tirto.id - Hingga kini, pahlawan di Indonesia sering kali digambarkan tanpa cela dan jauh dari kesan konyol. Namun, M.T. Risyaf dan Asrul Sani, sebagai sutradara dan penulis skenario film Naga Bonar, keluar dari zona lebay heroisme itu dengan cara mereka. Kedua insan film itu sukses menggambarkan pahlawan perang secara lebih manusiawi, dekat dengan kenyataan. Revolusi Indonesia diwarnai kekacauan, bukan kisah ala Mahabharata.
Naga Bonar dan kawan-kawan adalah tokoh-tokoh yang umum di zaman revolusi. Di zaman kacau itu, ia mendaulat diri menjadi jenderal. Film dibuka dengan adegan Naga Bonar baru keluar dari penjara dan tak melewatkan kesempatan ketika melihat serdadu-serdadu Jepang. Dengan lihai, jam serdadu Jepang pun dicopetnya.
Ada pula Mariam, yang dengan ngawur dalammembersihkan mata-mata. Benar bahwa di masa itu intel Republik juga suka hantam kromo dalam menilai orang.
Wajar jika film yang dirilis pada 1986 ini disebut J.B. Kristanto, dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007 (2007:285), sebagai "kisah kocak yang bernada mengejek kepahlawanan dengan latar belakang zaman perang kemerdekaan.” Kristanto juga menulis bahwa Naga Bonar digambarkan naif, putus sekolah, dan nekat.
Kisah Naga Bonar yang dikisahkan Asrul Sani boleh saja fiktif, tetapi di masa mudanya Asrul Sani semestinya tahu seseorang bernama Timur Pane. Nama ini bisa dibilang Naga Bonar dalam kenyataan. Seperti halnya Naga Bonar, ia mengangkat diri sebagai jenderal mayor.
Nama Timur Pane disebut-sebut dalam buku sejarah soal revolusi di Sumatera Utara. Muhammad Radjab, dalam bukunya Tjatatan di Sumatera (1949), mengaku pernah bertemu langsung dengan Timur Pane.
“Badannya pendek kecil, mukanya separuh bagian bawah kebiru-biruan, matanya jaga dan liar,” tulis Radjab dalam buku, seperti dikutip dalam buku Sumatera Tempo Doeloe (2015:388-389).
Timur Pane termasuk tokoh yang ditakuti di Sumatera Utara bagian timur. Ia mengaku sudah banyak “menyembelih” orang di front pertempuran.
Masa lalu Timur Pane pun mirip Naga Bonar. Sebelum revolusi, mereka berdua mencopet. “Ia sendiri mengaku, bahwa dulu ia seorang pedagang jengkol, lada, dan sayur-sayuran di Pasar Medan, dan juga jadi bajingan dan pencopet,” demikian ditulis Radjab.
Selain itu, Timur Pane juga mendaku sebagai anggota partai Pendidikan Nasional Indonesia yang dikenal sebagai PNI-Hatta. Dia terkait juga dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Tak heran jika di masa revolusi dia menjadi bagian dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo).
Sejak zaman Pertempuran Medan Area, menurut Jenderal Maraden Panggabean dalam Berjuang dan Mengabdi (1993:92), Timur Pane memimpin pasukan Napindo Naga Terbang. “Walaupun membawakan nama Napindo, tidak selalu patuh kepada pimpinan Napindo,” kata Maraden Panggabean.
Radjab menyebut Timur Pane kemudian memimpin laskar Barisan Marsose, yang anggota-anggotanya menghuni vila-vila dan bungalow-bungalow di Prapat. Nama Marsose dipilih tentu agar pasukannya terkesan sangar. Di masa perang Aceh, Marsose adalah pasukan andalan KNIL yang kejam terhadap lawan-lawannya.
Timur Pane mengaku punya pasukan yang kuat. Persenjataan mereka memungkinkan mereka bisa bertempur selama 18 tahun. Timur Pane juga mengaku pasukannya bisa menduduki kota Medan—yang kala itu dikuasai Belanda—hanya dalam waktu dua puluh empat jam saja.
“Sampai dimana kebenaran ujarannya ini belum dapat saya membuktikannya, tetapi pastilah berlebihan,” tulis Radjab.
Laku tak terpuji di kalangan orang-orang Republik pun banyak. Soal ini, Timur Pane mengaku bahwa banyak pemimpin di Sumatera Timur adalah kaki-tangan NICA Belanda, kelakuannya borjuis, suka mencabuli perempuan, gila harta dan lainnya. Radjab pun belakangan membenarkan separuh dari yang dikatakan Timur Pane.
Kekacauan era revolusi juga diwarnai saling sikut satu sama lain alias “cakar-cakaran” di pihak Indonesia sendiri. Bertempur antar-pasukan Republik adalah hal biasa. Timur Pane bukan satu-satunya war lord di Sumatera Timur. Selain Timur Pane, ada Mayor Bedjo yang juga ditakuti. Ada kala mereka baik-baik saja, ada kala berseteru.
Timur Pane sendiri pernah berseberangan dengan sesama orang Republik. Suatu kali, ketika Wakil Presiden Muhammad Hatta datang ke Sumatera Timur, Timur Pane sedang berseteru dengan pimpinan laskar Gagak Hitam yang berafiliasi dengan Pesindo Jawa, Sarwono. Sarwono pun ditangkap oleh pasukan Timur Pane. Bahkan Hatta mendengar bahwa Sarwono juga hendak dibunuhnya.
“Kupanggil Timur Pane ke tempat aku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh,” demikian Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979:517). Timur Pane, yang menurut Hatta loyal kepada PNI, manut titah itu.
Hatta juga memberi perintah kepada Timur Pane untuk pergi ke Tapanuli ketika Timur Pane hendak menyerang kota Medan.
Kepada Hatta, Timur Pane juga pernah mengadukan Kolonel Hotman Sitompul yang tidak mau memberikan senjata kepada laskar. Hatta lalu menanyakan hal itu kepada Sitompul. Menurut Sitompul, ia melakukannya karena laskar suka bertindak sendiri-sendiri.
Menurut Sitompul, Timur Pane pernah melakukan tindakan sporadis itu. Timur suatu kali mengajak Letnan Kolonel Richard Siahaan untuk menyerang Medan. Sukses? Tentu tidak. Mereka tidak bisa mengalahkan tentara Belanda yang jelas terlatih dan kuat.
Meski ditakuti, kejayaan Timur Pane hanya sementara. Timur Pane yang tukang lucut, entah itu laskar atau polisi, akhirnya dilucuti juga oleh tentara. Timur Pane dicopot dari kemiliteran, lalu namanya tenggelam sebelum revolusi berakhir di Sumatera Utara. Pada awal 1949, ia memimpin Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR).
Belakangan, pada dekade 1950an, tak ada lagi jenderal bernama Timur Pane di Sumatera Utara. Yang ada ialah Tahi Bonar Simatupang atau Abdul Haris Nasution. Nama Timur Pane tidak pernah disebut lagi dalam semesta ketentaraan, meski ada Yayasan Pendidikan Jenderal Timur Pane.
Editor: Maulida Sri Handayani