tirto.id - Pada 1946 sejumlah seniman mendirikan perkumpulan bernama Gelanggang Seniman Merdeka. Pemrakarsanya adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin. Ketiganya kemudian sempat membuat antologi puisi bertajuk Tiga Menguak Takdir yang terbit pada 1950, setahun setelah Chairil Anwar wafat.
Selain para pengarang, perkumpulan ini juga beranggotakan para pelukis seperti Mochtar Apin, Henk Ngantung, Baharuddin M.S, dan Basuki Resobowo. Sementara pengarang lain yang juga ikut bergabung antara lain Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, Sitor Situmorang, dan Mochtar Lubis.
Tujuan perkumpulan ini, sebagaimana ditulis Yudiono K.S. dalam Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009), adalah “mempertanggungjawabkan penjadian bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan roh, serta memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala kegiatan”.
Sementara laman Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud mencatat bahwa yang melatarbelakangi lahirnya kelompok ini adalah “untuk lepas dari ikatan-ikatan atau pengaruh-pengaruh dari angkatan sebelumnya, dan juga pihak penguasa yang mereka anggap munafik dan memasung kreativitas seni”.
Kelak Rosihan Anwar menyebut kelompok ini sebagai Angkatan 45. Namun, seperti ditulis Yudiono K.S dalam bukunya yang lain, tak semua pihak sepakat dengan penamaan ini. Sebagian keberatan karena penamaan Angkatan 45 seolah-olah menumpang pada kepahlawanan para pejuang bersenjata. Sedangkan yang mendukung berpendapat bahwa berjuang di bidang kebudayaan tak kalah penting dari perjuangan dengan senjata.
Mendaku Pewaris Sah Kebudayaan Dunia
Pada 18 Februari 1950, tak lama setelah pengakuan kedaulatan, mereka merumuskan dan menandatangani pernyataan sikap kebudayaan yang bernama “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Pernyataan ini baru diumumkan secara luas pada 22 Oktober 1950, tepat hari ini 69 tahun lalu, di majalah politik dan kebudayaan Siasat.
Menurut Jennifer Lindsay dalam pengantar buku Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (2011), nama “Gelanggang” diambil dari suplemen kebudayaan majalah tersebut.
Pernyataan sikap kebudayaan ini terdiri dari enam alinea yang dibuka dengan kalimat: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”.
Lindsay menambahkan, sejak awal para perumus “Surat Kepercayaan Gelanggang” memang mengakui bahwa proyek kebudayaan Indonesia bersifat internasional.
“Pernyataan itu memancarkan keyakinan diri mengenai tempat kebudayaan Indonesia di dunia […] ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, bukan anak haram yang harus memperjuangkan hak-haknya,” tulisnya.
Pokok lain yang dianggap penting oleh Lindsay adalah kesadaran para perumusnya yang sejak dini telah merasa perlu membuat pernyataan kebudayaan dalam sejarah bangsa yang masih muda usia.
Dua tahun sebelumnya, dalam situasi darurat karena peperangan, telah digelar pula Kongres Kebudayaan Nasional pertama di Magelang pada 20-25 Agustus 1948. Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya Jilid 1: Kongres Kebudayaan (2018) mendokumentasikan dengan cukup lengkap jalannya kongres tersebut. Hal ini menandakan bahwa kebudayaan diletakkan sebagai bidang penting dalam masa-masa awal kemerdekaan.
Diterbitkannya “Surat Kepercayaan Gelanggang” pada 22 Oktober 1950, dua bulan setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai organ PKI didirikan lengkap dengan Mukadimahnya, oleh Maman S. Mahayana dianggap sebagai “reaksi daripada aksi”.
“Lekra sebenarnya tidak hanya berhasil ‘mengadopsi’ beberapa hal yang tertuang dalam ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’, namun juga mampu menangkap momentum di saat-saat bangsa ini mulai menjalankan roda pemerintahannya tanpa rongrongan Belanda,” tulisnya dalam Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia (2001).
Ironisnya, sejumlah orang dalam Gelanggang Seniman Merdeka seperti Basuki Resobowo, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, Baharuddin M.S, dan Henk justru berubah sikap dan menyeberang ke Lekra.
Dukungan Jassin dan Konfrontasi
Dalam surat kepada Aoh K. Hadimadja bertitimangsa 15 Desember 1951 yang terhimpun dalam Surat-surat 1943-1983 (1984), H.B. Jassin menyatakan simpati terhadap “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Dokumentator yang dijuluki Paus Sastra Indonesia ini memuji kerendahhatian redaksional manifesto kebudayaan Angkatan 45 itu. Pada kalimat “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”, Jassin menilainya sebagai pengakuan atas jasa manusia-manusia sebelumnya.
“Kepercayaan diri pun ada pula memancar, kita bukan saja ahli waris, tapi kita pun akan mewariskan, kebudayaan ini akan kita teruskan dengan cara kita sendiri. Kalimat pembuka itu merangkum segala,” imbuhnya.
Selebihnya, Jassin melakukan semacam pembelaan karena Aoh K. Hadimadja meragukan dan mempertanyakan “Surat Kepercayaan Gelanggang” sebagai suara Angkatan 45 yang justru baru dirumuskan dan dipublikasikan pada 1950.
Jassin mengemukakan pendapat bahwa “keterlambatan” itu semata karena situasi zaman yang tak memungkinkan. Masa pendudukan Jepang dan kecamuk Revolusi Kemerdekaan adalah saat-saat genting yang tak mungkin berteori untuk merumuskan sebuah manifesto kebudayaan.
“Kita mengalami. Kita digodok. Dibanting dan membanting. Dibunuh dan membunuh,” tulisnya.
Namun, di antara keterangan-keterangan Jassin kepada kawannya itu, pokok bahasannya terpacak di pengujung surat. Ia seolah mengamini pernyataan pada alinea ke tiga “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berbunyi:
“Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat”.
Kepada Aoh K. Hadimadja, Jassin mengatakan bahwa Pujangga Baru—yang mungkin sepadan dengan “hasil kebudayaan lama”—tak punya masa silam yang dahsyat dan masa sekarang yang hebat. Bagi Jassin, Pujangga Baru sebagai wajah kebudayaan lama terasa serba jauh, oleh karena itu isinya pun tidak ada apa-apa selain sejumlah teori.
Keith Foulcher dalam “Membawa pulang dunia: Lalu lintas budaya dalam Konfrontasi 1954-1960” yang dihimpun dalam Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (2011), menyebutkan bahwa majalah Konfrontasi adalah kesinambungan dari pemikiran kelompok inti Angkatan 45. Dan angkatan ini tak lain adalah yang melahirkan “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Ironisnya, dalam susunan dewan redaksi Konfrontasi terdapat Sutan Takdir Alisjahbana sebagai dedengkot Pujangga Baru, angkatan yang oleh Jassin dianggap berseberangan dengan Angkatan 45.
Di luar hal itu, Foulcher mencatat bahwa Konfrontasi kerap memuat tulisan terjemahan, baik karya sastra maupun esai tentang politik kebudayaan dan sejarah ide yang bersumber dari Eropa, Amerika Utara, dan Asia.
Selain itu Konfrontasi juga sering memuat tulisan para pengarang Indonesia yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari luar negeri ke dalam perdebatan yang sedang berlangsung di tanah air.
“Konfrontasi jelas tetap mempertahankan sikap kritis terhadap nasionalisme kultural yang sempit dan chauvinistis. Dengan demikian orientasi internasionalis majalah ini ditegaskan terus-menerus, sebagaimana juga halnya dengan sastra Angkatan 45 sebelumnya,” tulis Foulcher.
Gagasan arah kebudayaan nasional yang bersifat internasional, dalam catatan Jennifer Lindsay, merupakan kelanjutan dari perdebatan tentang masa depan kebudayaan Indonesia pada 1930-an dan 1940-an.
Perdebatan itu, imbuhnya, adalah perdebatan antara kubu yang melihat keharusan untuk mencampakkan kebudayaan Indonesia dari masa lalu untuk segera bergerak maju dengan kubu yang melihat kebudayaan Indonesia lambang dan identitas pribumi.
Memasuki 1950-an dan 1960-an, saat sejumlah negara Asia menyongsong dan menjalani dekolonisasi, kesadaran atas renungan posisi warisan budaya pun tumbuh mengguncang.
Di titik inilah kemudian angkatan muda yang mengalami revolusi, dengan elan menatap masa depan baru, merumuskan dan mengumumkan manifestonya lewat “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Pada perjalanannya, karena pendulum politik nasional periode itu bergerak mengancam sebagian kelompok, maka sejumlah manifes lain pun lahir sebagai tambur perlawanan atas kelompok lain yang dominan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan