tirto.id - Marco Polo tidak tahu sebutan pasti untuk sebuah botol kecil berwarna hijau keabuan yang ia temukan saat mengelilingi kawasan Tiongkok itu. Ia menamai benda itu porcellana, bahasa Italia untuk cangkang kerang, karena bentuknya serupa. Melengkung, keras, dan mengilap. Sesungguhnya benda tersebut terbuat dari material keramik atau porselen. The New Yorker menulis bahwa Marco Polo lantas membawa botol tersebut pada abad ke 14.
Waktu itu benda dari porselen belum banyak ditemukan di Eropa. Dua abad kemudian, porselen jadi benda yang makin diminati. Salah satu penyebabnya karena makin banyak pedagang atau penjelajah asal Eropa yang datang ke Timur Jauh. Mereka meminta perajin keramik di Tiongkok untuk memproduksi keramik guna diekspor ke negara-negara di Eropa, salah satunya Inggris.
Di Inggris, pemilik benda itu ialah kaum elite. Vanessa Alayrac-Fielding dalam makalahnya tentang porselen oriental dari abad 17 dan 18 menyebut bahwa porselen jadi salah satu simbol status sosial. Anggapan ini muncul karena porselen tidak diproduksi di Eropa, pun tidak ada yang tahu pasti apa saja material pembuatannya. Sebagian orang pada masa itu masih beranggapan bahwa porselen terbuat dari kerang, sama seperti apa yang dipikirkan oleh Marco Polo.
Di dalam rumah orang-orang kaya Inggris, porselen diletakkan di lemari pajangan khusus dan masuk ke dalam daftar inventaris harta kekayaan. Kala itu rata-rata porselen hadir dalam kombinasi warna putih-biru dan berbentuk vas, juga hadir dalam bentuk piranti minum dan makan.
Seiring waktu, piranti tersebut tak hanya berfungsi sebagai pajangan tetapi juga digunakan dalam acara jamuan. Vanessa menyebut tentang Lady Gerrard’s, kolektor porselen terlengkap pada zamannya. Sekali waktu, ia mengadakan acara di rumahnya dan menjamu tamu dengan makanan yang ditempatkan pada peralatan makan dari porselen. Ia kemudian turut jadi pelopor tren penggunaan piring porselen untuk bersantap.
Tren porselen di Eropa membuat beberapa orang berupaya untuk membuat produk serupa. Johann Friedrich Böttger salah satunya. Ia pria asal Jerman yang bisa dikatakan sukses membuat produk porselen serupa dengan porselen Cina. Makalah "Bottger’s Eureka! : New Insights Into The European Reinvention of Porcelain" (PDF) mencatat bahwa upaya serupa juga pernah dilakukan Francesco Maria de’ Medici. Sayangnya usaha tersebut gagal.
Kesuksesan Johann membuka pabrik porselen seolah memicu perajin lain di Eropa. Tahun 1759, Josiah Wedgwood membuka usaha pembuatan keramik di Inggris. Salah satu kliennya adalah Ratu Charlotte. Sejak menerima permintaan Charlotte, Wedgwood memasarkan diri sebagai Potter to Her Majesty. Istilah itu membuat Wedgwood semakin dikenal. Pada awal tahun 1900-an, ia bekerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat untuk mengurus piranti makan di dalam gedung putih pada masa pemerintahan Theodore Roosevelt. Nama Wedgwood masih eksis sebagai jenama keramik populer sampai hari ini.
Kesuksesan Wedgwood juga menginspirasi pihak-pihak lain untuk membentuk usaha serupa. Royal Doulton misalnya. Berbagai perusahaan tersebut mengeluarkan ragam tema koleksi. Sebagian tema diambil dari tren gaya arsitektur atau interior semisal Barok atau Renaisans.
Seiring waktu, hal tersebut membuat Eropa jadi acuan tren dekorasi bentuk piranti makan dan minum. Di Jerman rutin diselenggarakan Ambiente, ekshibisi berskala internasional yang turut jadi patron tren peralatan makan. WGSN, perusahaan asal London yang bergerak dalam bidang prediksi tren gaya hidup pun turut menentukan tren peralatan makanan.
Hal ini akhirnya berdampak pula bagi pengusaha piranti makan di Indonesia. Tjandra Suwarto, Presiden Direktur PT. Indo Porcelain, pemilik lini produk Zen porcelain tableware, berkata bahwa ia harus mengembangkan jenis usahanya lantaran terjadi perubahan tren di Eropa selama tiga tahun terakhir. Sekarang Tjandra tak bisa lagi bergantung pada produksi piranti makan putih polos.
“Trennya di Barat sekarang piring dekoratif warna warni,” katanya.
Ia pun memilih Sebastian Gunawan, desainer busana, untuk mendesain ornamen pada piranti makan. “Mata desainer pasti lebih detail. Sebastian teliti, brilian, dan dia sesuai dengan kelas yang kami sasar yakni kalangan menengah ke atas,” ujarnya tentang desainer dengan ciri khas desain busana feminin dan glamor itu.
Seperti perajin keramik Eropa, ia pun mengambil inspirasi desain dari satu tempat. Pria ini memilih Yunani. Ia berkata bahwa motif pada piring terinspirasi dari lekuk bangunan, ornamen, dan warna yang ada di negara tersebut. Koleksi yang dinamakan Arcadia ini terdiri dari 15 produk, di antaranya piring makan, mangkuk, teko, cangkir, tempat saus, dan wadah kue. Harga dimulai dari Rp300 ribu sampai dengan Rp2,2 juta. Produk-produk tersebut sebagian besar didominasi warna biru.
“Biru memang jadi salah satu warna yang paling laris,” lanjut Tjandra.
Acara peluncuran Arcadia dilakukan di sebuah restoran di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Sore itu, restoran tak ubahnya pasar yang berdesakan. Bedanya di sini mereka yang berdesakan mengenakan tas Hermes dan sekelasnya dan bergaya mengenakan gaun serta sepatu hak tinggi. Sebagian dari mereka ialah klien Sebastian. Salah satu orang yang paling sibuk saat itu ialah petugas kasir yang diwajibkan melayani tamu yang hendak membeli piring. Para tamu lain mengelilingi meja jamuan tempat piring-piring diletakkan. Mereka sibuk berbincang tentang kombinasi motif piring dan mangkuk yang cocok diletakkan di meja makan.
“Sudah mau Natal. Orang-orang sudah mau bersiap pesta. Sekarang, orang-orang sering mengadakan jamuan di rumah dan mereka selalu butuh model tableware baru,” ungkap Tjandra yang akan memamerkan produk di Ambiente dan sejumlah ekshibisi hotel & restoran di luar negeri.
Ia bahagia bisa bekerjasama dengan Sebastian. Bagi Zen, Sebastian memang brilian karena mampu membuat produk jadi laris. Bagi Sebastian, hal ini turut jadi tantangan tersendiri karena ia harus beradaptasi dalam bekerja dengan medium yang berbeda. Ia mesti lihai menyesuaikan bentuk gambar dengan kemampuan mesin produksi. Bagi para sosialita yang datang, karya baru Sebastian bisa jadi simbol kemewahan ketika momen jamuan tiba.
Editor: Nuran Wibisono