tirto.id - Konferensi ketiga Dewan Kesenian se-Indonesia di Ujung Pandang tahun 1992 menandai babak baru perihal eksistensi Dewan Kesenian di Indonesia. Kala itu, Salim Said selaku Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengusulkan agar lembaga yang namanya Dewan Kesenian tumbuh merata se-Indonesia, tidak terbatas di sejumlah wilayah.
Gayung bersambut. Menteri Dalam Negeri Rudini meneken Instruksi Mendagri Nomor 5A/1993 agar setiap daerah (provinsi) hingga kabupaten/kota memiliki Dewan Kesenian sendiri. Instruksi itu didukung Bappenas yang menyepakati pemberian anggaran lewat Departemen Dalam Negeri untuk dibagikan kepada setiap pemerintah daerah. Dengan dana tersebut pemerintah provinsi punya modal untuk mengawal dan mengawasi pembentukan Dewan Kesenian di wilayah masing-masing.
“Berduyun-duyun kaum seniman di berbagai kota-daerah menyambut instruksi itu. Yang tak pernah dibayangkan oleh kaum seniman adalah dampak yang muncul akibat instruksi yang tak memberikan penjabaran dan kriteria apa pun berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang boleh dan bisa mengelola sebuah lembaga kesenian, dan sejauh mana suatu kota-daerah membutuhkannya,” tulis Halim HD dalam “Reposisi dan Transformasi Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan”.
Halim menambahkan, lantaran Instruksi Mendagri Nomor 5A Tahun 1993 bersifat umum, beleid itu dapat ditafsirkan secara longgar. Dampaknya, untuk mengukuhkan kepentingan politik, misalnya, tak jarang sebuah Dewan Kesenian di suatu daerah justru eksis tanpa kaum seniman.
“Melalui Instruksi Mendagri, maka banyak bupati dan walikota membuat terusan instruksi dan membentuk Dewan Kesenian yang diisi oleh kaum birokrat, bahkan sanak familinya, misalnya istri Bupati menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian,” sambung Halim.
Pandangan Halim itu disajikan dalam Sidang Pleno Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan se-Indonesia di Jakarta, 11 Desember 2023. Dalam kertas kerjanya, Halim menjabarkan banyak hal tentang Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan di Indonesia. Mulai dari lintasan sejarah, dinamika persoalan, kompleksitas tata kelola, hingga gambaran ideal dan perlunya reposisi dan refungsionalisasi Dewan Kesenian.
Halim HD, sosok yang dikenal sebagai networker dan organizer kebudayaan, berpandangan bahwa reposisi dan refungsionalisasi Dewan Kesenian penting dilakukan guna menempatkan kembali Dewan Kesenian sebagai pengemban dan pengembang kehidupan kesenian—bukan penyelenggara event terutama yang dimodali pemerintah lokal.
Sebagai pengemban dan pegembang kehidupan kesenian, Dewan Kesenian diharapkan punya fungsi untuk melakukan kurasi, advokasi, hingga menjadi fasilitator dan bank data kesenian di daerah-kota. Dengan begitu, Dewan Kesenian bakal punya andil dalam strategi kebudayaan di tataran lokal maupun nasional, sebagaimana cita-cita Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
“Hal itu berkaitan dengan tujuan reposisi dan refungsionalisasi Dewan Kesenian membentuk suatu ekosistem kesenian yang bukan hanya kondusif tapi juga dinamis, suatu ekosistem yang saling mengisi dan menunjang untuk menumbuhkan kesadaran kehidupan kebudayaan ke arah peradaban,” lanjut Halim.
Becermin dari Jakarta
Warsa 1968, keputusan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk membangun sebuah kompleks kesenian di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, mendapat sambutan hangat dari kalangan seniman. Apalagi, selain macam-macam kegiatan kesenian, di area Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) itu tumbuh juga Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Akademi Jakarta, hingga Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta—sekarang Institut Kesenian Jakarta.
Dalam perkara TIM, Ali Sadikin tidak hanya membangun infrastruktur dan mengalokasikan anggaran, tapi juga memberi keleluasaan dan kemerdekaan bagi seniman untuk mengurus dan mengelola TIM.
“Saudara-saudara seniman, saya tantang kini untuk bekerja dalam organisasi. Kalau saudara-saudara tidak beres, akan saya kerahkan pemuda-pemuda mendemonstrasi saudara,” kata Ali Sadikin, dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Di tengah upayanya mengembangkan industri perdagangan dan pariwisata, Ali Sadikin memang berhasrat menjadikan Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Menurutnya, kota yang hanya sibuk dengan geliat ekonomi akan gersang secara rohani. Di titik ini, berkat dukungan Bang Ali, PKJ TIM dan DKJ pun menjelma menjadi semacam oase di tengah hiruk-pikuk kehidupan ibu kota.
“Rantai kehidupan kesenian di kawasan PKJ TIM yang terbangun kokoh, berdampak luas bagi pertumbuhan seni di daerah khusus ibukota Jakarta, bahkan berdampak nasional,” ungkap Ketua Harian DKJ Bambang Prihadi.
Bambang menerangkan, sebagai lembaga strategis, DKJ menyusun serangkaian kebijakan dan program pembinaan dari hulu sampai hilir. Bentuknya berupa kegiatan seni berjenjang, baik yang bersifat lomba maupun non-lomba. Misalnya, lokakarya, sayembara, lomba seni, festival seni, residensi seni, dan kolaborasi seni.
“Dari dukungan luar biasa purnawirawan marinir itu, begitu banyak lahir karya inspiratif, seiring meluasnya jejaring seniman Jakarta baik di tingkat nasional maupun internasional yang memperkuat posisi PKJ TIM dan DKJ sebagai mitra utama gubernur dan jajaran pemerintah daerah di bidang kesenian. Dampak dari itu, kehidupan kesenian berlangsung sehat dengan indikator lahirnya karya-karya seni avant garde dan berbagai dialog kesenian dan kebudayaan yang bernapas panjang,” sambung Bambang.
Meski demikian, Bambang menyebut bulan madu kalangan seniman dengan pemerintah DKI Jakarta di PKJ TIM berlangsung selama Ali Sadikin menjabat saja. Di tahun-tahun berikutnya, pemerintah bahkan berusaha melakukan pembungkaman dan intervensi, juga pembiaran. Akademi Jakarta (melalui DKJ, PKJ TIM, dan IKJ) yang pada mulanya diposisikan sebagai mitra krisis dan kreatif gubernur DKI dalam urusan kesenian, mulai dicampakkan.
“AJ pun mulai dilemahkan setelah mengirimkan surat berkali-kali untuk bertemu gubernur, namun tidak menerima balasan,” kata Bambang.
Lepas dari riwayat dingin di atas, upaya untuk terus menghidupkan berbagai program kesenian di lingkungan PKJ TIM terus dilakukan hingga sekarang—dengan atau tanpa dukungan yang kuat dari pemerintah.
Seiring waktu, munculnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menetapkan kesenian sebagai salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) justru menunjukkan peran DKJ dan Dewan Kesenian/Dewan Kebudayaan lain di berbagai daerah dalam mendukung empat langkah strategis pemajuan kebudayaan: pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.
Di DKJ, seturut keterangan Adinda Luthvianti, anggota Komite Teater DKJ 2015-2021, program-program yang dilakukan DKJ sejalan dengan upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan objek kemajuan kebudayaan—dalam hal ini kesenian.
Dinda mencontohkan, Festival Teater Remaja yang kini berganti nama menjadi Festival Teater Jakarta (FTJ) rutin diselenggarakan sejak 1973. Festival tersebut menyasar bibit-bibit muda dari tiap wilayah se-DKI Jakarta dengan format berjenjang.
“Festival dilakukan di 5 kota dan 1 kabupaten di wilayah DKI Jakarta, kemudian finalnya diselenggarakan di TIM. Dengan format seperti itu, upaya pelindungan terhadap seni teater dan pembinaan terhadap SDM-SDM di dalamnya berlangsung,” kata Adinda, saat ditemui reporter Tirto di bilangan Depok, pekan lalu.
Di babak final, TIM tidak hanya ramai oleh peserta FTJ, tapi juga oleh berbagai pedagang kuliner khas Betawi. Para pedagang ini sengaja didatangkan dari berbagai wilayah se-DKI untuk memeriahkan kegiatan. Dari FTJ, komite teater kemudian mengembangkan Djakarta International Theater Platform (DITP). Seperti namanya, platform ini diluncurkan untuk mempertemukan para seniman teater dari dalam dan luar negeri di TIM.
Dengan demikian, sambung Adinda, unsur pemanfaatan dan pengembangan kesenian di lingkungan PKJ TIM juga sama-sama terpenuhi. “Di komite tari juga seperti itu. Mereka punya Jakarta Dance Meet Up, sebuah platform untuk memetakan dan memfasilitasi komunitas tari di Jakarta agar saling terhubung, bertukar informasi, dan menggelar karya.”
Berkaca dari capaian seperti itu, Adinda optimis jika Dewan Kesenian/Dewan Kebudayaan berperan sebagaimana fungsinya, upaya pemajuan kebudayaan bakal makin mudah dilakukan di tingkat daerah.
“Di Jakarta, DKJ juga punya peran membantu pemerintah menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Jadi, Dewan Kesenian/Dewan Kebudayaan yang ideal harus bisa menjadi think-tank-nya pemerintah. Posisinya sejajar, bukan lembaga di bawah dinas tertentu, apalagi sekadar menjadi event organizer” pungkas Adinda.
Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan se-Indonesia memberi rekomendasi kepada pemerintah agar membentuk Kementerian Kebudayaan. Di sisi lain, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka juga menjanjikan hal serupa dalam debat calon presiden-wakil presiden yang digelar KPU. Jika lembaga yang fokus mengurus berbagai hal tentang kebudayaan itu kelak resmi dibentuk, pernyataan Adinda–harapan kebanyakan kaum seniman– terasa mendesak dan relevan.[]
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis