlalu jauh."

Tiga Sisi merupakan pameran kolektif perupa perempuan kedua yang diselenggarakan di Galeri Nasional sejak awal tahun ini.

Sebelumnya, Galeri Nasional memamerkan karya 25 perupa perempuan asal Yogyakarta yang tergabung dalam Empu Gampingan, komunitas perempuan alumnus ISI Yogyakarta.

Geliat Seniman Perempuan Indonesia

Sekian abad lamanya, seni menjadi arena yang didominasi oleh laki-laki. Galeri seni lebih banyak memajang koleksi karya seniman dan perupa laki-laki.

Hal ini dikonfirmasi dalam studi Robert Hoffman dan Bronwyn Coate dari RMIT University yang terbit di The Conversation (2022). Mereka menuturkan, hanya 25 persen karya seni perempuan yang dipamerkan di National Gallery of Australia—sedikit lebih baik daripada standar internasional di mana 90 persen karya seni laki-laki dipajang oleh galeri-galeri besar.

Ketidakseimbangan gender di ranah seni, Hoffman dan Coate jelaskan, berkaitan dengan faktor tingkat keterkenalan atau popularitas sang seniman.

Partisipan dalam riset mereka ternyata cenderung memilih karya seni laki-laki ketika diminta memilih mana yang bernilai komersial lebih tinggi. Respons ini masuk akal, karena secara historis, laki-laki mendapatkan peluang lebih besar untuk berkarier di dunia seni sehingga karya-karyanya dapat lebih dulu menjadi mapan dan dikenal.

Di Indonesia, upaya untuk merayakan perjuangan perempuan seniman salah satunya sudah digencarkan oleh jurnalis senior di bidang seni kontemporer Carla Bianpoen.

Bersama Farah Wardani dan Wulan Dirgantoro, Carla menyusun biografi dan monograf 33 perempuan seniman yang karyanya mewarnai lanskap seni rupa Indonesia sejak awal abad ke-20 dalam buku Indonesian Women Artists: The Curtain Open, diluncurkan di Galeri Nasional pada 2007 silam.

Carla kelak membidani serial berikutnya, Into The Future(2019) yang juga dikembangkan menjadi pameran bertajuk sama, untuk mengapresiasi kiprah 21 perempuan seniman berusia 27 tahun sampai 41 tahun. Tak ketinggalan, kontribusi perempuan seniman senior—berusia di atas 50 tahun—dirayakan dalam pameran Infusions into Contemporary Art (2022). Semua pameran berlangsung di Galeri Nasional Indonesia.

Menanggapi geliat kiprah perempuan seniman rupa Indonesia sekian tahun belakangan, penanggung jawab Galeri Nasional, Jarot Mahendra, ikut berbangga.

“Ini merupakan catatan sejarah,” ujar Jarot, “bahwasanya sekarang banyak muncul seniman-seniman perempuan yang pameran di Galnas. Dan mudah-mudahan menjadi titik balik untuk perkembangan seniman-seniman perempuan Indonesia ke depannya.”

Pameran Tiga Sisi: Jelajah dan Media akan berakhir besok Kamis, 4 Juli 2024. Tertarik menyaksikan?

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Sylviana Hamdani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Sylviana Hamdani
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Sekar Kinasih